Kelompok Gay Indonesia Hadapi Peningkatan Homofobia

Sebuah poster anti-LGBT di Jakarta (foto: ilustrasi).

Human Rights Watch mengecam pernyataan "homofobia" para pejabat terkemuka, seperti dari Menhan Ryamizard Ryacudu, yang menyamakan homoseksual dengan perang nuklir.

Retorika homofobia bukanlah hal baru dalam politik Indonesia, dalam beberapa bulan terakhir, pejabat terpilih telah mencap gay Indonesia sebagai korup dari segi moral, tidak konsisten dengan nilai-nilai nasional, dan bahkan "lebih buruk dari perang nuklir."

Tetapi penangkapan beberapa laki-laki gay baru-baru ini di sebuah pesta pribadi di daerah Kalibata, Jakarta Selatan merupakan kejutan bagi banyak orang, baik karena penggerebekan itu dipimpin oleh kelompok sayap kanan Front Pembela Islam (FPI), maupun karena kemudian diikuti oleh polisi.

FPI semakin berani dalam beberapa bulan terakhir menyusul keberhasilan inisiatif mereka seperti unjuk rasa besar-besaran terhadap Gubernur Jakarta dari etnis Tionghoa, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama. Akibat penentangan yang lemah dari Presiden Joko Widodo dan politisi-politisi utama lainnya, kelompok ini semakin nekad dalam perilakunya.

"Apa yang terjadi pada tahun 2016 adalah aneh dan belum pernah terjadi sebelumnya," kata Kyle Knight, peneliti di Human Rights Watch.

Awal tahun ini, katanya, banyak pejabat terkemuka seperti terpancing untuk berbicara sembarangan dan saling menghasut, seperti yang diucapkan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, yang menyamakan homoseksual dengan perang nuklir.

"Dan politisi utama hanya membisu karena takut semakin menyulut kemarahan ekstremis," katanya. Tapi ini justru memiliki efek sebaliknya, dan suara ekstremis menjadi semakin lantang.

Akronim LGBT telah menjadi sarat dengan berbagai makna, kata Knight, dan politisi menggunakannya sebagai singkatan yang mewakili seperangkat nilai-nilai liberal. "Saya tidak heran jika beberapa dari mereka bahkan tidak tahu kata-kata apa yang sebenarnya diwakilkan dalam singkatan itu," katanya.

Kelompok FPI telah menggunakan isu hak kelompok gay menjadi alat pemecah untuk menimbulkan kemarahan golongan menengah menjelang pemilihan kepala daerah bulan Januari dan Februari, ujarnya.

Wartawan dan pakar tentang Indonesia Elizabeth Pisani telah menganalisis ratusan undang-undang dan peraturan yang berdasarkan syariah dan menemukan bahwa peraturan yang didasarkan atas “moralitas” itu tidak populer di antara pemilih.

Walaupun peraturan anti-gay dan sikap intoleran populer di antara politisi lokal dan didukung oleh kelompok garis keras seperti FPI, kemungkinan para politisi penganutnya akan terpilih jauh lebih kecil daripada politisi yang lebih moderat, kata Pisani. [ps/jm]