Tautan-tautan Akses

Irak Masih Bergejolak


Tahun 2006 merupakan tahun sulit bagi Irak, dengan kekerasan yang terus berlanjut dan perpecahan sektarian yang menelan semakin banyak korban jiwa. Dampaknya pun terasa di Amerika, dengan kekalahan partai Presiden Bush, Partai Republik, dalam pemilu legislatif bulan November 2006, mundurnya Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, dan peninjauan kembali kebijakan Amerika Serikat di Irak.

Sejak invasi ke Irak tahun 2003, pasukan koalisi di bawah pimpinan Amerika Serikat terus menghadapi serangan dari kelompok-kelompok teroris seperti Al-Qaida dan pemberontak Sunni yang melibatkan pendukung mantan Presiden Saddam Hussein. Meskipun demikian, perkembangan politik tetap terjadi di Irak, termasuk penggagasan konstitusi dan pemilihan umum untuk membentuk pemerintahan Demokratis pertama di negara itu, bulan April 2006.

Namun selama empat bulan masa pembentukan pemerintahan Irak, sebuah peristiwa dramatis terjadi. Pada bulan Februari 2006, pemberontak Sunni melancarkan serangan bom yang merusak Mesjid suci kaum Shiah, Askiriya, di kota Samarra. Mengomentari insiden itu, wakil Menteri Pertahanan Peter Rodman mengatakan, serangan bom tersebut merupakan bukti keberhasilan para ekstrimis Sunni, setelah dua tahun mencoba menyerang kaum Shiah.

“Dulu saya mengatakan, hadiah strategis di Irak adalah proses politik di sana,” kata Rodman. “Para pemberontak berupaya menghancurkan proses politik, namun mereka tak pernah berhasil. Tragedi Irak adalah bahwa pada bulan Februari 2006, di Samarra, para pemberontak berhasil mencapai kemenangan strategis sepihak, untuk memulai putaran kekerasan sektarian yang sampai sekarang tak pernah berhenti.”

Menurut laporan Departemen Pertahanan AS pada bulan Desember 2006, kekerasan di Irak telah menyebabkan kenaikan tajam terhadap jumlah serangan dan korban dari pihak sipil Irak. Tren ini terus berlanjut, terutama di Baghdad, walaupun ada kenaikan jumlah pasukan Amerika yang bertugas di sana, serta meluasnya tanggung jawab keamanan yang diambil alih oleh tentara Irak. Laporan Pentagon ini juga mengakui kegagalan Perdana Menteri Nouri Al-Maliki untuk meyakinkan pemimpin faksi-faksi bertikai untuk menghentikan aksi kekerasan dan penculikan yang dilakukan oleh milisi-milisi mereka.

Pada bulan Agustus 2006, pemimpin tertinggi pasukan Amerika di Timur Tengah mengatakan kepada Kongres di Washington bahwa kondisi Irak dapat berubah menjadi perang saudara. Sesuatu yang oleh sebagian pihak dipercaya telah terjadi sejak lama.

Sebagai tindak lanjut situasi yang memburuk di Irak, Kongres AS membentuk sebuah kelompok khusus untuk mempelajari langkah atau strategi yang dapat diambil Amerika Serikat untuk mengembalikan Irak ke dalam situasi aman, menstabilkan pemerintah, dan menciptakan situasi kondusif agar penarikan pasukan AS dapat segera terjadi. Kelompok yang dinamakan “Kelompok Pengkajian Irak” ini beranggotakan 10 mantan petinggi Amerika, baik dari Partai Republik maupun Demokrat, dipimpin oleh mantan Menteri Luar Negeri James Baker dan mantan anggota Kongres Lee Hamilton.

“Situasi di Irak suram dan makin memburuk,” kata Hamilton.

“Atas dasar kekhawatiran kemanusiaan, atas dasar kepentingan nasional, dan atas dasar keperluan praktis, sudah waktunya mencari jalan baru, sebuah pendekatan baru,” tegas Baker.

Kelompok Pengkajian Irak merekomendasikan agar misi pasukan Amerika di Irak diubah untuk melatih pasukan Irak, agar pemerintahan Irak terus mengusahakan rekonsiliasi nasional, dan agar Amerika Serikat melakukan dialog dengan Irak dan negara-negara tetangganya, Iran dan Suriah. Jika langkah-langkah ini berhasil, maka pasukan Amerika mungkin akan dapat mulai ditarik pulang awal tahun 2008.

Laporan Kelompok Pengkajian Irak dinilai kontroversial dan provokatif, dan merupakan salah satu dari sekian dokumen yang sedang dipelajari Presiden Bush, yang juga termasuk laporan dari Departemen Luar Negeri AS, Dewan Keamanan Nasional dan militer AS. Selain itu, Presiden Bush juga berkonsultasi dengan pemimpin-pemimpin Irak.

Pada konferensi pers akhir tahunnya, Presiden Bush menawarkan penilaian pribadinya atas Irak selama tahun 2006.

"Tahun 2006 merupakan tahun sulit bagi pasukan kita dan rakyat Irak,” kata Presiden Bush.

Meski terbuka untuk menggunakan taktik dan strategi baru Irak, Presiden Bush mengatakan ia tidak akan mengubah tujuannya.

“Kita memasuki tahun yang baru dengan kesadaran atas tantangan-tantangan di Irak, dan dengan kesadaran atas tujuan kita,” tegas Bush. “Tujuan kita tetaplah untuk menghasilkan Irak yang bebas dan demokratis, yang dapat memerintah diri sendiri, membela diri sendiri, mempertahankan dirinya dan menjadi rekan dalam perang melawan teror.”

XS
SM
MD
LG