Tautan-tautan Akses

Jalan-jalan Bersama Patsy Widakuswara - 2003-06-10










Profil kita kali ini mengajak anda berjalan-jalan melintasi empat benua: Asia, Australia, Eropa dan Amerika. Apa saja yang bisa diceritakan dari perjalanan seorang Patsy Widakuswara selama hampir tiga dasawarsa?









Bagi anda yang rajin mengikuti siaran Metro TV pada awal tahun 2001, mungkin anda kenal dengan sosok yang satu ini. Patsy, yang pada VOA Seksi Indonesia menjabat sebagai TV Production Specialist, sempat terjun langsung ke tengah-tengah lapangan sebagai reporter, juga pembawa acara, di Metro TV. Pengalamannya meliput saat turunnya Gus Dur sangat berkesan, “Karena di tengah-tengah on-air, saya ditimpuk dengan roti, botol, dan aneka benda lain oleh massa pendukung Gus Dur, yang menganggap Metro anti beliau. Jadi terpaksalah saya mengeluarkan jurus berkelit menghindar timpukan sambil menyelesaikan reportase,” kenang Patsy sambil tertawa.

Bagi Patsy, dinamika bertugas adalah santapannya sehari-hari. Wanita kelahiran Maret 1974 ini menerjuni dunia media sejak 1994 ketika menjadi penyiar radio M-97, yang menyajikan lagu-lagu rock klasik, dan merupakan proyek terbaru Prambors Group saat itu. Di usia ke-21 ia ditantang untuk bisa berkomunikasi dengan para pendengar yang rata-rata lelaki dewasa berusia 30-50 tahun, membawakan aneka topik seputar laki-laki, dan memutar lagu-lagu yang saat itu asing di telinganya, seperti dari Deep Purple, Led Zeppelin atau Marillion.









Karirnya di radio terhenti di tengah kemelut demonstrasi yang merebak tahun 1997-98, karena Patsy dianggap terlalu vokal menyuarakan gerakan mahasiswa, membuatnya diskors selama 2 minggu. Tapi ini justru membawa angin segar baginya, karena ia ditawari menjadi stringer stasiun televisi Amerika, NBC. “Kebetulan bisa kontak Dewi Fortuna Anwar, sehingga NBC bisa mendapatkan wawancara dengan Presiden Habibie,” tutur Patsy. Nah, inilah pertama kalinya ia berkenalan dengan dunia TV. Namun perjalanan Patsy tidak hanya seputar dunia media. Wanita berperawakan mungil ini sempat berperan dalam bidang akademis dengan menjadi asisten dosen Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, selain mendirikan komunitas debat bahasa Inggris tingkat universitas pertama di Indonesia. Idenya datang setelah UI diundang mengikuti 4th Asian’s Inter-Varsity Debating Championship tahun 1997. Patsy dan beberapa rekan lalu mendirikan English Debating Society (EDS) di UI, sayangnya karena alasan politis saat itu komunitas ini terpaksa ditampilkan sebagai English Club.

Akhirnya pada Juli 1998 pihak kampus mengesahkan EDS, dan sejak itu mahasiswa UI yang tergabung organisasi ini berupaya memperkenalkan budaya debat ilmiah ke kampus-kampus lain, bahkan ke tingkat SMU. Mereka juga memperjuangkan ke Depdiknas agar debat bahasa Inggris sah menjadi salah satu ekstra kurikuler di SMU. Patsy mengakui, “Senang rasanya melihat masyarakat kita akhirnya menerima bahwa debat ilmiah konstruktif bagi perkembangan individu dan masyarakat.”

Selepas kuliah Patsy bekerja pada sebuah LSM Amerika yang membantu partai-partai politik Indonesia bersiap untuk Pemilu 1999. Selain itu ia juga sempat menjadi pemandu acara program olah raga di AN TV, juga bekerja di sebagai assistant manager di Citibank Jakarta selama 1˝ tahun. Akhirnya program beasiswa Chevening mengantarnya merambah Inggris selama lebih dari setahun. Gelar master di bidang TV Journalism berhasil diraihnya dari University of London.

Selama di London, Patsy sempat membuat 2 program dokumenter, untuk Channel 4 dan BBC. Bagaimana kesannya? “Saya merasa tercerahkan selama di sana. Prinsip jurnalisme yang saya kenal saat itu hanya “check and balances,” yang mementingkan keseimbangan narasumber. Sementara di Inggris jurnalis menggunakan pendekatan “journalism of attachment.” Artinya, mereka lebih menyuarakan pihak-pihak yang tidak punya kekuasaan, marjinal, atau di luar kaum elitis,” paparnya.

Ketika mendarat di Amerika Maret lalu, Patsy merasa prihatin karena orang tampaknya mendewa-dewakan entertainmen. “Bahkan berita aktualpun dikemas sedemikiran rupa, dengan grafik dan angle yang menghebohkan, sehingga menjadi seperti program hiburan,” tuturnya. Ia juga menyayangkan kebanyakan media Amerika tidak melakukan diversifikasi liputan, dan kurang memperhatikan pentingnya memahami sejarah dunia. Patsy mengakui, “Saya melihat adanya dikotomi antara “us” (Amerika) dan “them” (yang lain), melalui media Amerika.”

Nah, tak terasa kita telah berjalan-jalan di Asia, Eropa dan Amerika. Persinggahan terakhir, yang dalam realita justru awal perjalanan Patsy, adalah Australia. Sejenak kita kembali ke tahun 80an, saat Patsy menginjak awal remaja. Selama 4˝ tahun ia menetap di Cairns bersama keluarganya, dan mengenyam berbagai aktivitas di sana. “Saya sempat belajar berlayar, naik kuda, main biola, bahkan balet!” ujarnya. Sayang hobi lama ini tidak sempat dikembangkannya. Tambahnya, “Tapi ketika SMA kembali ke Jakarta, saya punya hobi baru yang nggak kalah random. Mulai dari ketua Kelompok Ilmiah Remaja, Paskibra, vokal grup, lomba bahasa Inggris, dan paduan suara.” Termasuk tentunya satu ekskul yang trendi saat itu, cheerleading.

Inilah sekelumit kisah perjalanan Patsy Widakuswara. Semoga langkahnya yang kian mantap di media massa akan menemani kita menjelajah dunia baru, dan membawa angin segar bagi masa depan jurnalistik di Indonesia.

Oleh: Anne Budianto

XS
SM
MD
LG