Ini Alasan Jokowi Larang Mudik Lebaran 2021

Petugas polisi mengenakan masker berjaga di pos pemeriksaan jalan raya di Bekasi, menyusul larangan mudik lebaran untuk mencegah penyebaran virus corona (COVID-19), 24 April 2020. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters/dok)

Peningkatan kasus aktif COVID-19 setelah liburan panjang menjadi alasan Jokowi melarang masyarakat untuk mudik pada hari raya Idul Fitri.

Pemerintah secara tegas telah melarang masyarakat untuk melakukan tradisi pulang kampung pada hari raya lebaran tahun ini, karena pandemi COVID-19 belum usai.

Presiden Joko Widodo mengatakan kebijakan pelarangan mudik lebaran 2021 diambil melalui berbagai pertimbangan, salah satunya berdasarkan pengalaman tahun lalu di mana telah terjadi tren kenaikan kasus aktif COVID-19 setelah empat kali libur panjang.

“Yang pertama saat libur Idul Fitri tahun lalu terjadi kenaikan kasus harian hingga 93 persen dan terjadi tingkat kematian mingguan hingga 66 persen,” ungkao Jokowi, dalam telekonferensi pers, Jumat (16/4).

Presiden Joko Widodo kembali mengenakan larangan mudik lebaran tahun ini, karena pandemi masih belum usai.

Kedua, kata Jokowi terjadi kenaikan kasus positif corona hingga 119 persen, sehingga menyebabkan tingkat kematian secara mingguan naik hingga 57 persen yang terjadi pada liburan panjang 20-23 Agustus 2020.

Ketiga, liburan panjang selanjutnya, yakni 28 Oktober-1 November 2020, telah menyebabkan kenaikan kasus sebanyak 95 persen, dan kasus kematian berada di level 75 persen.

Terakhir, kenaikan kasus positif corona naik hingga 78 persen, yang berdampak pada kenaikan tingkat kematian mingguan sampai 46 persen pada liburan Natal dan Tahun Baru, 24 Desember 2020-3 Januari 2021.

Mantan gubernur DKI Jakarta ini juga menjelaskan, kebijakan pelarangan mudik ini harus diambil untuk menjaga tren penurunan kasus aktif di Indonesia yang dalam kurun waktu dua bulan terakhir diklaim telah menurun dari 176.672 kasus pada 5 Februari 2021, menjadi 108.032 di 15 April 2021.

“Penambahan kasus harian juga sudah relatif menurun. Kita pernah mengalami 14 ribu hingga 15 ribu kasus per hari pada bulan Januari 2021 tapi kini berada di kisaran 4.000-6.000 kasus per hari,” tuturnya.

BACA JUGA: Jokowi Tegas Larang Masyarakat Mudik Lebaran 2021

Tingkat kesembuhan pasien COVID-19 juga diklaim terus mengalami peningkatan. Pada 1 Maret 2021, ada sebanyak 1,151 juta orang atau 85,88 persen dari total kasus telah sembuh. Jumlah tersebut terus meningkat di 15 april 2021 menjadi 1,438 juta orang atau berada di level 90,5 persen.

“Oleh karena itu kita harus betul-betul menjaga momentum bersama, momentum yang sangat baik untuk itulah pada lebaran kali ini pemerintah memutuskan melarang mudik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), personel TNI/Polri, pegawai BUMN, karyawan swasta dan seluruh masyarakat,” tegasnya.

Jokowi memahami kerinduan masyarakat untuk senantiasa melepas rindu dengan sanak saudara, apalagi pada saat merayakan hari kemenangan. Namun, hal ini harus dilakukan demi keselamatan seluruh rakyat Indonesia.

“Mari kita isi Ramadan dengan ikhtiar memutus rantai penularan wabah demi keselamatan seluruh sanak saudara kita, diri kita dan seluruh masyarakat,” pungkasnya.

BACA JUGA: Semua Moda Transportasi Dilarang Beroperasi 6-17 Mei 

Klaim Penurunan Kasus Masih Diragukan

Pakar Epidemiologi di Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono ragu strategi pelarangan mudik bisa menekan laju penyebaran virus corona. Pasalnya, sudah banyak masyarakat yang bergegas pulang ke kampung halamannya sebelum periode 6 Mei mendatang.

Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, kata Pandu, pemerintah telah memberlakukan tes screening yang validitasnya belum teruji, yakni GeNose. Alat screening berupa tes usap (swab) antigen seharusnya menjadi alat screening yang diwajibkan bagi pelaku perjalanan, selain tes usap PCR.

Pakar Epidemiologi UI, Pandu Riono

“Yang menjadi masalah adalah orang yang bepergian kan menyebarkan virus. Terus, proses orang mau melakukan perjalanan ini kan screening. Nah, tes screening yang paling bagus dan cepat kan antigen. Ini masyarakat diperkenalkan screening yang tidak akurat (GeNose). Maka saya khawatir akan banyak false positive dan false negative,” ungkapnya kepada VOA.

Lebih lanjut, Pandu meragukan bahwa kebijakan “Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat” (PPKM) secara mikro telah mengakibatkan tren penurunan kasus aktif COVID-19 seperti yang diklaim oleh Jokowi.

Menurutnya, kalaupun memang terjadi penurunan kasus ia menduga hal ini terjadi akibat adanya transisi virus lama ke varian baru virus corona, salah satunya B117 yang berasal dari Inggris. Hal serupa, katanya terjadi di India yang saat ini menjadi salah satu negara dengan kenaikan kasus COVID-19 terbesar di dunia, di mana sebelumnya telah mengalami tren penurunan kasus.

BACA JUGA: Jokowi Targetkan 70 Juta Orang Sudah Divaksinasi COVID-19 pada Juli 2021 

“Jadi virus yang dulu yang lama, itu kan makin lama, makin berkurang jumlahnya, terus virus baru yang B117, dan mutasi baru lainnya jumlahnya masih sedikit, jadi belum mampu untuk menularkan ke banyak orang. Nanti karena kita abai, orang gak pakai masker, gak jaga jarak, sudah senang turun, itu akan lebih tinggi kenaikan penularannya seperti di India, karena virus B117 kan lebih mudah menular,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menilai strategi “3T” (testing, tracing, treatment) yang dilakukan oleh pemerintah juga masih lemah. Jadi, secara pribadi ia tidak percaya klaim penurunan kasus terjadi karena kebijakan PPKM Mikro.

“Potensi kenaikan kasus lagi akan selalu ada, karena sudah terbukti bahwa virusnya ada, masyarakat sudah abai dan sudah sorak-sorak bergembira. (Pemerintah harus) meningkatkan kewaspadaan, jangan senang dengan PPKM Mikro,” tuturnya. [gi/em]