Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika

Menlu Indonesia Retno Lestari Marsudi bersama Menlu Amerika John Kerry di Washington DC, Senin pagi 21/9 (VOA/Eva Mazrieva)

Lawatan Presiden Joko Widodo ke Amerika sekaligus menandai lima tahun “Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika”. Apa saja yang sudah tercapai dalam kerjasama ini dan apa yang masih harus ditingkatkan?

Satu tahun lalu dalam pidato di Honolulu – Hawaii, Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry menggambarkan arti penting Indonesia sebagai “the promise of democratic future”. Hal ini ditegaskan kembali oleh Kerry beberapa minggu sebelum lawatan Presiden Joko Widodo ke Amerika.

“Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan ada begitu banyak isu penting yang membuat kami prihatin. Kami bekerja sangat erat dalam beberapa bidang ekonomi. Indonesia juga memainkan peran penting terkait ASEAN, isu-isu Laut China Selatan, perubahan iklim dan isu-isu lain,” ujar Kerry.

Indonesia dan Amerika telah menjalin hubungan khusus lewat kesepakatan “US-Indonesia Comprehensive Partnership” atau “Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika” sejak tahun 2010, yang ditandatangani langsung oleh menteri luar negeri kedua negara kala itu: Hillary Clinton dan Marty Natalegawa.

Kesepakatan itu meliputi kerjasama politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa kelompok kerja telah dibentuk untuk mengelaborasi kerjasama tersebut. Salah satu kelompok kerja misalnya memusatkan perhatian pada penguatan demokratisasi di Indonesia, dengan mempromosikan tata pemerintahan, perlindungan HAM, kebebasan memperoleh informasi, keterbukaan dan partisipasi politik, transparansi kebijakan dan penguatan supremasi hukum.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Lestari Marsudi menegaskan hal ini dalam konferensi pers di Washington DC baru-baru ini.

“Tahun ini tepat lima tahun US-Indonesia Comprehensive Partnership. Saya bersama Menlu Kerry membahas tentang bagaimana kami bisa meningkatkan kerjasama ini di masa depan. Ini merupakan saat-saat terbaik bagi Indonesia dan Amerika untuk duduk bersama, membahas apa yang masih bisa dilakukan oleh kedua negara,” papar Retno.

Tetapi tidak bisa dipungkiri, mengingat kedudukan Indonesia yang sangat strategis, banyak negara yang juga ingin juga menjalin kerjasama serupa dengan Indonesia, antara lain China. Upaya China mendekati Indonesia tampak jelas dengan berbagai kerjasama yang terjalin dalam satu tahun terakhir ini, terutama kerjasama ekonomi. Contoh paling nyata adalah dengan keberhasilan China memenangkan tender kereta api cepat Jakarta-Bandung baru-baru ini, yang semakin memperkuat asumsi eratnya hubungan ekonomi Indonesia-China.

Badan Pusat Statistik BPS Juli lalu melaporkan ekspor Indonesia ke China pada semester pertama tahun ini mencapai 6,64 milyar dolar, sementara nilai impor lebih tinggi yaitu 14,7 milyar dolar. Dibandingkan dengan Amerika, nilai ekspor Indonesia ke negeri Paman Sam ini memang jauh lebih tinggi yaitu 12,5 milyar dolar – atau dua kali lipat dari nilai ekspor ke China.

Amerika juga masih menjadi tujuan utama ekspor Indonesia, disusul Jepang dan China. Tetapi kebangkitan China tetap tidak bisa dipandang sebelah mata.

Pengamat Indonesia yang juga Direktur Forum Asia Tenggara SEAF di Stanford University, Prof. Donald K. Emmerson menilai Indonesia harus bersikap tegas memainkan peran di antara kedua raksasa dunia ini.

“Banyak negara-negara di Asia Pasifik – setidaknya beberapa diantara mereka – yang mendekatkan diri ke China untuk kemakmuran dan mendekatkan diri ke Amerika untuk keamanan. Kehadiran militer Amerika – the 7th Fleet – masih menjadi satu-satunya jaminan keamanan utama di Laut China Selatan. Menurut saya China sedikit demi sedikit ingin mengikis peran Amerika itu. Jika Jokowi benar-benar tulus saat menyampaikan kebijakan utamanya tentang “poros maritim dunia” yang menjadi peran penting Indonesia sebagai negara maritim, maka ia harus mempersiapkan kebijakan untuk menghadapi China – terkait krisis di Laut China Selatan saat ini – dan tentu saja pada saat bersamaan dalam konteks ASEAN. Karena secara tradisional Indonesia senantiasa dianggap sebagai 'natural leader of ASEAN',” kata Emmerson.

Lebih jauh Emmerson mengatakan banyak pihak menunggu inisiatif Indonesia dalam banyak hal, terutama dalam masalah ekonomi dan keamanan.

“Pendekatan yang sekarang ini terjadi yaitu “mendekat ke China untuk meningkatkan kemakmuran dan mendekat ke Amerika untuk memperkuat keamanan”/ bukanlah pendekatan yang baik untuk jangka panjang// Apalagi bagi Amerika yang pastinya tidak ingin “dimintai” membantu menjaga keamanan Asia Tenggara tetapi ditinggal saat Asia Tenggara mencari kemakmuran ke China// Pernyataan ini bisa jadi kontroversial tetapi saya rasa Indonesia dibawah Jokowi harus memikirkan hal ini// Banyak pihak – termasuk Amerika – yang menunggu inisiatif Indonesia dalam berbagai isu,” tambahnya.

Mantan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dalam diskusi di CSIS pertengahan Oktober lalu memuji sikap Indonesia dalam mengatasi ekstremisme dan terorisme. Bishop berharap Amerika akan menggunakan kesempatan kunjungan Presiden Joko Widodo untuk melibatkan Indonesia lebih jauh dalam upaya ini.

“Saya juga senang melihat perspektif Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi tentang peran yang menurutnya bisa dimainkan Indonesia dalam mengatasi ekstremisme dan berkoalisi dengan pihak lain untuk memberantas terorisme, karena Indonesia adalah negara Muslim moderat. Ini merupakan sisi positif yang bisa dimainkan Indonesia, dengan mengasumsikan bahwa Amerika juga menggunakan kesempatan kunjungan Presiden Widodo untuk membahas apa lagi yang bisa dilakukan untuk melibatkan Indonesia dalam koalisi melawan terorisme global. Saya tahu ada beberapa teroris dari Indonesia – demikian juga dari Australia – yang bergabung dengan Front Al Nusra di Suriah dan Irak. Tentu saja prihatin dengan kembalinya para militant ini kembali ke kawasan Asia, juga banyaknya jumlah narapidana terkait kasus terorisme di Indonesia yang akan dibebaskan dalam beberapa bulan dan tahun ini. Kami bekerja keras menyiapkan program rehabilitasi bagi orang-orang yang telah menjalani hukuman dalam kasus aksi teroris, sama seperti kami bekerja dengan Indonesia untuk mengatasi kasus teroris dalam bentuk apapun. Kami harap Amerika akan melibatkan Indonesia dalam bidang-bidang di mana kita bisa saling bekerjasama,” kata Bishop.

Presiden Joko Widodo dijadwalkan bertemu Presiden Barack Obama di Gedung Putih pada hari Senin 26 Oktober 2015 dan akan memberikan konferensi pers bersama setelah pertemuan tersebut.

Sebelum bertolak ke Amerika, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan akan ada empat nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Indonesia dan Amerika dalam lawatan ini, yaitu perjanjian pertahanan, keamanan maritime, dukungan berkelanjutan bagi kemandirian bahan bakar sektor penerbangan dan perjanjian energi. Keempat perjanjian ini belum termasuk 15 kontrak bisnis antara sektor swasta kedua negara. [em/al]