Kasus Syiah Sampang akan Dilaporkan ke Dewan HAM PBB

  • Fathiyah Wardah

Anggota jemaah Syiah dari Sampang, Madura, yang mengungsi menyusul serangan terhadap mereka. (Foto: VOA/Petrus Riski)

Human Rights Working Group (HRWG) akan melaporkan peristiwa penyerangan terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura ke sidang Dewan HAM PBB.
Kelompok kerja hak asasi manusia Human Rights Working Group (HRWG) menyatakan Rabu (29/8) bahwa pihaknya akan melaporkan kasus penyerangan terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura, ke sidang evaluasi periodic universal (UPR) Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 19 September mendatang.

Wakil HRWG Chairul Anam mengatakan mereka juga akan melaporkan masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, dan bahwa dunia internasional harus mengetahui pemerintah Indonesia telah melakukan pembiaran atas kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Penegakan hukum yang dilakukan pemerintah Indonesia, menurut Anam, tidak pernah tuntas terkait kekerasan terhadap kelompok minoritas. Kekerasan terhadap kelompok Syiah pernah terjadi pada Desember 2011, namun tidak pernah ada upaya konkrit dari pemerintah agar peristiwa tersebut tidak berulang, ujarnya.

Anam menjelaskan, dalam sidang UPR Dewan HAM PBB pada Mei lalu, Pemerintah Indonesia menolak disebut intoleran. Namun, kata Anam, kejadian penyerangan kelompok Syiah di Sampang terakhir ini dengan jelas membuktikan intoleransi pemerintah terhadap kelompok minoritas.

“Di negara lain, tindakan intoleransi akan langsung mengarah pada penyidikan dan pelakunya langsung dihukum, tapi kalau di sini gagal. Presiden hanya pidato tapi tindakan konkritnya tidak ada. Itu yang kami sayangkan. Oleh karenanya kami membawa isu tersebut ke dunia internasional karena tipologi pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dia tidak mau mendengarkan rakyatnya di dalam negeri, dia mau mendengarkan internasional,” tutur Anam.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdal Kasim meyakini isu kebebasan beragama di Indonesia akan kembali dibahas dalam sidang UPR Dewan HAM PBB September mendatang.

Negara-negara anggota, kata Ifdal, akan mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas.

Ifdal mengatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia semakin menurun, salah satunya karena masih adanya peraturan tentang pencegahan penodaan agama.

“Di negara-negara demokratik yang lain, blasphemy (penodaan agama) sudah dihapuskan pemidanaannya. Di Indonesia justru mengeras. Kalau kita baca draft Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang direvisi itu makin banyak delik agama. Ini menurut saya memberikan kontribusi pada terjadinya berbagai pergesekan di dalam masyarakat terkait dengan kebebasan beragama.

“Adanya UU tentang penodaan agama ini menjadi basis bagi berbagai kelompokdi dalam masyarakat untuk menyesatkan orang lain lain dan kemudian melakukan tindakan-tindakan main hakim sendiri,” ujar Ifdal.

Sementara itu, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Muhammad Anshor mengakui masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan belum secara tuntas diselesaikan, meski demikian pemerintah Indonesia kata Anshor sangat serius menyelesaikannya.

“Akar permasalahannya mungkin belum tuntas, tapi semuanya adalah suatu proses,” ujarnya, seraya membantah jika dikatakan pemerintah Indonesia melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi pada kelompok minoritas.