Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Putin Samarkan Praktik Deportasi Paksa Anak-anak Ukraina sebagai Program Kemanusiaan


Dua tempat tidur bayi yang kosong di sebuah rumah bermain Kherson di Kherson, Ukraina selatan, Jumat, 25 November 2022. (Foto: AP/Bernat Armangue)
Dua tempat tidur bayi yang kosong di sebuah rumah bermain Kherson di Kherson, Ukraina selatan, Jumat, 25 November 2022. (Foto: AP/Bernat Armangue)
Vladimir Putin

Vladimir Putin

Presiden Rusia

"Muncul semakin banyak pertanyaan dari warga kita mengenai masalah adopsi anak-anak dari Republik Donetsk dan Lugansk serta wilayah Kherson dan Zaporizhzhia. Kantor Komisaris Presiden untuk Hak Anak telah bekerja keras menangani masalah ini..."

Salah

Presiden Rusia Vladimir Putin memuji kinerja Komisaris Presiden untuk Hak Anak Maria Lvova-Belova terkait penanganan masalah deportasi atau pemindahan anak-anak Ukraina ke Rusia yang dimobilisasi negara. Saat keduanya bertemu pada 16 Februari, Putin juga menyanjung praktik adopsi anak-anak korban perang yang dilakukan keluarga-keluarga Rusia. Putin bahkan menyebut aksi tersebut sebagai upaya melindungi hak-hak anak sebagai bagian dari "warga negara kita":

“Muncul semakin banyak pertanyaan dari warga kita mengenai masalah adopsi anak-anak dari Republik Donetsk dan Lugansk serta wilayah Kherson dan Zaporizhzhi. Tragedi yang terjadi di Donbas juga menyangkut warga kita yang sangat kecil, anak-anak. Kantor Komisaris Presiden untuk Hak Anak telah bekerja keras menangani masalah ini dan masih terus bekerja."

Pernyataan Putin itu tidak benar.

Anak-anak dari sejumlah wilayah di Ukraina, yaitu Donetsk, Lugansk, Kherson, dan Zaporizhzhia adalah warga negara Ukraina. Moskow telah melakukan deportasi paksa terhadap anak-anak tersebut ke Rusia dan mengatur sedemikian rupa agar mereka dapat diadopsi oleh keluarga-keluarga Rusia.

Hal itu, menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), merupakan praktik kejahatan perang dan genosida seperti yang didefinisikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tindakan itu juga merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa ke-4 tentang perlindungan warga sipil.

Rusia mulai memboyong anak-anak Ukraina ke Rusia secara sistematis, beberapa hari sebelum Kremlin menginvasi Ukraina dalam skala penuh pada 24 Februari 2022. Moskow melakukan pembenaran terhadap tindakan relokasi tersebut dengan dalih adanya ancaman ofensif yang dilakukan Angkatan Bersenjata Ukraina di timur negara itu, yaitu Donbas.

Pejabat pemerintah Rusia yang dipimpin Lvova-Belova, secara langsung mengendalikan kamp dan fasilitas-fasilitas lainnya yang dijadikan tempat penahanan anak-anak dari Ukraina yang dipindahkan secara paksa. Amerika Serikat, Uni Eropa dan Inggris menjatuhkan sanksi kepada Lvova-Belova terkait perannya dalam masalah deportasi tersebut.

Under the Genocide Convention, adopted by the U.N. General Assembly in 1948, genocide includes “[f]orcibly transferring children of the group to another group” (Article II, (e)).

Berdasarkan Konvensi Genosida, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 1948, perbuatan genosida mencakup “(secara paksa) memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain” (Pasal II, (e)).

On September 7, 2022, U.N. Assistant Secretary-General for Human Rights Ilze Brands Kehris reported there were credible allegations that unaccompanied Ukrainian children were being forcibly transferred to Russia. She said that Russian authorities had “adopted a simplified procedure to grant Russian citizenship to children without parental care” so that they could be sent, in violation of international law, for adoption by Russian families:

Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Hak Asasi Manusia Ilze Brands Kehris pada 7 September 2022 melaporkan adanya tuduhan yang meyakinkan bahwa anak-anak Ukraina tanpa pendamping direlokasi secara paksa ke Rusia. Dia mengatakan pihak berwenang Rusia "menerapkan prosedur yang disederhanakan untuk memberikan kewarganegaraan Rusia kepada anak-anak tanpa pengasuhan orang tua" sehingga mereka memenuhi syarat untuk dapat diadopsi keluarga-keluarga Rusia. Hal tersebut dilakukan Moskow meskipun melanggar hukum internasional sebagai berikut:

“Under Article 50 of the Fourth Geneva Convention, the Russian Federation is prohibited from changing these children’s personal status, including nationality.”

“Berdasarkan Pasal 50 Konvensi Jenewa Keempat, Federasi Rusia dilarang mengubah identitas pribadi anak-anak ini, termasuk status kewarganegaraan.”

Conflict Observatory, sebuah organisasi nonpemerintah Amerika yang didanai oleh Departemen Luar Negeri AS, pada 14 Februari mengeluarkan laporan berjudul “Program Sistematik Rusia untuk Pendidikan Ulang dan Adopsi Anak Ukraina.”

Berdasarkan citra satelit, arsip dokumentasi selama enam bulan, dan pernyataan dari keluarga kedua belah pihak, laporan tersebut menyimpulkan bahwa:

  • Lebih dari 6.000 anak Ukraina “berusia empat bulan hingga 17 tahun” dibawa ke 43 kamp yang tersebar “di Krimea yang dianeksasi Rusia dan daratan Rusia.”
  • Setidaknya terdapat 32 kamp (78%) yang “terlibat dalam upaya edukasi ulang yang sistematis untuk mengajarkan anak-anak Ukraina mengenai pendidikan akademik, budaya, patriotik, dan/atau militer yang memberikan sudut pandang pro-Rusia.”
  • Dua puluh anak yang berasal dari setidaknya dua kamp, yang diyakini berstatus yatim piatu, kemudian tinggal bersama keluarga-keluarga asuh di Rusia.
  • Banyak kasus yang menunjukkan orang tua memberikan izin anaknya untuk dibawa ke kamp karena adanya tekanan dari “pasukan pendudukan” Rusia. Namun sering kali izin tersebut dilanggar. Misalnya, terjadinya "dugaan penangguhan kepulangan anak-anak ke Ukraina” di sekitar 10 persen kamp yang ada.
  • Dalam kasus Krimea dan Chechnya, "anak-anak di kamp edukasi dapat mengoperasikan peralatan militer, mengemudikan truk, dan mempelajari senjata api."
  • Seluruh tindakan itu berpotensi melanggar Konvensi Hak Anak dan Konvensi Jenewa.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan dalam program "Face the Nation" CBS News pada 19 Februari bahwa Washington mendapatkan cukup bukti untuk menegaskan bahwa Rusia telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Ukraina, termasuk terhadap anak-anak yang dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka. Tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan genosida oleh pengadilan internasional:

“Praktik ini, sebagai orang tua, hampir tidak mungkin dipahami, secara harfiah menangkap anak-anak Ukraina, mengirim mereka ke Rusia, mengirim mereka ke pusat-pusat (penahanan), ada sekitar 43 dari mereka yang kami temukan. … Memisahkan mereka dari keluarga dan kemudian diadopsi oleh orang Rusia. (Tindakan) itu dengan sendirinya, mengerikan. Hal tersebut juga menunjukkan fakta bahwa Presiden Putin telah berusaha sejak hari pertama (melakukan invasi) untuk menghilangkan identitas Ukraina, melenyapkan masa depannya. Itulah yang terjadi, dan (tindakan) itu juga merupakan kejahatan kemanusiaan.”

Rusia secara ilegal menduduki sebagian wilayah Donetsk dan Luhansk pada 2014, dan sebagian wilayah Zaporizhzhia dan Kherson pada 2022. Pada 30 September 2022, Rusia memproklamirkan telah mencaplok keempat wilayah Ukraina tersebut.

Majelis Umum PBB pada 12 Oktober 2022 mengadopsi resolusi yang mengutuk pencaplokan ilegal Rusia "yang disebut referendum di wilayah perbatasan Ukraina yang diakui secara internasional dan upaya aneksasi ilegal" terhadap empat wilayah Ukraina.

Majelis Umum tersebut menyatakan "upaya aneksasi ilegal" Rusia atas wilayah Ukraina tidak memiliki validitas berdasarkan hukum internasional. Resolusi itu didukung oleh 143 dari 193 negara anggota PBB, sementara lima negara lainnya menentang dan 35 abstain.

XS
SM
MD
LG