KSPI: 2 Juta Buruh akan Mogok Nasional

Para peserta aksi unjuk rasa memprotes RUU Cipta Kerja, berbaris menuju gedung parlemen di kawasan Senayan, Jakarta, 13 Januari 2020. (Foto: dok).

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan akan menggelar unjuk rasa serempak atau mogok nasional meskipun RUU Cipta Kerja telah disahkan pemerintah dan DPR.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan ada 32 federasi dan konfederasi serikat buruh yang akan bergabung dalam unjuk rasa serempak atau mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020. Ia mengklaim mogok ini akan diikuti dua juta buruh dari berbagai sektor di 25 provinsi. Antara lain tekstil, energi, telekomunikasi dan pertambangan.

"Lokasi unjuk rasa di lingkungan pabrik masing-masing yang akan ditentukan tempatnya oleh pimpinan serikat di perusahaan," jelas Said Iqbal, Senin (5/10/2020).

Said Iqbal menjelaskan pihaknya telah melayangkan surat pemberitahuan aksi serempak tersebut kepada kepolisian di berbagai wilayah. Menurutnya, mogok nasional tersebut memiliki dasar hukum yakni Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang-undang tentang Serikat Pekerja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ( KSPI) Said Iqbal. (Foto: KSPI)

Dalam mogok nasional, buruh akan menyampaikan penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR dan pemerintah dalam Sidang Paripurna. Adapun poin-poin yang menjadi penolakan antara lain ketentuan soal pekerja kontrak, waktu kerja dan berkurangnya nilai pesangon.

Senada Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan buruh bersama masyarakat sipil lainnya akan menggelar aksi serempak di berbagai daerah. Menurutnya, aksi tersebut merupakan bentuk kemarahan buruh terhadap pemerintah dan DPR yang telah mengesahkan Undang-undang Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh.

Your browser doesn’t support HTML5

KSPI: 2 Juta Buruh Akan Mogok Nasional

"Dari berbagai sektor karena sejak rancangan awal ini sudah kontroversial dan dikritik sejak lama. Tapi pemerintah pura-pura tidak mendengar dan tidak melihat," jelas Nining Elitos.

Nining khawatir pengesahan Undang-undang Cipta Kerja akan memperbanyak pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap buruh dan upah yang murah pada masa pandemi ini.

Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos. (Foto: KASBI)

Senin (5/10) petang, pemerintah dan DPR telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang. RUU tersebut mendapat penolakan dari banyak serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Sejumlah serikat buruh seperti KASBI mengatakan tidak dilibatkan dalam penyusunan dan pembahasan RUU ini.

Kendati demikian, Badan Legislasi DPR telah melibatkan 16 serikat buruh dalam pembahasan RUU ini pada Agustus 2020 lalu. Satu di antaranya adalah KSPI yang pada akhirnya menolak hasil pembahasan RUU Cipta Kerja.

Dalam draf RUU Cipta Kerja versi akhir menurut Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi, VOA menemukan sejumlah perubahan dari draf awal yang beredar di kalangan buruh. Antara lain soal ketentuan PHK dan pasal tentang pers.

Dalam draf tersebut, pemerintah membolehkan terjadinya pemutusan hubungan kerja dengan sejumlah persyaratan. Antara lain perusahaan melakukan penggabungan atau pemisahan perusahaan dan alasan efisiensi.

BACA JUGA: Buruh Minta RUU Cipta Kerja Tak Dibahas di Sidang Paripurna

Namun perusahaan wajib memberikan pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bagi pekerja yang di-PHK. Adapun besaran pesangon disesuaikan masa kerja dengan maksimal 9 bulan upah. Sedangkan Pasal 87 yang pada mulanya akan merevisi Undang-undang Pers telah dihapus dalam draf terakhir tersebut.

Sementara untuk aturan perjanjian kerja waktu tertentu atau pekerja kontrak yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah masih ada dalam Pasal 56 Undang-undang Cipta kerja. Pasal ini dikeluhkan buruh karena dinilai dapat menutup peluang buruh untuk diangkat menjadi karyawan tetap dan menghilangkan kepastian kerja buruh. [sm/em]