Bercanda Tak Beretika Soal Janda, Menteri Desa Dikecam Keras

Sejumlah perempuan menggunakan masker wajah antre membeli sembako murah di Banda Aceh, 14 Mei 2020. (Foto: AFP)

Sebanyak 27 persen dari total penerima bantuan langsung tunai (BLT) Dana Desa, atau 2.025.672 orang, adalah perempuan kepala keluarga.

Informasi penting yang menunjukkan bertambahnya jumlah perempuan yang jatuh miskin karena perebakan virus corona di Indonesia ini disampaikan Menteri Desa Abdul Halim Iskandar dalam rapat gabungan di Komisi VIII DPR, terkait verifikasi dan validasi data kemiskinan pada Rabu (1/7).

Menteri Desa Abdul Halim Iskandar dalam rapat gabungan dengan DPR hari Rabu (1/7) tentang verifikasi dan validasi kemiskinan, yang disiarkan langsung oleh televisi dan medsos. (Foto: screenshot)

Alih-alih menjelaskan tentang feminisasi kemiskinan itu, Abdul Halim justru menambahkan kalimat “ini janda tua Pak...”. Ucapan itu langsung disambut gelak tawa sebagian yang hadir dalam rapat itu.

“Harus saya pertegas, ini janda tua,” ujar Abdul Halim mengulang lagi pernyataannya.

Nani Zulminarni/Ketua PEKKA (Foto: Courtesy)

Ketua Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Nani Zulminarni menyampaikan kekecewaannya terhadap pernyataan yang dinilainya melecehkan sekelompok masyarakat miskin yang seharusnya dilindungi hak-haknya.​

Tidak hanya itu, Nani menilai pernyataan Abdul Halim tidak beretika dan didasarkan pada pola pikir misoginis.

“Ia (Menteri Desa Abdul Halim.red) jelas menstigmatisasi janda sebagai objek seksual semata sehingga merasa perlu menekankan kepada para anggota DPR bahwa yang menerima BLT Dana Desa ini janda tua. Bukan yang muda dan lekat dengan stigma sebagai objek seksual,” ujar Nani ketika diwawancarai VOA, Rabu (1/7) malam.

Ditambahkannya, “Ia (Abdul Halim.red) tidak menganalisa sumber kemiskinan yang makin menjerat perempuan dan mengusulkan solusinya. Ia tidak menjelaskan secara rinci yang dimaksud dengan ‘perempuan kepala keluarga.’ Atau perempuan lajang yang menjadi tulang punggung keluarga, mereka yang ditinggal suami merantau, mereka yang menjadi istri kesekian karena poligami atau mereka yang memang menjanda, tapi usianya di bawah 50 tahun sebagaimana data yang ada pada kami.”

BACA JUGA: Istri Bagai Corona, Janda Muda Tak Usah Terima BLT, Dicarikan Suami Saja; Pejabat Publik Makin Tak Sensitif Gender?

Hal senada disampaikan Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia KPI Mike Verawati Tangka yang mengatakan pihaknya sudah banyak mengumpulkan pernyataan-pernyataan para pejabat publik yang misoginis. Di antaranya adalah pernyataan anggota DPRD Jember, Bupati Lumajang, Menkopolhukam Mahfud MD, hingga yang terbaru Menteri Desa kemarin.

Mike Verawati Tangka, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia KPI. (Foto: Courtesy)

“Menurut KPI ini cerminan bahwa pejabat-pejabat kita belum memiliki perspektif yang mendukung kesetaraan perempuan. Ini misoginis. Mungkin mereka menganggap itu semua guyonan, tapi ini sangat seksis dan misoginis, seperti tidak punya kontrol dan etika,” ujarnya.

Tak Berperspektif Gender

Masih lekat dalam ingatan ketika KPI menyampaikan pernyataan sikap terhadap anggota DPRD Kabupaten Jember David Handoko Seto.

Dalam rapat paripurna DPRD pada 9 Juni, David mengatakan “pejabat-pejabat perempuan yang tidak bisa memberikan statement di kantor rakyat, mulai besok pakai cuwek [cobek.red] dan wajan [penggorengan.red] saja dan masak di dapur!”

Selain KPI, sejumlah aktivis perempuan di Jember telah ikut mengkritisi pernyataan kontraproduktif itu.

Beberapa minggu sebelum itu muncul pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang dalam halalbihalal Ikatan Keluarga Alumni Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) pada 26 Mei menganalogikan virus corona sebagai istri, “yang tidak bisa ditaklukkan.”

Seorang perempuan pemulung di pinggiran jalan di Jakarta, 29 Mei 2020. (Foto: AFP)

Ada juga pernyataan Bupati Lumajang Thoriqul Haq dalam “Tadarus Anggaran: Praktik Pengawalan Pelaksanaan BLT Dana Besa” pada 9 Mei. Dalam acara itu Thoriqul mengatakan bantuan diberikan kepada janda, “tapi bukan janda muda.. karena jika janda muda dicarikan suami saja.”

BACA JUGA: Perilaku Tak Sensitif Gender Makin Marak, Mengapa?

“Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan minimnya etika politik dan sangat buruknya pola pikir sebagian pejabat negara kita, yang seharusnya tidak lagi berperilaku tidak bermoral seperti ini,” tegas Mike Vera Tangka. Ditambahkannya, meskipun kelihatannya kecil, sudah saatnya publik menyampaikan sikap terhadap pernyataan dan sikap seperti ini.

UUD 1945 Jamin Kesetaraan Gender

Anggota Ombudsman RI, Dr. Ninik Rahayu, sebelumnya menyatakan bahwa sebaiknya pejabat publik menyebar empati kepada masyarakat, apalagi ketika bicara di ruang publik.

Dr. Ninik Rahayu, anggota Ombudsman Indonesia. (Foto: Courtesy)

Pejabat publik, kata Ninik, seharusnya mematuhi UUD 1945 yang menjamin kedudukan dan peran yang sama antara laki-laki dan perempuan.

“Juga janji untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi pada perempuan sebagaimana yang ada dalam konvensi tahun 1984. Atau malah jangan-jangan belum pernah baca?” tanya Ninik.

Lebih jauh Ninik mengatakan sudah saatnya “dalam proses rekrutmen pejabat publik mendatang, perlu dilakukan pemeriksaan ketat soal pemahaman mereka terhadap perempuan.”

Koalisi Perempuan Indonesia mengatakan akan mendorong perhatian lebih serius pada pejabat-pejabat publik yang tidak berperspektif gender, tidak saja lewat pernyataan terbuka, tetapi juga menulis surat kepada menteri dan tokoh perempuan agar ikut menyoroti hal itu. Selain tentunya memperkuat pendidikan berperspektif gender dari sejak dini. [em/ft]