Komnas Perempuan Desak USU Berikan Keadilan untuk Mahasiswi Penyintas Pelecehan Seksual

Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan orasi menuntut agar oknum dosen jurusan sosiologi yang diduga melakukan pelecehan seksual dipecat, Senin, 27 Mei 2019. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)

Komnas Perempuan mendesak agar Universitas Sumatera Utara (USU) segera menyelesaikan kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan seorang oknum dosen terhadap mahasiswinya dan memberi keadilan kepada penyintas. Namun, pihak USU menyebut untuk memberikan sanksi terhadap oknum dosen tersebut harus disertai bukti kuat yang memiliki dasar.

Kasus dugaan pelecehan seksual terhadap seorang mahasisiwi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Polifik (FISIP) di Universitas Sumatera Utara (USU) mendapat perhatian dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oknum dosen jurusan sosiologi berinisial HS terhadap mahasiswinya Flora (bukan nama sebenarnya) yang terjadi pada awal 2018 sampai sekarang belum menemui titik terang atas penyelesaian kasus ini.

Ketua Subkomisi Pendidikan di Komnas Perempuan, Nina Nurmila mendesak agar pihak kampus harus bersikap tegas dengan tidak menghindar dari penanganan kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan civitas akademika USU. Dalam hal ini seperti menghukum pelaku dan memulihkan mental mahasiswi penyintas pelecehan seksual itu.

"Komnas Perempuan mendesak supaya kampus menyelesaikan persoalan ini segera dan secara proporsional dalam arti menghukum pelaku, serta memulihkan korban," kata Nina saat dihubungi VOA, Senin (27/5).

Komnas Perempuan mengaku prihatin atas perlakuan kampus terhadap penyintas pelecehan seksual seperti memperlambat penyelesaian kasus ini. Menurut Nina, pihak kampus seharusnya bersikap responsif dalam memberikan sanksi terhadap dosen yang diduga melakukan pelecehan seksual.

Your browser doesn’t support HTML5

Komnas Perempuan Desak USU Berikan Keadilan untuk Mahasiswi Penyintas Pelecehan Seksual


"Keengganan kampus atau sikap menutup mata, memperlambat dan tidak menindak pelaku ini mencederai rasa keadilan bagi korban. Tentu saja ini seperti melindungi pelakunya. Karena pelaku merasa tidak dihukum, dan ditindak tegas maka dia berasa dilindungi. Sehingga dia akan memakan korban lain," ujar Nina.

Komnas Perempuan juga menyayangkan sikap USU yang sampai sekarang belum memberikan sanksi tegas kepada HS lantaran kekurangan bukti-bukti adanya tindakan tak senonoh yang dilakukannya. Padahal, pengakuan dari penyintas pelecehan seksual merupakan sebuah dasar yang bisa dijadikan bukti untuk memberikan hukuman terhadap oknum dosen tersebut.

"Pelecehan seksual termasuk sampai perkosaan sekalipun itu memang akan sulit dibuktikan. Tapi sebetulnya pengakuan korban harus dijadikan sebagai bukti itu sendiri. Memang permintaan pihak kampus untuk meminta bukti-bukti itu seperti menunjukkan ketidakpahaman kampus terhadap apa yang terjadi. Itu denial (penyangkalan) sebetulnya, karena misalnya dicolek atau diraba-raba, buktinya apa kalau itu dilakukan di tempat tertutup, ya tidak ada, kecuali pengakuan si korban itu sendiri. Pelaku sudah mengakui kesalahan itu sudah bukti juga," ucap Nina.

Puluhan Mahasiswa USU Dukung Penyelesaian Kasus Dugaan Pelecehan Seksual

Dukungan juga datang dari puluhan Mahasiswa Bersatu USU (MABESU USU) terhadap percepatan penyelesaian kasus dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan HS terhadap Flora. Aksi dukungan itu dilakukan dengan cara melakukan orasi di FISIP USU, Senin (27/5). Pimpinan aksi, Harry Cahaya Pratama mengatakan kalangan mahasiswa dari lintas jurusan di USU mendesak agar pihak rektorat memberikan sanksi berat terhadap HS.

"Stop pelecehan seksual dalam bentuk apapun di dunia pendidikan. Lakukan pemecatan terhadap oknum-oknum terkait yang kedapatan melakukan pelecehan seksual. Lalu, kampus harus membuat regulasi khusus bagian pelecehan," sebut Harry dalam orasinya.

Tanpa Bukti Kuat, USU Tak Bisa Jatuhkan Sanksi

Sementara itu, Dekan FISIP USU, Muryanto Amin mengatakan tidak bisa langsung memberikan sanksi berat terhadap HS tanpa ada bukti yang memiliki dasar kuat soal adanya pelecehan seksual. Kesulitan juga ditemui pihak fakultas lantaran pengaduan korban dan pelaku ada yang tidak bisa dibuktikan kendati HS sudah mengakui salah satu perbuatannya.

"Kendalanya, pertama dari pengaduan korban dan pelaku ada yang tidak bisa dibuktikan meski pelaku sudah menyatakan dia mengakui satu perbuatan mencoba memegang salah satu bagian dari tubuh korban. Tapi ada juga pengakuan korban yang tidak diakui pelaku. Dalam proses persidangan saya kira yang bisa menunjukkan kalau ada dua perbedaan itu adalah bukti, misalnya percakapan, foto, atau saksi, itu yang tidak ada, sehingga kesulitan untuk memberikan sanksi berupa pemecatan sebagaimana yang dituntut sekarang ini," ungkap Muryanto.

Namun, Muryanto menjelaskan tidak menutup kemungkinan sanksi berat sesuai ketentuan berlaku akan diberikan terhadap HS jika ada bukti-bukti baru yang bisa diberikan oleh penyintas pelecehan seksual. Sampai saat ini pihak fakultas juga masih menunggu pernyataan tertulis keberatan dari Flora atas sanksi yang sebelumnya pernah diberikan terhadap HS berupa surat peringatan.

"Ada tuntutan dari publik dan korban untuk melakukan pemecatan. Tapi juga ada persyaratan yang dibutuhkan untuk melakukan itu, seperti diatur dalam ketentuan sehingga antara tuntutan publik dengan ketentuan yang berlaku ini harus disamakan dulu, dan itu butuh waktu. Tidak serta-merta melakukan pemecatan kan tidak juga. Semua ada proses hukum atau ketentuan yang harus kita lewati. Ada tahapan ini sudah 2 pekan, saya ingin meminta kepada korban yang menuntut itu menyampaikan surat tertulis sehingga bisa kami proses kembali. Siapa tahu ada bukti baru," pungkas Muryanto.

Temui Dosen Untuk Perbaikan Nilai, Flora Mengaku Alami Pelecehan Seksual

Seperti diberitakan sebelumnya, peristiwa kelam yang dialami Flora pada awal 2018 bermula ketika ia ingin meminta perbaikan nilai mata kuliah yang diampu HS. Kemudian, HS menyetujui permintaan Flora untuk perbaikan nilai mata kuliah itu, namun terlebih dulu mengajaknya meninjau lokasi penelitian.

Flora tak langsung menerima ajakan itu. Ia menanyakan kepada beberapa senior tentang ajakan HS dan kepribadian dosen itu, dan diketahui ia memang kerap mengajak mahasiswa ke lokasi penelitian. Ia pun akhirnya menyetujui ajakan HS ke lokasi penelitian yang kebetulan tak jauh dari kampung halaman Flora.

Pada 3 Februari 2018, Flora pergi bersama HS. Dalam perjalanan menuju lokasi penelitian, awalnya HS tak menunjukkan gelagat buruk. Namun ketika jalanan sepi, HS mulai melakukan tindakan tak senonoh dengan meraba bagian vital dan bokong Flora. Saat itu Flora diselimuti rasa takut akan dibunuh jika melawan, sehingga ia mencoba berlindung dengan menutupi badannya dengan jaket dan tas.

Lantas Flora mencoba mencari pertolongan dengan mengirim pesan singkat ke temannya melalui sebuah aplikasi. Dalam pesan tersebut, Flora hanya bisa menuliskan kalimat "Tolong Aku". Namun ia tak berani mengangkat panggilan video temannya. Tindakan cabul tersebut terus berulang terjadi saat dalam perjalanan menuju lokasi penelitian.

Kemudian, Flora meminta kepada HS untuk diturunkan di sebuah lokasi. Flora beralasan ingin ke rumah temannya. Padahal di lokasi diturunkannya tersebut bukan rumah teman Flora. Tipu muslihat itu dilakukan Flora agar dirinya bisa terhindar dari tindakan cabul HS. Setelah turun dari mobil, HS memberikan uang Rp 200 ribu untuk ongkos pulang Flora. Awalnya Flora enggan menerima uang tersebut. Namun karena dipaksa, akhirnya Flora menerima uang itu dan langsung pergi menjauh dari HS.

Setelah kejadian tersebut, Flora melaporkan tindakan HS ke jurusan. Namun, apa yang terjadi kemudian tak berpihak kepada Flora. Ia hanya diberi bukti foto surat skorsing terhadap HS, tanpa kop surat dan stempel resmi universitas. Itulah sebabnya kini Flora menuntut keadilan. [aa/em]