Agama, Pandemi dan Masa Depan Politik Indonesia

  • Nurhadi Sucahyo

Seorang petugas medis yang mengenakan alat pelindung mengambil sampel darah dari seorang anggota Jamaah Tabligh untuk dites virus corona, Temanggung, Jawa Tengah, 20 April 2020. (Foto: Antara/Anis Efizudin via Reuters)

Indonesia belum akan mampu terlepas dari isu agama dalam berbagai persoalan yang membelitnya. Begitu pula terkait pandemi virus corona yang saat ini terjadi. Upaya pendekatan berdasar sains yang dilakukan pemerintah berhadapan dengan kepercayaan sebagian warga terhadap ajaran agama. Sejumlah pakar berpendapat, pemerintah harus memperkuat peran tokoh agama dan masyarakat, menghadapi pandemi maupun masa sesudahnya.

Alissa Wahid, putri almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, adalah salah satu yang menggagaskan itu. Ia menilai, kelompok agama yang mengutamakan ritual akan mengalami kesulitan terkait hal in dan hanya mereka yang memahami konsep menghindari keburukan lebih utama dari mencari kebaikan, yang bisa menempatkan isu pandemi dalam kerangka tepat. Untuk menyelaraskan pemahaman sains dan agama itu, kata Alissa, peran tokoh agama harus dikedepankan.

Alissa Wahid, puteri presiden ke-4 Abdurrahman Wahid. (foto VOA/Munarsih Sahana).

“Saya melihat salah satu kegagapan pemerintah saat ini, kita tahu saat ini publik banyak protes kepada pemerintah karena inkonsistensi, karena ketidakjelasan, karena data yang ditutupi, karena manajemen krisis yang tidak baik, saya melihat salah satunya karena tidak selesainya pelibatan tokoh-tokoh masyarakatnya,” kata Alissa.

Masyarakat Indonesia, lanjut Alissa, adalah masyarakat sosiosentris. Mereka mendahulukan kepentingan kelompok dibanding pribadi. Tokoh masyarakat berperan dalam pilihan sikap seperti itu. Di sisi lain, sesuai riset 93 persen masyarakat Indonesia meyakini agama berperan sangat penting dalam kehidupan mereka. Keyakinan semacam ini penting diperhatikan pemerintah dalam merancang strategi menahan laju pandemi.

Tantangan Manfaatkan Peluang

Kecenderungan sosiosentris masyarakat Indonesia akan menentukan posisi agama dalam sistem politik Indonesia ke depan. Jika melalui pandemi ini, agama berhasil dijadikan kekuatan sosial, maka ada kesempatan ke depan untuk dipraktikkan dalam kehidupan politik. Namun jika gagal, agama akan kembali dijadikan alat politik untuk mengarahkan sentimen pemilih ke pihak tertentu.

“Apakah Indonesia akan mengkapitalisasi “sosiosentrisme” dan agama sebagai kekuatan berpengaruh untuk kepentingan bersama? Atau masih mau seperti kemarin, ketika agama dijadikan sebagai pratical politic capital, karena tahu bahwa sentimen agama adalah yang paling laku dan paling mudah menggerakkan publik,” kata Alissa yang juga koordinator Jaringan Gusdurian.

Nasir Djamil. (Foto: courtesy)

Politisi Partai Keadilan Sejahtera, M Nasir Djamil menyitir pendapat seorang kawannya di Aceh yang menyebut, dalam masa pandemi ini, agama seolah-olah hilang.

“Dalam situasi seperti ini, agama seolah-olah bubar. Jadi orang tidak lagi bisa berjabat tangan, orang tidak bisa lagi ke masjid, orang tidak bisa lagi ke gereja, orang tidak bisa lagi ke kuil. Perayaan-perayaan agama sudah tidak ada lagi, lalu kemudian kita disuruh untuk mencari Tuhan dalam keterisolasian kita,” kata Nasir.

Keterisolasian itu, lanjut Nasir, memberi kesempatan kepada umat beragama untuk merenung dan bersikap sabar. Bukan sebuah kesabaran untuk menerima begitu saja keadaan, tetapi tetap bergerak, terutama karena kondisi sosial yang kian memprihatinkan. Karena itulah, partai politik di Indonesia, termasuk PKS, menurutnya, memiliki banyak kegiatan sosial yang membantu masyarakat terdampak.

Dalam perenungan umat beragama menyikapi pandemi, muncul kesadaran bahwa sains hanya memiliki satu pisau untuk mengupas hal-hal yang terlihat. Ada sisi yang hanya dapat dipahami dengan peran agama di dalamnya, dan karena itulah di Indonesia agama juga berperan untuk menjawab berbagai hal terkait virus corona.

Jamaah Masjid Plosokuning Yogyakarta berkumpul mendengarkan wejangan pendek rutin setiap hari meski ada wabah virus corona. (Foto: VOA/Nurhadi)

Ada sebagian kalangan umat beragama, dalam agama manapun, yang mendekati pandemi ini dalam kacamata takdir. Karena itulah, sikap sebagian umat beragama memunculkan narasi yang seolah-olah tidak sesuai dengan sains. Pada satu sisi, tindakan umat beragama ini tidak sesuai dengan upaya pemerintah menekan laju penyebaran.

Tetapi ada cukup banyak hoaks tersebar di kalangan umat beragama yang mendukung tindakan itu. PKS, sebagai partai politik, kata Nasir, tentu saja tidak setuju dengan penyebaran wacana berisi hoaks semacam ini.

Inkonsistensi Jadi Masalah

Tetapi di satu pihak, inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat dalam penanganan pandemi juga menjadi alasan umat beragama untuk mengambil sikap berseberangan. Menurut anggota Komisi III DPR RI ini, ada semacam pembangkangan publik, karena penerapan kebijakan yang berubah-ubah oleh pemerintah.

Your browser doesn’t support HTML5

Agama, Pandemi dan Masa Depan Politik Indonesia

“Ada inkonsistensi penguasa dalam menyikapi pandemi ini. Mereka pun berusaha untuk membebaskan diri dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah, dengan mengajukan argumen-argumen bahwa semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan,” kata Nasir.

Firliana Purwanti dari DPP Partai Demokrat menyebut dua sebab yang menjadi tantangan besar dalam penanganan pandemi virus corona di Indonesia. Kedua hal itu adalah tidak konsistennya kebijakan yang diterapkan pemerintah, dan tekanan ekonomi yang membelit masyarakat.

Kartu Prakerja (courtesy: prakerja.go.id)

Sejauh ini, partai Demokrat berkonsentrasi memberikan bantuan ekonomi bagi masyarakat. Firliana menyebut, kelompok marjinal seperti pekerja sektor informal dan perempuan memperoleh prioritas mereka. Selain itu, kelompok masyarakat yang luput dari program pemerintah, seperti kartu Prakerja juga menjadi salah satu sasaran utama.

“Sebetulnya dampak ini bisa dihindari kalau saja pemerintah bisa lebih cepat menjaga daya beli masyarakat dengan segera mengeluarkan Bantuan Langsung Tunai,” kata Firliana.

Upaya di sektor ekonomi ini penting, lanjut Firliana, karena terbukti bahwa masyarakat miskin rentan dibujuk dalam politisasi agama.

Politik Sektarian Menurun

Sementara Andy Budiman, juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai ada keuntungan yang bisa diperoleh dari pandemi, terkait praktik politik sektarian di Indonesia. Di masa pandemi ini, masyarakat mau tidak mau diajak untuk berpikir rasional. Mereka juga terbiasa belajar dan mendengar uraian para ahli melalui media, termasuk upaya melakukan verifikasi. Dalam masyarakat yang kritis semacam itu, praktik politik sektarian ke depan akan bisa dikikis.

Andy Budiman. (Foto: Courtesy)

“Jadi pada pandemi ini sebetulnya kita sedang menyaksikan atau secara tidak sadar kita melihat bahwa suara-suara politik identitas atau politik sektarianisme ini menurun. Masih ada tentu saja orang yang mencoba mengobarkan politik identitas pada masa seperti ini, tapi secara umum suara-suara itu bisa dibilang menurun. Orang yang biasanya mengobarkan sentimen sektarian ini tidak punya ruang,” ujar Andy.

Andy mengapreasiasi peran tokoh agama di Indonesia yang justru ikut menyebarluaskan pemahaman mengenai virus corona dari sudut pandang ilmiah. Pilihan sikap semacam ini akan membangun solidaritas sosial yang lebih, dan akan terus membesar di masa depan.

Kehidupan relijius masyarakat juga akan berubah, dari tindakan yang lebih ditujukan sebagai pamer di masa lalu, menjadi sisi relijius lebih ke dalam, kepada diri sendiri. Kondisi ini, diyakini Andy akan mendukung hilangnya politik identitas di Indonesia masa depan. [ns/ab]