Koalisi Masyarakat Madani Siap Tolak UU Pilkada

  • Kate Lamb

Aksi tolak Pilkada oleh DPRD di seberang Istana Merdeka Jakarta, Selasa, 16 September 2014 (Foto: VOA/Andylala)

Sebuah koalisi kelompok masyarakat madani di Indonesia bersiap-siap untuk menentang UU kontroversial yang menghapuskan Pilkada langsung.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 2005 dan telah memainkan peranan penting dalam kehidupan demokrasi.

Tetapi dalam keputusan yang kontroversial, parlemen Indonesia pekan lalu memilih untuk menghapuskan Pilkada langsung, berargumen bahwa sistem itu tidak efektif dan rentan akan konflik dan korupsi pada tingkat daerah.

Menurut UU baru itu, gubernur, kepala daerah dan walikota akan ditunjuk oleh DPRD, sistem yang diterapkan semasa kepemimpinan mantan diktator Soeharto.

30 kelompok masyarakat madani telah bergabung dalam koalisi untuk menolak UU itu, berencana untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dalam beberapa minggu mendatang.

Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menjelaskan mengapa koalisi itu mencari solusi yudisial.

“Perludem bersama-sama dengan 29 organisasi masyarakat madani lainnya akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi mengenai UU Pilkada itu karena menurut kami UU ini bertentangan dengan semangat UUD 1945 di mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Dengan meloloskan UU ini, kami kehilangan hak dasar politik kami, yaitu untuk memilih dan menjadi kandidat,” ungkap Titi.

Titi Anggraini mengatakan koalisinya akan berargumen bahwa UU baru itu merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka dan mencegah munculnya kandidat independen.

Contohnya, Presiden terpilih Joko Widodo, orang baru dalam bidang politik, mendapat dukungan masyarakat luas sebagai Walikota Solo, lalu sebagai Gubernur Jakarta sebelum terpilih sebagai kepala negara.

Pengesahan RUU Pilkada oleh DPR dinilai luas sebagai akhir yang pahit bagi kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kritikan terbesar terhadap UU itu adalah pemilihan para kepala daerah kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh elit partai politik.

Sementara, pengamat politik Djayadi Hanan dari Universitas Paramadina di Jakarta mengatakan UU Pilkada merupakan kemunduran bagi demokrasi Indonesia.

“Ini merupakan kemunduran setelah adanya momentum demokrasi di Indonesia… Menurut saya ini menandai kembalinya oligarki politik, dan elit-elit politik kini bisa mengontrol proses politik di tingkat daerah,” kata Djayadi.

Walaupun para pengamat telah menggambarkan UU itu sebagai tidak demokratis, belum jelas apakah gugatan ke Mahkamah Konstitusi akan berhasil. Tetapi itu tidak meredam kemarahan publik.

Dalam protes damai di Jakarta hari Minggu (28/9) dan di media sosial dalam beberapa hari ini, para pengecam telah menyebut UU itu sebagai ‘kematian bagi demokrasi.’

Di Twitter, pesan-pesan yang mencemooh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, atau SBY, bermunculan dengan tanda pagar #ShameOnSBY dan sempat trending di seluruh dunia selama hampir 48 jam.

Presiden Yudhoyono berada di luar negeri untuk melakukan kunjungan kenegaraan terakhirnya, tetapi dia juga telah menyatakan kekecewaan atas lolosnya RUU itu.

Dalam sebuah video di YouTube, Presiden mengatakan dia juga akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Presiden, yang akan segera habis masa jabatannya itu, diduga akan memperpendek lawatannya di Jepang supaya bisa bertemu dengan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi hari Rabu (1/10).

Berbagai keraguan muncul mengenai ketulusan reaksi Presiden mengingat dia memiliki kemampuan untuk menghentikan pembahasan awal RUU itu. Dan partainya-lah yang membiarkan RUU itu diloloskan setelah mereka melakukan aksi 'walk out' dari parlemen dan abstain dari pemungutan suara.

Lolosnya UU itu dinilai luas sebagai akhir yang pahit bagi kepemimpinan Yudhoyono selama sepuluh tahun. Presiden SBY yang telah memimpin selama dua periode, dengan keberhasilan memelihara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, akan mengakhiri jabatannya tanggal 20 Oktober mendatang.