Infrastruktur Buruk Hambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sengketa lahan serta masalah lain seperti korupsi membuat pembangunan infrastruktur di Indonesia merupakan proses yang panjang dan memakan biaya tinggi. (Foto: Dok)

Kurangnya investasi untuk infrastruktur, ditambah lagi masalah lain seperti korupsi dan sengketa lahan, telah menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Beberapa bulan terlambat dari jadwal, para pekerja konstruksi yang mengebut untuk menyelesaikan jalan layang yang mengelilingi Jakarta dihambat oleh sekelompok warga dan kompleks kuburan nenek moyang mereka.

Pembicaraan di lokasi baru belum disepakati para kerabat dari 500 orang yang dimakamkan di sana. Namun hal itu tidak membuat pihak berwenang berhenti menggali kuburan baru dekat yang lama, tindakan yang menurut Yaman, ketua lingkungan setempat, tidak berguna.

“Tidak mungkin kita menyetujuinya,” ujar Yaman, menunjuk pada para pekerja yang menggali tanah merah pada siang yang disirami hujan saat itu. “Tempatnya akan sangat ramai. Bagaimana kita bisa berdoa untuk nenek moyang kita di sana?”

Untuk mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Indonesia sangat memerlukan jalan, jembatan, pembangkit listrik dan pelabuhan baru. Sengketa tanah seperti yang terjadi di Jakarta Barat tersebut, dan masalah-masalah lain seperti korupsi, membuat pembangunan infrastruktur merupakan proses yang panjang dan memakan biaya tinggi.

Banjir minggu lalu memperlihatkan investasi yang rendah selama puluhan tahun untuk sistem pembuangan air dan perlindungan dari banjir.

Investasi melonjak pada dua tahun terakhir di tengah banyaknya permintaan dari Tiongkok untuk batu bara, minyak kelapa sawit dan karet, serta tingginya belanja konsumen di seluruh Indonesia.

“[Pertumbuhan ekonomi] 6 persen atau 7 persen itu baik, tapi dapatkah ia tumbuh ke tahap berikutnya menjadi 8 atau 9 persen seperti yang diinginkan pemerintah?” ujar Gareth Leather, ahli ekonomi kapital dengan spesialisasi Asia.

“Masalah utamanya adalah lingkungan bisnis masih tidak kondusif terhadap kondisi-kondisi yang diperlukan supaya ekonomi tumbuh ke level tersebut.”

Bukannya membangun infrastruktur, sekolah dan rumah sakit, pemerintah telah memilih untuk mempertahankan subsidi bahan bakar. Hal ini mungkin keputusan yang populis, namun berbiaya tinggi. Pada 2011, subsidi hampir mendekati US$20 miliar, jumlah yang sama yang ditargetkan pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur pada 2013.
Jumlah itu naik 15 persen pada 2012, namun para ahli ragu pemerintah dapat menghabiskan semuanya karena kurang kapasitas.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M. Chatib Basri menyangkal ketakutan akan proteksionisme ekonomi, dengan memperkirakan bahwa pengganti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan digerakkan oleh pragmatisme dibandingkan retorika kampanye.

“Siapa pun yang menjadi presiden pada 2014, jika ia ingin mempertahankan kekuasaan, ia harus membuka lapangan pekerjaan untuk mengurangi kemiskinan,” ujar Chatib.

“Suka atau tidak, bahkan jika ingin menjadi nasionalis, ada kebutuhan untuk ekonomi yang terbuka.”

Tantangan-tantangan infrastruktur yang dihadapi Indonesia menjadi jelas jika bepergian ke seluruh negeri: Jalan layang antara kota-kota besar memotong pasar-pasar dengan pedagang yang tumpah ruah ke jalan, menyebabkan kemacetan. Buah lokal seringkali lebih mahal daripada buah impor dari Tiongkok karena biaya tinggi untuk mengirimnya dari Jakarta ke daerah. Harga semen di luar Jawa 10 kali lipat dari Jakarta setelah melewati sistem pelabuhan yang kuno.

Tantangan transportasi lebih nyata di Jakarta. Konstruksi “ring road” di sebelah barat kota seharusnya selesai pada akhir 2012, namun terhambat sengketa tanah. Di tempat lain, para spekulan, yang seringkali bekerja sama dengan pegawai pemerintah, membeli tanah dan mengatur harga supaya proyek dapat berlanjut.

Tanah pemakaman tersebut dimiliki negara sebelum warga mulai mengubur kerabatnya di sana lebih dari 20 tahun yang lalu. Pihak berwenang telah menawarkan paling tidak tiga alternatif lokasi, namun telah ditolak.

Yaman bersikeras bahwa ia dan warga yang ia wakili tidak ingin uang. Namun saat ia tidak ada, salah seorang warga menyarankan mereka menunggu bayaran uang yang ditukar dengan hak menggali kuburan.

Pelabuhan Tanjung Priok, yang dibangun pada 1877 oleh Belanda, merupakan simbol bagaimana Indonesia berkembang dan apa yang diperlukan untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara Asia lain. Mengelola hampir 65 persen dari impor dan ekspor di Indonesia, lalu lintas dalam pelabuhan naik 25 persen per tahun sejak 2009.

Pembangunan dimulai dua bulan lalu untuk ekspansi berbiaya $4,5 miliar yang dapat menggandakan kapasitas pelabuhan. Namun belum ada rencana untuk memperbaiki atau membangun jalan baru atau jalur kereta api ke dan dari pelabuhan, yang dikelilingi perumahan dan dipadati lalu lintas.

“Kita tidak bisa menunggu 15 tahun untuk membangun pelabuhan baru. Dengan pertumbuhan seperti sekarang, kita perlu membangunnya sekarang,” ujar Richard Lino, presiden direktur Pelindo II, BUMN yang mengelola pelabuhan.

Izin bea cukai saat ini memerlukan waktu lebih dari enam hari, atau dua kali lipat dari Kuala Lumpur, membuat biaya usaha lebih tinggi dan pelabuhan lebih macet.

“Kita masih bergulat dengan bea cukai. Semua juga tahu mereka seperti apa,” ujar Richard. (AP/Chris Brummit)