Hingga Sepekan, Belasan Warga Wadas Belum Berani Pulang

  • Nurhadi Sucahyo

Perempuan dan anak menjadi korban dengan trauma paling berat dalam insiden Wadas. (Foto Nurhadi)

Insiden Wadas sepekan lalu meninggalkan trauma dalam bagi para warga. Belasan warga hingga saat ini masih mengungsi dan tidak berani pulang.

Keberadaan warga yang belum berani pulang itu diungkap oleh Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, Minggu (13/2) lalu. Warga takut insiden serupa akan terulang.

Dikonfirmasi terpisah, pengacara dari LBH Yogyakarta Julian Duwi Prasetia membenarkan hal itu. Pihaknya masih terus melakukan pendataan, sehingga belum tahu jumlah pasti warga yang masih mengungsi ke wilayah lain. Namun sejauh ini dia menyebut jumlahnya sudah lebih dari sepuluh.

Sejumlah lembaga mendirikan posko peduli di Wadas untuk mendampingi warga. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Mereka mengungsi di tempat saudara. Kami sampai hari ini masih belum bisa untuk mendata satu persatu, by name. Jadi masih belum muncul,” kata Julian kepada VOA, Senin (14/2)

Upaya mengajak mereka kembali ke rumah telah dilakukan. Suasana kondusif juga dihadirkan, setelah polisi menarik seluruh aparat dari kawasan Wadas pada Sabtu (12/2). Namun, rasa takut masih menghalangi kepulangan belasan warga itu, setidaknya sampai Senin (14/2).

“Yang kami upayakan dari LBH, adalah memastikan mereka tidak akan dikepung lagi. Mereka sudah kami ajak pulang, tetapi belum mau,” tambah Julian.

Meski sempat dibersihkan aparat pada 8 Februari, warga Wadas kembali memasang poster-poster perlawanan di wilayahnya. (Foto: VOA/Nurhadi)

Suasana Wadas memang belum pulih sepenuhnya. Jalanan desa relatif sepi, dan warga lebih banyak berkumpul di Masjid Nurul Huda, Dusun Krajan. Di masjid tersebut, sebuah dapur umum kecil didirikan. Sejumlah lembaga juga membuka layanan advokasi dengan memanfaatkan rumah-rumah di sekitar masjid sebagai posko. Karena itulah, tidak mengherankan jika dalam sepekan ini, kawasan tersebut menjadi pusat kegiatan warga. Alasan lain yang mendasari adalah karena dengan berkumpul warga merasa aman.

Beberapa warga yang ditemui VOA mengatakan aktivitas ekonomi mereka belum pulih sama sekali. Sebagian belum merawat kebun, dan perempuan desa juga berhenti membuat besek, kerajinan anyaman bambu yang biasa dipakai untuk acara-acara tradisi. Anak-anak mengalami trauma paling berat, dan mayoritas tidak mau didekati orang yang belum mereka kenal.

Seorang anak Wadas berjalan melewati spanduk yang menggambarkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. (Foto: VOA/Nurhadi)

Trauma Panjang Warga

Dalam pertemuan dengan Ombudsman Jawa Tengah di Wadas, Senin (14/2), sejumlah warga menceritakan kembali apa yang terjadi pada insiden 8 Februari.

Salah satunya adalah Fajar, yang menceritakan bahwa polisi mulai datang sekitar pukul 10.00 WIB. Di barisan depan aparat keamanan ini ada Polwas, yang diikuti Brimob, kelompok petugas tidak berseragam, pasukan PHH, dan pasukan K9 dengan anjing pelacak di bagian belakang. Warga saat itu sedang menggelar pengajian di Masjid Nurul Huda.

Setelah ketegangan meningkat, suasana berubah menjadi chaos. Warga bingung karena polisi mencerca untuk memastikan mereka warga Wadas atau bukan. Karena di rumah sendiri, warga seperti Fajar, tentu tidak menenteng Kartu Tanda Penduduk (KTP), seperti ditanyakan polisi.

BACA JUGA: Proyek Bendungan Bener: Perlawanan Keras dari Wadas 

“Akhirnya saya lari ke kamar, ternyata di kamar itu sudah ada beberapa teman yang sembunyi juga dan ada ibu-ibu yang juga sembunyi. Akhirnya pintunya kita tutup, selang beberapa menit pintunya digedor, didobrak,” kata Fajar.

Setelah aparat keamanan masuk, mereka menangkap warga dari dalam rumah dan membawanya keluar. Selain menerima kekerasan, warga juga diborgol dengan tali untuk kemudian dibawa ke kantor polisi.

Sebagian warga melarikan diri hingga ke kawasan hutan di atas desa Wadas. Kawasan ini menjadi bagian dari Perbukitan Menoreh yang memanjang di sisi selatan Pulau Jawa, di mana hutan masih ada di sejumlah area.

Seorang anak di Wadas melintas di depan posko perlawanan warga. (Foto: VOA/Nurhadi)

Dalam konferensi pers pada 10 Februari, dua orang warga sempat bercerita melalui telepon bagaimana mereka melewatkan siang dan malam penuh ketegangan di tengah hutan. Mereka tidak berani turun karena takut ditangkap, dan tidak mengetahui apa yang terjadi di desa, karena sulitnya komunikasi.

Seniman yang juga mendampingi warga Wadas mempertahankan tanahnya, Yayak Yatmaka, juga turut digelandang polisi pada Selasa pekan lalu. Dia menginap semalam di Mapolres Purworejo, sebelum kemudian dibebaskan setelah desakan muncul dari banyak pihak.

“Semaleman digojlok, dengan cara halus. Pokoknya sampai mentalnya jatuh. Ditanya misalnya berapa tanah yang dipunyai, berapa luas. Dalam rangka supaya mereka menyerah atas perlawanannya,” kata Yayak kepada VOA.

Seniman lukis Yayak Yatmaka menunjukkan bingkisan yang diberikan Ganjar Pranowo usai dibebaskan polisi. (Foto: VOA/Nurhadi)

Warga yang ditangkap juga tidak bisa tidur sepanjang malam, karena kondisi tidak pernah tenang. Selalu ada suara-suara keras, kata Yayak, bahkan hingga selepas Subuh. Setelah bebas, dia tahu bahwa ternyata banyak pihak mendesak warga dibebaskan pada Selasa (8/2) malam itu juga. Namun, polisi baru melepas mereka pada Rabu (9/2) siang.

Ombudsman Lakukan Investigasi

Hari Senin (14/2) Kantor Ombudsman Jawa Tengah datang ke desa Wadas untuk bertemu warga. Sesuai tugasnya, lembaga ini melakukan investigasi terkait dugaan kesalahan administrasi dalam upaya pengamanan proses pengukuran. Sabarudin Hulu dari Kantor Ombudsman Jawa Tengah mengatakan, lembaganya akan bertemu dengan semua organisasi pemerintah yang terlibat dalam insiden itu.

“Ombudsman melakukan investigasi terkait dugaan mal-administrasi dalam memberikan pelayanan, dalam proses pengamanan yang dilakukan oleh aparat dari kepolisian,” kata Sabarudin.

BACA JUGA: Komnas HAM Pastikan Terdapat Tindakan Kekerasan dari Aparat di Wadas

Setelah bertemu warga Wadas, Ombudsman akan menggali informasi dari kepolisian, Badan Pertahanan Nasional Jawa Tengah, dan lembaga lain di bawah kementerian yang terlibat seperti BBWS-SO yang ada di bawah Kementerian PUPR.

“Mal-administrsi ini mengenai dugaan penyimpangan prosedur, atau dugaan pengabaian kewajiban hukum atau dugaan ketidakpatutan. Kalau penyimpanan prosedur ini, bagaimana prosedur pengamanan, bagaimana mekanisme yang dilakukan pihak kementerian dan lembaga,” tambah Sabarudin.

Your browser doesn’t support HTML5

Hingga Sepekan, Belasan Warga Wadas Belum Berani Pulang

Situasi kondusif, kata Sabarudin, penting dihadirkan saat ini. Setelah itu, upaya mencari solusi untuk persoalan-persoalan yang terjadi bisa dilakukan. Tahap selanjutnya, barulah diupayakan menemukan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab.

“Kami akan melihat apakah memang terjadi mal-administrasi dalam pengamanan yang diberikan aparat kepolisian,” tambahnya. [ns/ah]