Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kecam Tindakan Represif terhadap Masyarakat Adat Besipae

  • Yoanes Litha

Seorang ibu duduk di atas sebatang pohon bersama warga lainnya di desa Linamnutu, Nusa Tenggara Timur, Selasa, 18 Agustus 2020. (Foto: Martheda Esterlina Selan)

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengecam keras tindakan represif dan persekusi terhadap komunitas masyarakat adat Besipae di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur oleh aparat keamanan Selasa lalu (18/8). Tiga puluh rumah dibongkar paksa dan 47 kepala keluarga terpaksa harus mengungsi. 

Ketika menjadi inspektur upacara Detik-Detik Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, 17 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo dengan bangga mengenakan baju adat dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur NTT. “Ini kain tenun dengan motif Berantai Kaif Nunkolo,” papar Jokowi dalam akun Instagram.

“Motifnya dimodifikasi dari bentuk belah ketupat dengan batang tengah yang berarti sumber air. Bagian pinggirnya yang seperti bergerigi melambangkan wilayah berbukit dan berkelok-kelok,” ujarnya kepada wartawan di Istana Merdeka.

Demikianlah adanya kondisi alam di mana masyarakat adat Besipae, yang menghuni desa Linamnutu, Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur NTT. Ironisnya sehari setelah baju adat mereka dikenakan presiden di acara bergengsi itu, masyarakat adat Besipae justru menghadapi tindakan represif dari polisi dan pamong praja Pemprov NTT.

Pemprov NTT Hancurkan Rumah Masyarakat Adat

Kepada VOA, Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, hari Rabu (19/8), menyatakan aksi sepihak Pemprov NTT yang menghancurkan pondok-pondok milik warga merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional masyarakat adat yang telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.

Penyerangan terhadap komunitas adat Besipae, ujar Rukka, juga merupakan pelanggaran pemerintah provinsi (Pemprov) terhadap mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara. Ditegaskannya bahwa penggunaan tindak kekerasan adalah cara-cara yang tidak beradab dan melanggar hak asasi manusia.

BACA JUGA: Komnas HAM Kecam Tindakan Kekerasan yang Menimpa Masyarakat Adat Pubabu di NTT

“Kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat Besipae, termasuk perlakuan tidak manusiawi kepada perempuan dan anak, menunjukkan negara tidak hanya gagal menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak konstitusional masyarakat adat, tetapi juga menunjukkan watak otoritarian rezim yang berkuasa hari ini," jelas Rukka.

"Pemerintah harus segera menarik aparat keamanan yang masih berada dilokasi kejadian, segera membebaskan warga yang ditahan tanpa syarat dan melakukan pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak, serta mendesak pemerintah untuk lebih mengedepankan dialogis untuk menyelesaikan masalah ini dengan memastikan masyarakat adat Tiga Tungku: Mollo, Amanatun dan Amanuban terlibat penuh dalam menyelesaikan perkara ini,” tegasnya.

Sengketa Berawal dari Penolakan Warga Untuk Penggunaan Hutan Adat Pubabu

Rukka memaparkan sengketa hutan adat Pubabu yang meliputi desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam itu, diawali oleh keengganan komunitas adat Besipae untuk menyetujui tawaran perpanjangan izin pinjam pakai lahan di kawasan hutan adat Pubabu.

Pada tahun 1987, selama 25 tahun wilayah, tersebut digunakan sebagai areal proyek peternakan sapi yang merupakan kerjasama pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan sebuah perusahaan asal Australia. Pada tahun 2010, dua tahun sebelum izin kerjasama itu selesai, warga menolak tawaran perpanjangan dari pemkab.

Your browser doesn’t support HTML5

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kecam Tindakan Represif terhadap Masyarakat Adat Besipae

Komunitas adat Besipae bersikeras bahwa hutan adat Pubabu mesti dikembalikan lagi ke fungsi awalnya sebagai areal Nais Kio atau kawasan hutan larangan. Nais Kio adalah bentuk konservasi tradisional masyarakat adat Besipae berlandaskan kearifan lokal.

Namun pemkab Timor Tengah Selatan tidak mempedulikan penolakan masyarakat adat dan tetap melanjutkan penggunaan kawasan hutan adat Pubabu sebagai Hutan Makanan Ternak (HTM).

Meski demikian, komunitas adat Besipae tetap teguh menolak penggunaan areal seluas 3.700 hektar di kawasan hutan adat Pubabu.

Rukka menegaskan bahwa peristiwa penyerangan terhadap komunitas adat Besipae yang terjadi sehari setelah riuh perayaan kemerdekaan Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat adat masih terbelenggu oleh penjajahan. Perjuangan untuk mendapatkan pemenuhan hak melalui undang-undang masyarakat adat juga masih jauh dari harapan.

“Ini ironis. Presiden Joko Widodo tampil berpidato dengan menggunakan pakaian Masyarakat Adat Tiga Tungku. Tapi di saat yang bersamaan, Pemerintah dari level nasional hingga ke tingkat lokal justru sama sekali tidak menghargai hak-hak Masyarakat Adat. Sementara itu, sudah 15 tahun nasib Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat tak kunjung mendapatkan pengesahan di saat eskalasi kekerasan terhadap Masyarakat Adat semakin memprihatinkan,” jelas Rukka.

Warga Kini Terpaksa Tidur di Alam Terbuka, Tanpa Makanan dan Air Bersih

Martheda Esterlina Selan (39), warga desa Pollo, mengatakan sejak rumah-rumah mereka di bongkar paksa, dia dan warga lainnya harus bermalam di tempat terbuka, termasuk di antaranya balita dan bayi berusia dua bulan. Diakuinya dampak bunyi tembakan menimbulkan ketakutan dan trauma khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Di sisi yang lain mereka juga kesulitan air bersih dan bahan makanan yang disita aparat.

“Dalam satu hari ini kami makan satu kali, karena makannya terbatas. Karena makanan kami seperti jagung, beras, padi dibawa oleh Pemprov NTT, Satpol PP, jadi kami tidak tahu barang kami kemana,” ujar Martheda dengan lirih.

“Nah, tembakan ketiga itu mungkin karena terlalu dekat, ada bayi yang menangis trauma dan sampai saat ini bayi ini menangis terus. Karena ada bayi yang dua bulan, tiga bulan dan tujuh bulan,” cerita Martheda.

Warga komunitas adat Besipae, Rabu (19/8) duduk di atas tanah dengan penerangan api unggun sambil memeluk anak mereka yang tertidur. (Foto: Martheda Esterlina Selan)

Kepada VOA, Martheda menitipkan harapannya untuk pemerintah pusat di Jakarta. “Saya meminta kepada kepada bapak Jokowi, karena Jokowi sudah menandai, dia memakai adat Timor Tengah Selatan (TTS). Jadi, saya meminta bapak Jokowi kembalikan hutan adat kami. Kembalikan tanah kami, kembalikan belukar kami, kembalikan rumah kami, itu yang kami butuhkan, harapan kami,” ungkapnya.

Sejauh ini Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat, tidak merespon permintaan wawancara VOA mengenai polemik hutan adat Pubabu tersebut.

Kearifan Lokal Melalui Aturan Adat Hutan Larangan

Situs walhi.or.id menyebutkan hutan adat Pubabu itu sangat dijaga kelestariannya oleh masyarakat dengan aturan adat diantaranya menetapkan hutan larangan artinya hutan tidak boleh dikelola siapapun termasuk berburu satwa liar.

Masyarakat adat Pubabu berupaya memblokir alat berat untuk mencegah penggusuran di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. (Tangkapan layar via Zoom)

Warga boleh berburu hanya untuk binatang liar keluar yang dari hutan dan masuk kampung, tapi bila hewan itu lari kembali ke dalam hutan larangan, maka upaya perburuan oleh warga dihentikan. Kearifan lokal itu menyebabkan pohon-pohon dapat tumbuh besar dan rimbun, memastikan ketersediaan sumber mata air dan rumah bagi satwa liar.

Bagi masyarakat setempat, hutan merupakan sumber pangan berupa flora dan fauna, termasuk tanaman untuk pengobatan. [yl/em]