Tautan-tautan Akses

Wajah Dibalik Suara - 2003-05-27


ISA ISMAIL: TERBUKA DAN BEBAS

Bersama Pak Isa demikian beberapa rekan Voice of Amerika di Divisi Indonesia menyapa pria bernama lengkap Isa Ismail ini, kita akan ditawari aroma kebebasan dalam banyak hal, mulai dari masalah politik, masalah pribadi, sampai agama.

Dan pendengar pun, juga akan disapa oleh Isa Ismail hampir setiap hari dengan laporannya di siaran pagi, mulai dari berita utama, internasional, ekonomi, dan olah raga.

Pada tahun 1984, bekas wartawan Reuters ini terpaksa meninggalkan Indonesia karena diburu-buru oleh orang-orang Suharto karena tulisan-tulisannya yang tajam mengenai Timor-Timor.

Isa mengatakan, “Tulisan-tulisan saya sesungguhnya tidak terkait dengan pro atau kontro Timor-Timor, masalahnya lebih mengenai fungsi saya sebagai wartawan untuk menjelaskan secara apa adanya kepada masyarakat, apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga masyarakat bisa membuat keputusan sendiri”. Isa menambahkan justru kemungkinan itulah yang dihindari oleh pemerintah Suharto, “Suharto takut bila rakyat mendapatkan kebenaran”, katanya berapi-api.

Masalah Timor-Timor memanas sejak awal 80-an. Ketika itu pemerintahan Suharto berusaha secara ketat mengontrol berita-berita mengenai Indonesia, baik bagi media luar negeri, maupun dalam negeri yang didistribusikan di Indonesia. “Maka tidak heran kalau orang-orang di Indonesia harus menikmati koran-koran asing yang dicoret-coret dengan tinta hitam, atau justru berlobang-lobang karena telah dipotong-potong sebelumnya,” kata pria yang pernah belajar di Perguruan Tinggi Publisistik di Jakarta ini.

Karena itu, Isa bisa menghargai keterbukaan informasi yang ada di Amerika. Menurutnya, “Penting bagi setiap individu untuk tidak sekedar ikut arus dalam keinginan penguasa,” kata pria penggemar sepeda motor ini. Ia menjelaskan, dengan adanya keterbukaan informasi ini, masyarakat akan dapat membuat kesimpulannya sendiri.

Ketika masih di Jakarta, ia pun berkali-kali memenuhi panggilan Departemen Penerangan (Deppen) berkaitan dengan tulisannya. “Suatu hari saya dipanggil, ditanya mengenai apa paspor saya apa masih berlaku dan sebagainya.”

Pada puncaknya, isterinya seorang warga negara Perancis yang bekerja di United Press International (UPI) tidak diberi perpanjangan ijin kerja lagi. “Ketika itu saya sudah pada puncak kelelahan,” kata laki-laki berdarah Padang ini.

“Saya kira inilah teknik mereka untuk mengusir kami dari Indonesia”. “Saya tanya waktu itu, mengapa isteri saya yang biasanya justru ditelpon oleh Deppen untuk memperpanjang visanya, sekarang tidak diberi ijin perpanjangan. Apa alasannya? “Tanya saya waktu itu.”

Dan seperti kami duga sebelumnya, mereka tidak mengemukakan alasan yang sesungguhnya bahwa ini berkaitan dengan berita-berita yang ia tulis. “Kami tidak perlu memberikan alasan. Itu hak kami, Begitu jawaban Deppen ketika itu.” “Mereka justru memberikan jawaban-jawaban yang tidak manusiawi terkait dengan rumah tangga kami” kata kolektor kamera ini.

Orang-orang dari Deppen ketika itu menyarankan mereka untuk tinggal di Bangkok atau Singapura, apabila ia ingin menemui istrinya setiap minggunya, sedangkan mereka baru mempunyai anak yang masih kecil ketika itu.”

Pria yang gemar berkeliling diseluruh negara bagian Amerika, Kanada, Eropa, Hongkong, Singapura, Korea, maupun Philipina ini akhinya meninggalkan Indonesia menuju Perancis. Beberapa bulan tinggal di Paris negeri isterinya, kemudian sang isteri mendapat kesempatan kerja di Amerika Serikat.

Dan pada tahun yang sama, Isa mengkontak VOA di Washington. Setelah melalui beberapa tes, Isa Ismail pun mulai bekerja di Voice of America pada tahun 1985.

Ditanya apa yang menarik selama tinggal di Amerika selama ini. Isa mengatakan yang menarik baginya adalah banyaknya fasilitas yang menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kita bisa memanfaatkan waktu secara lebih baik, selain memudahkan beban kerja sehari-hari terutama pekerjaan rumah tangga. Misalnya saja, beberapa tugas membayar rekening listrik, telepon, biaya belanja sehari-hari, atau bahkan memperpanjang atau membuat SIM atau STNK bisa diselesaikan hanya dengan mengangkat ganggang telepon atau melalui internet.

Kepribadiannya yang terbuka bahkan saking terbukanya, ia tidak segan-segan menamakan dirinya seorang Atheis. Pria berdarah Padang ini mengaku tertarik untuk berpikir bebas dari dogma-dogma agama sejak ia berusia 12 tahun, ketika duduk di bangku SMP Kanisius Jakarta.

Isa melihat sesungguhnya agama diciptakan oleh manusia untuk kepentingan manusia dalam menjalankan fungsi kontrol. “Agama diciptakan sebagai faktor fear,” katanya tegas. Bapak berputra tiga anak ini menggangap bahwa Atheisme adalah hal yang paling logis.

“Saya tidak melihat bukti bahwa Tuhan itu ada,” katanya pesimis. “Faktor fearlah yang melandasi orang percaya pada agama,” katanya.

Tetapi sebentar dulu, mengapa ia bangga menjadi seorang Atheis? Apakah Isa tidak pernah mendapat ajaran agama dari orang tuanya? Isa dididik dalam ajaran agama yang keras oleh orang tuanya, sembahyang lima kali, puasa dan seterusnya. Tetapi ketika berusia 12 tahun, ia melihat ada ajaran lain yang juga menyatakan kebenaran. “Dalam pandangan saya waktu itu, kenapa ini ada dua ajaran yang sama-sama benar? Mana mungkin bisa begitu?”, katanya bertanya-tanya.

Pertanyaan-pertanyaan ini, terjawab dengan berjalannya waktu. Ketika ia makin melihat, mempelajari, bagaimana setiap kelompok agama dan masyarakat, masing-masing memperjuangkan kebenarannya masing-masing yang berakhir dengan pertumpahan darah.

Ditanya mengenai apa yang masih melekat dalam dirinya mengenai etika orang Padang? Isa menjawab, “Di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung, pepatah ini sangat melekat dalam diri saya.”

Sebagai orang tua dari tiga perjaka, Isa Ismail mengatakan satu hal yang selalu ia ingatkan pada anak-anaknya, meskipun lahir dari keluarga campuran budaya maupun etnik, untuk selalu berpikir terbuka. “Tidak berpikir terkotak-kotak,” itulah yang selalu ia tandaskan.

Oleh: Siti Nurjanah

XS
SM
MD
LG