Gay dan Agama: "Tuhan Menghampiri dan Merangkul Mereka yang Tersisihkan"

Foto ilustrasi yang menunjukkan seorang pria tampak melaksanakan salat secara terpisah di sebuah masjid di Tegal, Jawa Tengah, pada 12 April 2021. (Foto: Antara via Reuters/Oky Lukmansyah)

Bagi Rifqi, rasa cinta yang besar terhadap kedua orang tuanya menguatkan ia untuk tetap berada di jalan yang mungkin dianggap oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang kontradiktif, yaitu menjalani hidupnya sebagai seorang gay dan muslim.

“Mungkin ini agak melenceng sedikit. Kalau di Islam kan ibadah harusnya karena Allah ya, tapi aku motivasi terbesarnya lebih karena orang tua. Karena aku sayang banget sama mereka, terus aku sadar aku gak bisa memenuhi ekspektasi mereka jadi anak laki-laki pertama yang straight.”

“Jadi aku berusa fulfill juga di aspek lain (salah satunya dengan) menjadi seorang muslim yang cukup taat. (Ibadah yang kulakukan) selain buat Allah, selain buat aku juga, buat ketenangan batin aku, buat orang tuaku juga karena aku sayang banget sama mereka, ” tutur Rifqi kepada VOA.

Cerita Rifqi tidaklah unik. Di tengah pergolakan batin yang menerpa dan omongan miring yang keluar dari sekelompok masyarakat akan identitas mereka, Rifqi dan banyak teman-teman lain dari komunitas LGBTQ tetap berada pada pendiriannya untuk menjalankan kepercayaan mereka masing-masing.

Sejumlah aktivis LGBT meneriakan berbagai macam slogan dalam aksi protes terhadap revisi KUHP yang akan melarang hubungan sesama jenis di depan Gedung DPR di Jakarta, pada 12 Februari 2018. (Foto: AP/Tatan Syuflana)

Tinggal di negara di mana agama memainkan peranan yang cukup penting dalam kehidupan bermasyarakat, bukanlah perkara yang mudah bagi komunitas LGBTQ untuk tetap bisa beribadah seperti warga lainnya. Kata-kata sindiran seperti, “Emang LGBT ibadahnya bakal diterima?” seringkali datang tanpa diundang untuk mendiskreditkan pengalaman spiritual teman-teman dari komunitas LGBTQ sendiri.

“Aku ngerasa (punya) privilege dengan dikelilingi oleh teman-teman straight yang Islam tapi mereka tetap open minded jadi mereka gak mempermasalahkan identitas aku sebagai queer dan juga devout muslim. Dan teman-teman queer-ku pun banyak yang tetap salat bahkan (ibadahnya) lebih bagus dari aku,” ujar Rifqi, yang akan menginjak usia ke-27 pada bulan ini.

Tiga survei yang dilakukan oleh Lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) secara nasional masing-masing pada Maret 2016, September 2017, dan Desember 2017, menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia menilai bahwa kelompok LGBTQ memiliki hak hidup yang sama sebagai warga negara, namun jumlah responden yang merasa terancam akan keberadaan kelompok LGBTQ sendiri masih cukup besar di mana angkanya mencapai 87,6 persen.

Sementara itu, survei yang dilakukan oleh lembaga riset global Pew Research Center pada 2019 menunjukkan bahwa hanya 9 persen masyarakat Indonesia yang menerima keberadaan homoseksualitas.

Pergolakan Batin

Dengan adanya penolakan dari masyarakat dan juga doktrin yang menanamkan bahwa mereka adalah seorang pendosa tentu membuat teman-teman dari komunitas LGBTQ merasakan pergumulan batin yang cukup luar biasa, bahkan di antaranya hingga mempertanyakan nasib mereka.

Ron, 27, seorang pegawai swasta di ibu kota Jakarta masih sering dihantui pertanyaan mengenai mengapa ia dilahirkan dengan identitas seksual yang berbeda.

Seorang pemuka agama menjalankan ritual ruqyah terhadap dua orang dari komunitas LGBT di salah satu klinik di Jakarta, pada 26 November 2019. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

“Aku kan tidak pernah minta untuk dilahirkan seperti ini (menjadi gay.red) namun realitanya adalah dari kecil aku emang udah kayak gini tanpa ada embel-embel trauma atau (pengaruh) dari lingkungan dan sebagainya tapi emang dari diriku sendiri,” ujar Ron kepada VOA.

“Sampai sekarang sih masih sering ngerasa, ‘is this a curse?’ Sampai bilang gitu ke diri sendiri but I alway try to be positive dan mindset-ku aku ubah. Meskipun aku kayak gini (gay.red) sebisa mungkin aku gak melupakan Tuhanku. Karena aku merasa Tuhan tuh gak pernah lupa sama aku.”

Sama seperti Rifqi, Ron berusaha sebaik mungkin untuk menjalankan perannya sebagai seorang muslim terlepas dari identitas seksual yang melekat pada dirinya.

“Aku berusaha menjaga hubunganku dengan Tuhanku for the sake of my well-being bukan karena aku ingin dilihat sebagai orang yang suci, saleh atau rajin ibadah tapi ini sebagai rasa syukur aku ke Tuhanku karena meskipun aku kayak gini, dia gak melupakan aku.”

“Dari mana aku tahu kalau Tuhan gak melupakan aku adalah ya dengan ditegur … hal baik dan hal buruk yang menimpa aku, aku melihatnya sebagai tanda bahwa Tuhan tuh masih peduli sama aku. (Dia) gak memalingkan mukanya,” tambah Ron.

Seorang pria di Aceh menjalani hukuman cambuk karena kedapatan melakukan hubungan sesama jenis. Hukuman dilakukan di depan publik Banda Aceh, pada 23 Mei 2017. (Foto: Reuters/Beawiharta)

Untuk bisa sampai pada posisi di mana ia nyaman menjadi seorang queer dan Muslim, Rifqi juga mengalami krisis eksistensi yang cukup melelahkan. Sekitar lima tahun lalu, ia memutuskan untuk menjauh dari Sang Pencipta dengan tidak menjalankan ibadah seperti yang dulu ia lakukan.

Sampai akhirnya tiba di suatu momen di mana ia merasa sangat jatuh dan tidak mempunyai tempat lain untuk mengadu kecuali kepada sang Khalik.

“Di situ aku stres banget dan sadar bahwa aku tuh gak bisa sombong, gak bisa sendiri (dan) masih butuh bantuan yang di atas,” pungkas Rifqi.

Tuhan Bersama Orang-orang yang Terpinggirkan

Dalam penelusurannya, penulis queer Nurdiansyah Dalidjo bersama Queer Indonesia Archive (QIA) mendapati keberadaan sebuah perkumpulan bernama Persekutuan Hidup Damai dan Kudus (PHDK) di Surabaya, Jawa Timur.

QIA merupakan sebuah proyek arsip digital yang bertujuan mengoleksi, menjaga, dan menyebarkan material yang menggambarkan kehidupan dan pengalaman queer di Indonesia.

Pada masa awal berdirinya tahun 1989, perkumpulan tersebut bernama Persekutuan Doa Waria, Gay dan Lesbi. Di tengah gelombang penolakan yang kerap kali muncul, PHDK, yang diprakarsai oleh Bunda Handayani Kristianti, telah menjadi tempat aman bagi kelompok minoritas untuk tetap dapat menjalankan kepercayaannya.

Senada dengan Rifqi dan Ron yang memutuskan untuk tetap beribadah di tengah anggapan miring yang muncul akan identitas seksual mereka, Kevin, 23, juga mengambil langkah serupa dengan tetap berpegang teguh pada imannya.

Ribuan pendemo turun ke jalan di Bogor untuk turut serta dalam aksi demo anti LGBT pada 9 November 2018. (Foto: AFP/Sandika Fadilah Rusdani)

Pria yang sehari-hari bekerja di salah perusahaan startup di Jakarta ini mengatakan kepada VOA bahwa hubungan yang terjalin antara manusia dan pencipta itu sangatlah unik dan personal sehingga omongan-omongan miring yang masuk soal identitas seksual dan kepercayaannya tak mempengaruhi Kevin untuk terus mencoba mendekatkan diri dengan sang pencipta.

I never feel that God (has) punished me for being LGBT. Buatku sebagai anak yang besar di keluarga yang religius, I just know that I am gay since I was a kid.”

Ia menjelaskan dengan pernyataan dalam agama Kristen yang ia anut bahwa Tuhan menghampiri orang-orang tersisihkan seperti kelompok LGBTQ sehingga ia merasa sebenarnya mempunyai koneksi yang lebih dekat dengan Sang Pencipta dibanding orang-orang yang dianggap alim oleh standar masyarakat kebanyakan.

“Tuhan menghampiri mereka dan merangkul mereka (yang tersisihkan) untuk akhirnya mereka tuh punya kepercayaan bahwa (menjadi) tersisihkan itu bukan suatu hal yang membuat kamu gak bisa apa.”

“Malahan dengan (keyakinan) bahwa Tuhan bersama (orang yang terpinggirkan) maka kita bisa tetap melanjutkan hidup agar Tuhan bisa bekerja di dalamnya dan siapa tahu kita bisa menjadi berkat bagi orang lain sehingga mereka tidak lagi berpikir apa latar belakang kita.” [rs/dw]

Rifqi, Ron dan Kevin merupakan nama samaran. Identitas narasumber dirahasiakan untuk alasan keamanan.