Tautan-tautan Akses

Dunia Cemas dengan Melonjaknya Harga Pangan


Warga Mexico memprotes kenaikan tajam harga tortilla, sementara warga Italia kesal dengan melambungnya harga pasta dan bahan makanan lainnya dari gandum. Di Mesir, warga seperti Ahmed Abbas, frustrasi dengan meningkatnya harga sembako yang mencapai 50 persen.

Menurut Abbas, harga minyak dan mentega meningkat hampir 30 sen per kilonya. Peningkatan harga ini di seluruh Mesir ini daya beli warga Mesir menurun drastis.

Kasus seperti ini, menurut pakar, kini menjadi tren global. “Dalam tujuh tahun terakhir, produksi biji-bijian tak dapat mengimbangi peningkatan konsumsi. Saham biji-bijian dunia ini terus-menerus turun sampai kini berada pada titik terendah dalam 34 tahun,” ujar Lester Brown dari Earth Policy Institute di Washington.

Para pakar menunjuk banyak faktor penyebab, seperti meningkatnya populasi dunia, kurangnya investasi teknologi pertanian, berkurangnya lahan pertanian, kekeringan dan banjir yang semakin parah dengan perubahan iklim, dan semakin meningkatnya kebutuhan warga dunia akan air bersih.

Selain itu, biji-bijian seperti padi yang tadinya ditanam untuk konsumsi pangan manusia dan hewan ternak, kini juga digunakan untuk memproduksi ethanol dan bahan bakar alternatif lainnya. Dengan meningkatnya harga minyak bumi beberapa tahun belakangan ini, insentif ekonomi untuk memproduksi bahan bakar alternatif ini juga terus meningkat.

Kombinasi factor-faktor tersebut menyebabkan semakin parahnya masalah kekurangan pangan dan kenaikan harga pangan. Menurut Lester Brown, ini menohok kalangan masyarakat miskin dunia.

“Rakyat yang berada di tangga paling bawah ekonomi dunia hampir tak dapat bertahan hidup, dan dengan meningkatnya harga pangan, banyak yang kehilangan pegangan dan jatuh,” ujar Brown. “Dan bila tidak ada intervensi besar-besaran, tingkat kematian akibat kelaparan akan meningkat secara signifikan.”

Brown dan pakar lain mengatakan, scenario terburuk tidak harus terjadi bila ada langkah-langkah tegas yang diambil. PBB misalnya, mendorong petani untuk menyeimbangkan jumlah biji-bijian yang ditanam untuk pangan dan yang ditanam untuk produksi energi.

“Tanaman untuk produksi energi seharusnya ditanam bergilir dengan tanaman untuk produksi pangan, masing-masing dalam musim yang berbeda,” kata Gustavo Best, Wakil Pimpinan Komisi Energi PBB.

Pakar lain menyarankan penghentian subsidi pemerintah untuk ethanol dan bahan bakar alternatif lain, dan berupaya lebih keras untuk meningkatkan riset pangan, mengatasi perubahan iklim, dan meningkatkan perbaikan jalan di negara-negara berkembang agar transportasi panen dapat bergerak lebih lancar.

Menurut Mark Rosegrant dari International Food Policy Research Institute di Washington, yang paling penting adalah manajemen air bersih.

“Pertanian saat ini harus berjalan dengan menggunakan lebih sedikit air, namun harus memproduksi lebih banyak pangan,” kata Rosegrant. “Jadi, seharusnya ada langkah untuk membuat manajemen air lebih efisien, tapi juga menanam tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan.”

Rosegrant mencatat kenaikan harga pangan juga sebetulnya akan mendorong lebih banyak produksi pangan, tapi pasar bebas sendiri tidak akan memecahkan masalah.

“Kita sudah melihat para petani menyisihkan lebih banyak lahan untuk produksi, yang menyebabkan produktivitas meningkat di tahun terakhir,” ujar Rosegrant. “Jadi kita akan lihat penurunan harga komoditi mulai tahun depan. Tapi untuk memecahkan masalah ini dalam jangka panjang, kita perlu investasi lebih besar dan berjangka lebih panjang, yang sebagian harus datang dari sektor publik.

Bila tak ada investasi lebih besar, Rosegrant dan pakar-pakar lain, memperkirakan masalah kekurangan pangan akan semakin parah, terutama di daerah Afrika sub-Sahara, Asia Selatan, dan negara-negara berkembang lainnya.

XS
SM
MD
LG