Tautan-tautan Akses

Semangat Bandung Tetap Berkobar


Pekan ini sekali lagi Indonesia menjadi pusat perhatian dalam panggung diplomatik dunia. Lebih dari 50 kepala negara dan pejabat dari 80 negara datang ke Jakarta untuk memperingati Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.

Amerika tidak diundang, demikian juga Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol atau Portugal, karena mereka bukan negara Asia Afrika. Tepatnya lagi, mereka adalah negara-negara kolonialis. Mereka tidak diundang ke Konferensi Bandung 50 tahun yang lalu, yang merupakan pernyataan tegas menentang kolonialisme.

Semua tokoh Dunia Ketiga menghadiri Konferensi Bandung tahun 1955 itu, antara lain Presiden Sukarno, PM India Jawaharlal Nehru, pemimpin Cina Chou En Lai, Presiden Vietnam Ho Chi Minh, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Yugoslavia Josip Tito, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Presiden Birma U Nu, dan Raja Kamboja Norodom Sihanouk, satu-satunya yang sekarang masih hidup, tetapi terlalu lemah untuk hadir di Jakarta.

Dalam pidato pembukaan, Presiden Sukarno mengatakan, “Kita tidak pernah punya suara.” Selama ini, orang lain yang selalu menetapkan semuanya untuk kita. Tetapi itu semua sudah berubah. “Seusai konferensi ini, kita harus bersatu” melawan kolonialisme, memperjuangkan perdamaian, menentang rasisme, mendukung non-blok.

Bandung membuat pernyataan simbolik yang sangat kuat kepada dunia. “Konferensi Bandung menandai sikap agresif baru yang bukan berasal dari Barat”, kata seorang pakar. Gagasan non-blok dengan kepentingan bersama di luar pemisahan Perang Dingin, mulai terbentuk.

Namun kerjasama tidak mudah dicapai karena negara-negara peserta memiliki perbedaan-perbedaan besar. Sementara jumlah Negara anggota meningkat dan dengan resmi tergabung dalam Gerakan Non-Blok, negara tertentu seperti Indonesia dan India tidak mau memihak dalam Perang Dingin. Yang lain memihak Barat atau Uni Soviet.

Selama 50 tahun terakhir, dunia sudah berubah secara dramatis, dan Semangat Bandung ikut menyumbang bagi terjadinya perubahan itu. Perekonomian Negara-negara Asia tumbuh secara dramatis, demikian juga perdagangan antara Afrika dan Asia. Perdagangan antara Cina dan Afrika saja tahun 2004 mencapai 30 milyar dolar, naik 60 persen dari tahun sebelumnya.

Pekan ini para pemimpin Asia Afrika bertemu di Jakarta untuk menghormati pencapaian 50 tahun yang lalu itu.

“Peringatan ini sangat penting”, kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu. Di Bandung “kita melawan kolonialisme. Ini adalah masalah keadilan”. Waktu itu, 80 negara masih dijajah, termasuk Singapura dan Malaysia. “Sekarang kita menghadapi tantangan yang sama – yaitu masalah keadilan global, kemiskinan dan keterbelakangan.”

Tetapi sekali lagi kita diingatkan oleh kenyataan yang ada. Ketegangan yang meningkat antara Cina dan Jepang tampaknya akan mendominasi berita dunia dari Jakarta. Hal itu dapat mengganggu kelancaran konferensi. Presiden Cina Hu Jintao dan PM Jepang Junichiro Koizumi yang menghadiri konferensi, sempat bertemu tatap muka.

Pejabat nomor dua Korea Utara Kim Yong Nam dan Perdana Menteri Korea Selatan Lee Hae Chan juga hadir. Keduanya ingin membahas ambisi nuklir Korea Utara dalam pertemuan sampingan.

Sekjen PBB Kofi Annan diduga akan mendesak kepala-kepala Negara yang hadir agar lebih terlibat dalam urusan PBB, dan mendukung reformasi Dewan Keamanan PBB.

Prinsip Konferensi Bandung, yaitu penghargaan atas kedaulatan wilayah, non-agresi dan ko-eksistensi damai, diduga akan ditegaskan lagi dalam konferensi ini.

Pada hari terakhir konferensi, para peserta akan mengunjungi Bandung. Satu hal yang sudah jelas, sebagai negara demokrasi baru, Indonesia pantas merasa bangga menjadi tuan rumah konferensi kali ini, sebagaimana 50 tahun yang lalu. Semangat Bandung tetap berkobar. (voa/howell/djoko)

XS
SM
MD
LG