Hoaks Makin Merajalela Jelang Pemilu

  • Nurhadi Sucahyo

Forum dialog dan literasi media sosial di Yogyakarta, Sabtu 16 Maret 2019 (foto: VOA/ Nurhadi Sucahyo)

Hoaks atau berita bohong nampaknya tidak dapat dipisahkan dari proses politik di Indonesia, juga di negara-negara lain. Berbagai upaya dilakukan untuk menekan kemunculannya, termasuk memaksimalkan peran penyedia platform.

Pemerintah rupanya cukup direpotkan dengan kemunculan hoaks yang seolah tanpa henti. Kementerian Komunikasi dan Informatika bahkan membentuk satuan tugas khusus, yang diberi nama Drone 9 untuk memantau konten di Internet, termasuk hoaks. Henri Subiakto, staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika memaparkan itu di Yogyakarta, Sabtu (16/3), dalam acara digital literasi bersama Suara Muhammadiyah.

Henri Subiakto, staf ahli Menkominfo berbicara mengenai hoax menjelang Pemilu (foto: VOA/ Nurhadi Sucahyo)

Henri menguraikan, setidaknya satgas ini sudah mengumpulkan 700 lebih konten yang teridentifikasi sebagai hoaks. Konten-konten semacam, baik tulisan maupun foto, diberi penanda khusus oleh Kominfo dan diumumkan sebagai hoaks agar tak lagi disebarkan masyarakat. Namun, nampaknya tetap ada kecenderungan pengguna internet untuk tetap mengumbar hoaks, dan trennya terus meningkat menjelang Pemilu.

Your browser doesn’t support HTML5

Hoax Makin Merajalela Jelang Pemilu

“Ada perkembangan yang menarik setelah mendekati Pilpres, kira-kira hampir sebulan ini, meningkat jumlah hoaksnya itu. Ini hampir sama trennya dengan waktu tahun 2014 maupun 2017, ketika Pilkada DKI. Baik itu hoaks yang dilaporkan masyarakat maupun yang terpantau,” kata Henri Subiakto.

Henri menilai, hoaks kini bahkan sudah menjadi bagian dari politik dan tidak bisa dipisahkan. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara. Trennya relatif sama, yaitu menggunakan hoaks secara sengaja untuk memprovokasi mayoritas. Di Amerika yang diprovokasi melalui hoaks adalah masyarakat kulit putih. Di Brasil, kata Henri, kelompok masyarakat Katolik yang menjadi sasaran. Sementara di Indonesia, hoaks digunakan untuk mempengaruhi suara mayoritas muslim. Karena itulah, tambah Henri, pemerintah bekerja sama dengan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU dan yang lain, untuk menangkal hoaks sekaligus membangkitkan kesadaran masyarakat tentang bahayanya.

Menangkal hoaks via Regulasi

Dari sisi regulasi, pemerintah juga tidak tinggal diam. Saat ini sudah ada landasan hukum bagi penyebar hoaks dari kalangan masyarakat. Sedang disusun sebuah aturan ke depan, yang akan memberikan sanksi denda bagi penyedia platform yang tidak cukup mengambil langkah menangkal hoaks. “Google, Facebook, maupun Youtube bisa kena sanksi hukum, yaitu denda, kalau mereka membiarkan platformnya dipakai untuk menyebarkan hoaks. Ini diterapkan, kalau sudah kita ingatkan tetapi mereka tetap membiarkan. Makanya kita buat regulasinya,” tambah Henri.

Namun, Peraturan Pemerintah ini belum dapat disahkan karena masih menemui ganjalan. Selain itu, pemerintah juga masih menemui rintangan untuk mencegah penyebaran hoaks melalui jalur komunikasi pribadi, misalnya melalui platform WhatsApp. Kebiasaan masyarakat yang mudah menyebar informasi juga menjadi kendala. Dimana sebuah informasi yang sudah dikategorikan sebagai hoaks, masih terus disebarluarkan dengan modifikasi tertentu.

Septiaji Eko Nugroho, Ketua Mafindo (foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Dihubungi terpisah, Septiaji Eko Nugroho, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menyatakan, bisa saja pemerintah membuat inovasi regulasi. Dia memberi contoh, di Jerman aturan serupa telah ada, namun belum bisa menilai efektifitasnya. Aturan semacam itu dimungkinkan karena pemerintah berposisi sebagai regulator. Salah satu tugasnya adalah mendorong penyedia platform lebih meyakinkan penggunanya, untuk tidak menyalahgunakan dengan penyebaran konten negatif.

Namun, Septiaji mengingatkan langkah itu sebagai solusi hilir, yaitu tindakan yang diambil ketika hoaks sudah menyebar. Dibutuhkan pula solusi hulu yang mencegah produksi dan distribusi hoaks. “Platform jangan hanya menawarkan produknya, tetapi ada tanggungjawab, misalnya literasi digital ke publik, termasuk kampanye menggunakan media sosial secara positif,” ujar Septiaji.

Untuk dapat bertindak lebih jauh, penyedia platform seperti Facebook, Twitter, Youtube dan yang lain, harus mampu memahami konteks konten di Indonesia. Platform dari luar, kata Septiaji, perlu melibatkan komunitas di Indonesia untuk memahami konteks suatu konten apakah melanggar aturan, standar komunitas, regulasi, atau norma lokal yang ada.

“Platform lebih banyak mengunakan algoritma atau mesin untuk melakukan pengecekan terhadap konten, ini memang cukup membantu. Tetapi ada banyak konten yang membutuhkan penilaian dari manusia. Di Indonesia, kita punya banyak bahasa, ratusan bahasa, dan saya tidak yakin apakah Facebook memiliki engine yang bisa memantau bahasa daerah di Indonesia. Karena itu, mereka bisa merangkul komunitas, tidak hanya nasional, tetapi juga komunitas yang memahami bahasa daerah,” papar Septiaji.

Dia memberi contoh, di Surabaya kata jancuk yang dituliskan di media sosial, dapat bermakna menghina tetapi bisa juga mengandung nada persahabatan. Dalam kasus semacam ini, komunitas lokal lebih mampu melakukan verifikasi dibanding Facebook sendiri.

Hoaks Merusak Pemilu

Mafindo baru saja merilis laporan jumlah hoaks yang berhasil didata dan diverifikasi pada 2018 hingga Januari 2019. Pada 2018, jumlah hoaks terdata mencapai 997 buah dengan 488 hoaks atau 49,94 persen bertema politik. Pada Januari 2019, jumlah hoaks mencapai 109 buah dengan 58 diantaranya bertema politik.

Septiaji, mengatakan meningkatnya jumlah hoaks dengan tema politik yang berhasil diverifikasi, berpotensi mengancam kualitas pesta demokrasi. “hoaks tak hanya merusak akal sehat calon pemilih, namun juga mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilu, dan lebih parah lagi, mampu merusak kerukunan masyarakat yang mengarah ke disintegrasi bangsa,” ujarnya

Dari 259 hoaks bertema politik pada paruh kedua 2018, pasangan Jokowi-Amin disasar 75 buah hoaks dan Prabowo-Sandi menerima 54 hoaks. Pada Januari 2019 saja, ada 58 hoaks politik, dimana 19 hoaks merugikan Jokowi-Amin dan 21 hoaks menyasar Prabowo-Sandi.

Mafindo juga mencatat, Facebook masih menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkar hoaks. Twitter dan WhatsApp berada di bawahnya, namun dalam jarak cukup jauh. Sebagai contoh, pada Januari 2019, 49.54 persen hoaks ada di Facebook

12,84 persen di Twitter dan 11, 92 persen melalui WhatsApp.

Santi Indra Astuti, Ketua Komite Litbang Mafindo, menjelaskan pada Januari 2019, sebanyak 34,86 persen hoaks berupa narasi saja, gabungan foto dan narasi sebanyak 28.44% dan gabungan video narasi sebanyak 17.43%. Kenaikan jumlah hoaks berbentuk video, kata Santi, mengindikasikan kian canggihnya bentuk hoaks yang beredar di masyarakat.

“Masyarakat harus memahami bahwa hoaks berbahaya bagi masa depan bangsa kita, namun itu saja tidak cukup. Masyarakat juga harus memiliki kemampuan memilah dan memilih mana berita yang benar dan mana yang keliru. Kegiatan literasi digital harus dilakukan dengan melibatkan multisektor, ini bukan kewajiban pemerintah saja, namun bagi siapa saja yang tidak ingin negeri ini larut dalam bencana informasi akibat hoaks,” tambah Santi. [ns/as]