Hari Anti Tembakau Sedunia, Bayi dan Anak Jadi Perokok Pasif

  • Yudha Satriawan

Kampanye 'Stop Merokok' untuk memperingati Hari Anti Tembakau Sedunia di Solo, Sabtu, 31 Mei 2014 (Foto: VOA/Yudha)

Berbagai komunitas peduli kesehatan paru ikut dalam aksi "Stop Asap Rokok" memperingati Hari Anti Tembakau Sedunia yang jatuh pada hari ini, Sabtu, 31 Mei 2014.
Berbagai aksi di gelar di Solo dalam rangka memperingati Hari Anti Tembakau Sedunia yang jatuh pada hari ini, 31 Mei 2014. Berbagai komunitas peduli kesehatan paru, pemerhati anak, hingga akademisi dan mahasiswa perguruan tinggi kesehatan ikut dalam aksi "Stop Asap Rokok", yaitu berupa pembubuhan cap telapak tangan, sebagai simbol dukungan aksi ini.

Pemkot Solo pun mulai memberlakukan larangan merokok di ajang Car Free Day (Hari bebas kendaraan) di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, yang digelar secara rutin setiap hari Minggu pagi. Bahkan dalam beberapa pekan ini ada tim sweeping yang bergerak menindak warga yang nekat merokok di Car Free Day.

Pemkot juga menyediakan ruang khusus merokok atau Smoking Room di berbagai instansi pemerintah dan fasilitas publik, namun kurang efektif karena masih banyak warga yang merokok di luar ruangan tersebut.

Krisnadi, seorang Pedagang Kaki Lima (PKL) di Manahan Solo, Sabtu siang (31/5) tampak asyik mengisap rokoknya. Tak jauh dari dirinya terlihat anak kedua Krisnadi, Putra Permana yang berusia hampir lima tahun, tertidur lelap di pangkuan ibunya. Asap putih mengepul dari mulut Krisnadi. Krisnadi mengaku menjadi perokok lebih dari 25 tahun. Menurut Krisnadi, anakya tersebut sering menegur dirinya agar berhenti merokok.

“Saya merokok sejak SMA, ya sekitar 1987. Sudah lebih dari 25 tahun sampai sekarang. Saat ini saya sehari semalam hanya habis satu bungkus rokok, 12 batang saja. Pas masih muda dulu ya gila-gilaan rokoknya. Sehari semalam bisa habis lebih dari empat bungkus," kata Krisnadi.

Kalau dilihat dari segi kesehatan, menurut Krisnadi, merokok itu memang merugikan. Tapi kalau tidak merokok, dia mengaku dirimya menjadi mudah emosi, nafsu makan tak terkendali, dan banyak pikiran. "Ini saya coba kurangi merokok secara bertahap. Kalau langsung berhenti itu, ya susah. Belum bisa. Anak-anak saya itu, terutama anak saya yang masih balita ini, sering menegur saya, bilang Pak jangan merokok, nanti batuk lho, nanti sesak nafas lho Pak,” jelasnya.

Keluarga Krisnadi menjadi gambaran peran keluarga dan lingkungan sangat penting untuk meminimalisir bahaya merokok. Kondisi ini berkait dengan para pasien di Balai Besar Kesehatan Paru di Solo. Kepala instansi tersebut, Dokter Sigit Priyo Hutomo, mengatakan 60 persen pasien di Balai Besar Kesehatan Paru di Solo ini akibat merokok. Sigit menegaskan, bahaya asap merokok sudah mulai terkena pada bayi dan anak.

“(Dalam) Satu tahun, tempat kami itu menerima sekitar 60 ribu pasien. Sekitar 60 persennya, ya sekitar 36 ribu itu pasien akibat dampak merokok. Jadi proporsi pasien yang periksa kesehatan di tempat kami itu justru lebih banyak dan yang menyedihkan buat kita itu, sulit sekali memulihkan kondisi paru mereka (untuk) sehat kembali seperti sedia kala," kata Dokter Sigit Priyo Hutomo.

"Paru mereka (karena kebiasaan merokok) itu kan ibaratnya sudah cacat, rusak..tidak bisa direpair. Dan yang menjadi persoalan penting, sekarang sudah mulai masuk pasien berusia anak dan bayi yang kami tangani karena gangguan kesehatan paru akibat keluarga atau lingkungan mereka banyak yang merokok," tambahnya.

Menurut dokter Sigit Priyo Hutomo, persoalannya bukan pada si perokok itu sendiri, tapi juga pada keluarga dekat yang sehari-hari terpapar asap rokok. Banyak bayi atau anak-anak yang sakit pernafasan akibat di keluarga dan lingkungannya ada yang merokok. Perokok pasif lebih banyak terkena dampak atau bahaya merokok dibandingkan dengan mereka yang perokok.