Komparasi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Mental di AS dan Indonesia

  • Utami Hussin

Seorang warga lansia dibantu petugas saat memberikan suaranya dalam pemilu di TPS Taman Suropati, Jakarta Pusat (Foto: ilustrasi/VOA/Agus Sunarto).

Seperti banyak orang dengan autisme, Greg Demer mengalami kesulitan berkomunikasi. Sebagaimana kisahnya yang dimuat di situs Huffington Post, warga Los Angeles, California, berusia 32 tahun mampu berbicara banyak mengenai film, tetapi tidak bisa mengikuti percakapan dengan orang yang baru dikenalnya.

Ketika ia berusia 18 tahun, sang ibu khawatir putranya tidak akan mampu mengambil keputusan pelik mengenai masalah keuangan dan layanan kesehatan. Hakim di Los Angeles memberi sang ibu hak perwalian atas Greg. Seiring dengan itu, hilang pula hak pilih Greg. Hakim menganggap autisme yang disandang Greg membuatnya secara mental tidak mampu berpartisipasi dalam proses demokratis, memberikan suara dalam pemilu.

Proses perwalian ini juga menghilangkan hak pilih mantan produser NPR David Rector. Menurut situs NPR, cedera otak yang dialami David pada tahun 2009 menghilangkan kemampuannya berbicara dan berjalan. Ia perlu menggunakan perangkat khusus untuk berkomunikasi. Ketika pengadilan California menetapkan ia berada di bawah pengampuan tunangannya, hilang pula hak pilihnya. Seperti Greg yang berjuang di pengadilan selama satu dekade untuk mendapatkan kembali hak pilihnya, David akhirnya dapat memberikan suara dalam pemilu tahun 2016.

Kisah di atas hanya sebagian kecil saja dari yang dimuat media massa, apalagi daripada jumlah sesungguhnya. Spectrum Institute, kelompok advokasi bagi penyandang disabilitas yang berbasis di California menyatakan, di negara bagian itu saja, setiap tahun ada puluhan ribu warga Amerika dengan disabilitas, termasuk disabilitas mental, yang kehilangan hak pilih akibat proses perwalian tersebut.

Hilangnya hak pilih semacam ini juga menjadi masalah di Indonesia. Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PSJ) Yeni Rosa Damayanti kepada VOA bahkan menuding bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu belum bisa mengakomodasi hak pilih penyandang disabilitas mental (PDM).

“Bukti konkretnya adalah KPU tidak melakukan pendaftaran terhadap ribuan PDM,” katanya.

Ia mengambil contoh pemilu 2014, hanya sekitar 2.000 dari belasan ribu PDM yang menghuni panti rehabilitasi, panti sosial dan rumah sakit jiwa di berbagai daerah di Indonesia, yang dapat menyalurkan hak pilih mereka.

BACA JUGA: Generasi Milenial dan Pemilu: "Golput itu Bukan Pilihan!"

Undang-undang yang Berbeda

Di Amerika, konstitusi melindungi hak dasar warganegaranya untuk memilih, tetapi sekaligus memberi negara bagian kewenangan untuk menetapkan persyaratan pemberian suara untuk pemilu di tingkat federal maupun negara bagian. Karena itu, masing-masing negara bagian memiliki persyaratan kompetensi memilih yang berbeda-beda.

Dari 50 negara bagian, hanya sebelas yang tidak menetapkan pembatasan yang mempengaruhi hak pilih warganegara Amerika dengan disabilitas mental. Sementara itu UU di 39 negara bagian dan ibukota, Washington DC, mengizinkan hakim di pengadilan melucuti hak pilih PDM - mulai dari penderita skizofrenia, gangguan bipolar, autisme hingga Down Syndrome - yang dianggap tidak mampu atau tidak kompeten. Juga termasuk dalam hal ini, pasien yang mengalami cedera otak traumatik, atau lansia yang menderita Alzheimer’s atau demensia.

Definisi kompeten sendiri bervariasi di antara negara bagian, tetapi kompetensi itu ditetapkan oleh pengadilan, bukan petugas dan panitia pemilu atau dokter. Di beberapa negara bagian, ini diketahui sewaktu mengisi formulir registrasi memilih. Seseorang harus menjawab apakah ia pernah dinyatakan tidak mampu secara kejiwaan untuk memilih. Begitu menjawab ya dan kemampuan ini tidak dipulihkan oleh pengadilan, orang tersebut mau tidak mau dinyatakan tidak layak untuk memlih.

Petugas melakukan perhitungan kartu suara pada pemilu legislatif 2014 di sebuah TPS di DKI Jakarta, 9 April 2014. (Foto: dok).

Sementara itu Yeni Rosa dari PSJ menyatakan masih banyak yang belum memahami bahwa PDM juga memiliki hak pilih yang sama seperti warganegara Indonesia pada umumnya. Inilah yang dibutuhkan agar PDM dapat tercatat di Daftar Pemilih Tetap (DPT), katanya. “Kemampuan mental bukanlah indikator seseorang dapat memilih atau tidak,” tegasnya.

Ia menambahkan, yang dibutuhkan adalah pemahaman bahwa mereka memiliki hak, juga niat untuk memastikan bahwa mereka bisa didaftar. Tidak perlu ada kebutuhan, keperluan, atau keterampilan khusus untuk mendampingi atau mendaftarkan orang-orang dengan disabilitas mental.

Pro Kontra Pembatasan

Para penentang pembatasan hak suara menyatakan hal ini bertentangan dengan hak yang dijamin oleh konstitusi. Menurut para aktivis HAM, UU semacam itu telah ketinggalan zaman dan justru memperkuat stigma mengenai penyandang disabilitas mental. Akan tetapi para pendukungya menyatakan, pembatasan tersebut dimaksudkan untuk melindungi orang-orang dari kecurangan dalam pemilihan.

Reagan George, ketua Virginia Voter’s Alliance, kelompok pemantau pemilu di negara bagian Virginia, kepada The Atlantic mengaku pernah melihat orang-orang memanfaatkan suara para PDM. Begitu pula Bev Harris, pendiri kelompok pengamat pemilu Black Box Voting yang berbasis di negara bagian Washington. Ia mengamati hal semacam itu banyak terjadi di kalangan penghuni panti jompo.

Lewis Bossing, pengacara di Judge David L Bazelon Center for Mental Health Law, berbeda pandangan. Ia meyakini undang-undang yang mengatur demikian berakar dari kekeliruan historis mengenai PDM. Dahulu, ujarnya kepada The Atlantic, memang ada konsensus bahwa PDM patut dimasukkan ke tempat khusus untuk mengamankan sekaligus merawat mereka. Namun sekarang ini justru PDM diupayakan untuk berbaur di tengah komunitasnya.

Kekhawatiran serupa, bahwa PDM mudah dimanipulasi, juga muncul di Indonesia. Tetapi Yeni Rosa dari PJS menilai, bahkan pemilih yang bukan PDM pun mudah dipengaruhi pilihan politiknya.

BACA JUGA: Penderita Gangguan Kejiwaan Boleh Ikut Pemilu, Penghuni RSJ Lawang Antusias

Landasan Hukum

Di Amerika, selain konstitusi, UU federal yang menegaskan tentang dilindunginya hak pilih penyandang disabilitas telah dikeluarkan pada tahun 1960-an. Hingga kini, ada empat UU federal yang menjamin individu dengan disabilitas mental memiliki kesetaraan kesempatan dan akses dengan bantuan apabila perlu. Masing-masing adalah UU Hak Pilih (1965), UU Registrasi Pemilih Nasional, UU Warga Amerika dengan Disabilitas, dan UU Bantuan bagi Warga Amerika untuk Memilih.

Sementara itu di Indonesia, UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara, termasuk di antaranya dalam hak pilih. Pemilu pada tahun 2014 merupakan pertama kalinya bagi PDM untuk menyalurkan hak pilih mereka. KPU memfasilitasi penyelenggaraan di tempat-tempat perawatan seperti rumah sakit jiwa, panti rehabilitasi dan panti sosial.

Pada kesempatan pertama tahun 2014 itu, Yeni Rosa mengakui tentang masih sulitnya meyakinkan KPU bahwa PDM tanpa kecuali patut didaftar. Karena itu KPUmasih berkonsultasi dengan pengelola panti maupun psikiater mengenai siapa yang bisa memilih. “Tetapi pada pemilu tahun ini, kami tidak bisa menerima sikap itu lagi, karena berdasarkan UU Pemilu, semua orang berhak terdaftar sebagai pemilih,” jelasnya lagi kepada VOA.

Hak pilih bagaimanapun adalah hak dasar dan hak yang menjadi landasan demokrasi suatu negara. Hak untuk memilih wakil-wakil rakyat mengukuhkan pentingnya kontribusi setiap individu bagi tatanan masyarakat, meskipun sang pemilih adalah penyandang disabilitas. [uh]