China Bantah Paksakan KB Bagi Warga Uighur

  • Associated Press

Dua perempuan etnis Uighur melewati polisi paramiliter China yang berjaga di luar Grand Bazaar di distrik Uighur di kota Urumqi di wilayah Xinjiang China pada 14 Juli 2009. (Foto: AFP/Peter Parks)

Pemerintah China membantah bahwa Beijing memberlakukan KB paksa di kalangan warga perempuan Muslim yang minoritas di kawasan Xinjiang.

Seorang pejabat China awal pekan ini mengemukakan bantahan Beijing mengenai pemberlakuan program keluarga berencana paksa di kalangan perempuan dari kelompok masyarakat minoritas Muslim. Beberapa waktu sebelumnya muncul protes terkait cuitan Kedutaan Besar China di Washington, yang mengklaim pemerintah telah membebaskan perempuan dari kelompok etnik Uighur dari peran sebagai “mesin pembuat bayi.”

Xu Guixiang, deputi juru bicara pemerintah regional Xinjiang, mengatakan kepada wartawan bahwa keputusan mengenai program KB itu dibuat atas kemauan orang yang bersangkutan dan “tidak ada satupun organisasi atau individu

Menurutnya, dalam proses pelaksanaan program KB di Xinjiang yang sesuai dengan undang-undang adalah terlarang melakukan aktivitas ilegal, seperti aborsi pada usia kehamilan lanjut, memaksakan KB dan memaksakan pemeriksaan kehamilan.

"Apakah warga dari seluruh kelompok etnis melakukan KB, juga jenis kontrasepsi apa yang mereka pilih, semuanya diputuskan oleh individu tersebut atas kemauannya sendiri, dan tidak ada organisasi atau individu yang dapat mencampurinya. Tidak ada masalah sterilisasi wajib," katanya.

Perempuan etnis Uighur meninggalkan sebuah pusat di mana pelajaran pendidikan politik diadakan di Kashgar, di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, Cina 6 September 2018. (Foto: Reuters)

"Tingkat pertumbuhan populasi Uighur bukan hanya lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan populasi Xinjiang secara keseluruhan, tetapi juga lebih tinggi daripada di kalangan populasi etnik minoritas, dan secara signifikan lebih tinggi daripada populasi etnik Han yang mayoritas di China," kata Xu Guixiang, yang jabatan resminya adalah Deputi Dirjen di Departemen Publikasi Partai Komunis Xinjiang.

"Sementara bagi apa yang disebut sebagai memaksa perempuan etnik minoritas di Xinjiang untuk menggunakan IUD (spiral), menjadi tubektomi atau aborsi, ini tuduhan yang lebih ganas," tambahnya.

Suatu investigasi yang dilakukan Associated Press pada bulan Juni lalu mendapati bahwa pemerintah China memaksakan pemberlakuan program KB yang kejam terhadap warga keturunan Uighur, Kazakh, dan berbagai etnik minoritas lainnya di Xinjiang, termasuk pemasangan spiral, kontrasepsi lainnya, dan bahkan aborsi serta sterilisasi.

Langkah-langkah ini diperkuat oleh ancaman penahanan, di mana orang tua yang memiliki tiga anak atau lebih dibawa ke kamp-kamp dan penjara-penjara, apabila mereka tidak mampu membayar denda yang jumlahnya sangat besar.

Sebagai akibatnya, tingkat kelahiran di kawasan Xinjiang yang kebanyakan warganya dari etnik minoritas mengalami penurunan hingga lebih dari 60 persen dalam tiga tahun saja, meskipun Beijing sendiri telah melonggarkan restriksi kelahiran terhadap populasi etnik Han yang mayoritas, menjelang krisis demografis yang membayang.

BACA JUGA: China Bantah Tudingan Inggris Soal Kerja Paksa di Xinjiang

Twitter menghapus cuitan Kedutaan Besar China bertanggal 7 Januari lalu menyusul protes yang dilontarkan berbagai kelompok, yang menuduh Beijing berupaya menghapus budaya Uighur.

Para pengguna Twitter mengadu bahwa cuitan itu merupakan pelanggaran atas peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Twitter, yang diblokir di China bersama-sama dengan Facebook dan berbagai platform media sosial Amerika lainnya.

Nihad Awad, direktur eksekutif nasional Dewan Hubungan Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations), dalam suatu pernyataan yang dikirim melalui email mengemukakan, “Pemerintah fasis China kini secara terbuka mengakui dan merayakan penggunaan kamp-kamp konsentrasinya, kerja paksa, sterilisasi dan aborsi paksa, dan berbagai bentuk penyiksaan lainnya untuk menghapus minoritas etnik dan agama.”

China telah lama melancarkan kampanye bertahun-tahun melawan apa yang disebutnya terorisme dan fanatisme agama di Xinjiang. Cuitan kedutaan besar China di Washington mengacu pada kebijakan tersebut, dengan menyatakan, “Studi menunjukkan bahwa dalam proses memberantas ekstremisme, pikiran perempuan Uighur di Xinjiang dibebaskan, kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi didorong, membuat mereka tidak lagi menjadi mesin-mesin pembuat bayi.”

Cuitan itu mengutip penelitian Li Xiaoxia, seorang peneliti di Akademi Ilmu Sosial Xinjiang, yang menegaskan bahwa program KB di Xinjiang bersifat sukarela.

Makalah Li pada masa lalu meletakkan landasan teoritis bagi pembenaran langkah-langkah KB massal.

BACA JUGA: AS: Perlakukan China terhadap Muslim Xinjiang “Mendekati” Genosida

Dalam salah satu dokumen tahun 2017, Li mengatakan memiliki banyak anak merupakan pertanda bagi “ekstremisme agama dan separatisme etnik.”

Li khawatir distrik-distrik yang banyak dihuni etnik minoritas itu menjadi lahan subur bagi berkembangnya terorisme, dengan menyebutnya sebagai “risiko politik besar.”

Konferensi pers awal pekan ini merupakan upaya terbaru Beijing untuk menangkis kritik internasional yang kian meningkat terkait kebijakan-kebijakannya di Xinjiang, khususnya mengenai tuduhan kerja paksa dan penahanan lebih dari 1 juta warga Uighur, Kazakh dan yang lain-lainnya di fasilitas-fasilitas seperti penjara untuk menyampaikan indoktrinasi politik.

China menyatakan fasilitas-fasilitas itu dimaksudkan untuk memberantas ekstremisme dan mengajarkan keterampilan kerja. Tetapi para mantan penghuni fasilitas itu dan berbagai organisasi HAM menyatakan pemerintah China menarget Islam serta bahasa dan budaya kelompok etnis itu.

Alijan Anayat, juru bicara pemerintah regional lainnya, mengemukakan bahwa semua penghuni fasilitas itu telah “lulus” pada Oktober 2019. Ia membantah berbagai laporan bahwa China terus memperluas dan melanjutkan sistem tersebut.

Seorang petugas polisi China di pusat pendidikan kejuruan di Yining di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, China, 4 September 2018. (Foto: Reuters)

"Per Oktober 2019, seluruh siswa yang berpartisipasi dalam mempelajari bahasa nasional bersama, pengetahuan hukum, keterampilan dan pendidikan deradikalisasi telah lulus. Dengan bantuan pemerintah, mereka telah mendapatkan pekerjaan yang stabil, kualitas hidup yang meningkat dan hidup secara normal. Sekarang ini tidak ada pendidikan dan pusat pelatihan di Xinjiang," paparnya.

Anayat juga menambahkan, aktivitas keagamaan warga Muslim dari seluruh kelompok etnik di Xinjiang dijamin sepenuhnya.

"Aktivitas keagamaan seperti mengaji, berdoa, salat, berkhotbah, berpuasa, merayakan berbagai acara keagamaan Islam sesuai dengan doktrin dan tradisi di masjid atau di rumah mereka sendiri dilakukan sepenuhnya, sesuai dengan keinginan pribadi mereka," tutur Anayat. [uh/ab]