Komnas HAM Tolak Pendekatan Politik dalam Selesaikan Kasus Wasior-Wamena

  • Fathiyah Wardah

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai (Foto: VOA/Fathiyah)

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak rencana pemerintah yang ingin menyelesaikan dua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua yaitu kasus Wasior dan Wamena lewat pendekatan politik.

Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Badrodin Haiti baru-baru ini menyatakan bahwa dua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua – yaitu kasus Wamena dan Wasior – akan diselesaikan dengan pendekatan politik. Penyelesaian secara politik ini tambahnya dilakukan karena dua kasus tersebut terjadi setelah diterbitkannya Undang-undang tentang pengadilan HAM pada tahun 2000.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai kepada VOA, Rabu (27/4), menegaskan lembaganya sangat menolak rencana pemerintah yang ingin menyelesaikan dua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua yaitu kasus Wasior dan Wamena dengan pendekatan politik.

Hal ini dikarenakan kedua kasus ini sudah diselidiki oleh Komnas HAM dan dinyatakan bahwa memang terjadi pelanggaran HAM berat pada kedua kasus itu. Hasil penyelidikan Komnas HAM tambahnya merupakan hasil penyelidikan pro yustisia yang berorientasi dan berakhir di pengadilan.

Kedua kasus tersebut lanjut Pigai harus dibawa ke pengadilan hak asasi manusia yang ada saat ini karena keduanya terjadi setelah tahun 2000, yaitu Wasior terjadi tahun 2001 dan Wamena 2003. Di pengadilan itu, kata Pigai, adalah tempat untuk membuktikan kebenaran. Setelah hal itu dilakukan baru diputuskan oleh pemerintah dan keluarga korban, model penyelesaian seperti apa yang akan diambil, apakah melalui rekonsiliasi dan perdamaian yang berakhir pada restitusi, rehabiitasi maupun pemberian kompensasi.

Your browser doesn’t support HTML5

Komnas HAM Tolak Pendekatan Politik dalam Selesaikan Kasus Wasior-Wamena

"Penyelidikan pro yustisia artinya penyelidikan dalam kerangkan human rights justice system karena itu sangat tidak mungkin hasil penyelidikan pro yustisia itu digunakan untuk kepentingan politik dan non yustisia," ujar Pigai.

Kasus Wasior dan Wamena merupakan satu dari tujuh berkas kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM dan telah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Namun hingga kini belum ditindaklanjuti. Menurut Pigai, keinginan pemerintah menggunakan pendekatan politik dalam menyelesaikan kasus Wasior dan Wamena sangat bertentangan dengan keinginan publik.

Sebelumnya, Komnas HAM pernah melakukan survei terhadap kelurga korban. Hasilnya hampir semua keluarga korban khususnya kasus Wamena Wasior berkeinginan agar diselesaikan secara pro yustisia atau dibawa ke pengadilan. Jika pemerintah tetap menjalankan keinginannya itu, Pigai memastikan masyarakat Papua akan melakukan perlawanan dalam konteks hak asasi manusia. Dan ini akan semakin menjauhkan perdamaian di Papua yang selama ini diinginkan oleh Presiden Jokowi. Dan kekerasan di Papua menurut Pigai akan terus terjadi karena tidak adanya sanksi terhadap mereka yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua.

"Saya kira pemerintah jangan salah langkah deh, ambil aja langkah-langkah yang progresif yang penting untuk menyelesaikan buat integrasi nasional. Apa sih salahnya menghukum orang-orang yang salah, apakah mereka pahlawan. Pahlawan pembunuh kok pahlawan. Artinya pemerintah jangan mengambil langkah yang bertentangan dengan keinginan publik," tambahnya.

Sementara, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan meminta pihak lain tidak melakukan intervensi dalam penyelesaian kasus HAM di Papua. Luhut mengatakan 6 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan satu berkas kasus pelanggaran HAM berat di Papua (yaitu Wasior dan Wamena) bisa dituntaskan dengan segera sehingga tidak menjadi beban bagi generasi berikutnya.

"Masa 'forgive and forget' tidak bisa, nanti dibikin dan dicari formatnya. Kita mari menatap masa depan yang lebih baik," ajak Luhut.

Kasus Wasior bermula dari konflik antara masyarakat yang menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang dirampas oleh perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan pada Maret 2001. Dalam aksi itu, muncul kelompok bersenjata yang menembak mati tiga karyawan perusahaan tersebut. Kepolisian Daerah Papua dengan dukungan Kodam Cendrawasih melakukan operasi tuntas matoa. Dalam operasi tersebut empat orang tewas dengan 39 kasus penyiksaan dan lima kasus orang hilang.

Adapun kasus Wamena berawal dari pembobolan gudang senjata Markas Kodim 1702/ Wamena pada 2003. Peristiwa tersebut menewaskan dua anggota Kodim dan menyebabkan satu orang luka berat, Aparat kemudian melakukan penyisiran. Dalam penelusurannya, Komnas HAM menemukan 2 kasus pembunuhan, 20 kasus penyiksaan, 6 kasus penembakan dan 9 orang menjadi narapidana politik. [fw/em]