Tautan-tautan Akses

Pemilu Paruh Waktu: Fenomena Caleg Muslim, LGBT & 4 Hal Lain Wajib Diketahui


Pemilu Paruh Waktu yang digelar Selasa (06/11) akan menjadi salah satu pemilu bersejarah di Amerika Serikat.

Salah satu alasannya adalah karena banyaknya jumlah kandidat yang berasal dari kelompok minoritas: muslim, LGBT, dan warga non-kulit putih.

Lalu mengapa Pemilu Paruh Waktu ini penting? Apa pula pengaruhnya jika kandidat dari kelompok minoritas terpilih? Berikut 5 hal yang perlu Anda tahu terkait Pemilu Paruh Waktu.

Apa itu Pemilu Paruh Waktu?

Sesuai dengan namanya, Pemilu Paruh Waktu dilaksanakan setiap dua tahun sekali, di tengah masa jabatan presiden Amerika.

Yang dipilih adalah anggota legislatif dan gubernur negara bagian.

Seorang lelaki berjalan di dekat patung gajah yang jadi simbol Republik, dan keledai, simbol Demokrat.
Seorang lelaki berjalan di dekat patung gajah yang jadi simbol Republik, dan keledai, simbol Demokrat.

Di Amerika, fungsi legislasi dilaksanakan oleh Kongres.

Anggota Kongres ini berjumlah 535 orang, yang terdiri dari 435 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 100 anggota Senat.

Anggota DPR menjabat selama dua tahun, sementara masa jabatan Senat adalah enam tahun.

Alhasil, di setiap Pemilu Paruh Waktu akan dipilih seluruh (435 orang) anggota DPR dan sepertiga (35 orang) anggota Senat.

Selain itu, pada pemilu tahun ini juga akan dipilih 36 gubernur negara bagian.

Mengapa penting?

Pemilu Paruh Waktu dianggap penting karena menjadi penentu siapa yang akan menguasai Kongres.

Ada dua partai yang mendominasi Pemilu Paruh Waktu Amerika: Republik dan Demokrat.

Presiden Donald Trump tentu akan lebih lega dan mulus menjalankan kebijakan pemerintahan untuk dua tahun sisa jabatannya, jika DPR dan Senat dikontrol oleh partainya, Republik.

Sebaliknya, ia akan kewalahan jika Kongres dikuasai oposisi: Demokrat.

Berbagai kebijakan politik Presiden Trump akan berjalan lebih mulus jika Kongres tetap dikuasai Republik.
Berbagai kebijakan politik Presiden Trump akan berjalan lebih mulus jika Kongres tetap dikuasai Republik.

Saat ini Kongres, baik DPR maupun Senat dikuasai oleh Partai Republik.

Dari 435 anggota DPR, sebanyak 235 di antaranya berasal dari Partai Republik, sementara 193 dari Partai Demokrat.

Berdasarkan riset dari berbagai lembaga: Cook Political Report, Inside Elections, University of Virginia’s Center for Politics dan FiveThirtyEight, Partai Demokrat diprediksi akan mendominasi, mengalahkan Republik pada Pemilu Paruh Waktu kali ini.

Memang, secara historis partai presiden yang sedang berkuasa hampir selalu kalah pada pemilihan DPR di Pemilu Paruh Waktu.

Gedung Kongres.
Gedung Kongres.

Sementara jumlah anggota Senat yang berasal dari Partai Republik adalah 51 orang. Sebanyak 47 kursi diduduki Demokrat.

Dengan hanya 35 kursi yang diperebutkan pada Pemilu Paruh Waktu, banyak pengamat politik yang meragukan Demokrat bisa mengambil alih mayoritas di Senat (dengan minimal 51 kursi).

Apa saja skenarionya?

Jika DPR dan Senat kembali dikuasai oleh Partai Republik, maka berbagai ancaman investigasi terhadap Trump dan pemerintahannya akan jauh lebih berkurang.

Presiden Trump juga akan lebih mulus mewujudkan berbagai visi dan misi pemerintahannya: mulai dari pencairan dana untuk pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko, hingga hasratnya untuk mempreteli Obamacare.

Lalu bagaimana jika Demokrat yang memenangkan Pemilu Paruh Waktu, dan menguasai Senat dan DPR AS?

Ini akan jadi skenario mengerikan bagi Presiden Trump. Berbagai agenda “Make America Great Again” akan mangkrak di DPR.

Selain itu, Senat yang dikuasai Demokrat akan bisa ‘menekan’ Trump untuk lebih mencalonkan hakim-hakim yang tidak terlalu konservatif, pada berbagai posisi penting di Amerika.

Namun, hasil yang dianggap paling mungkin terjadi pada pemilu kali ini adalah: Demokrat menguasai DPR, sementara Senat dikuasai Republik.

Dengan kondisi ini, berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang diusulkan kubu Republik, bisa ditolak di level DPR.

Demokrat juga dapat mengusulkan pemakzulan terhadap Presiden Trump. Meskipun begitu, penentu apakah presiden bersalah atau tidak adalah para Senat yang berperan sebagai juri.

Kandidat Muslim, LGBT dan minoritas lainnya

Pemilu Paruh Waktu tahun ini adalah salah satu pemilu dengan kandidat paling beragam dalam sejarah perpolitikan Amerika.

Sebanyak lebih 90 warga Muslim Amerika, sebagian besar berasal dari Partai Demokrat, ikut berlaga dalam pemilu tahun ini, jumlah terbanyak setidaknya sejak tragedi 11 September 2001 lalu.

Peranan kandidat Muslim dianggap penting karena dinilai bisa memberikan perimbangan dan suara berbeda terkait berbagai kebijakan pemerintahan Trump.

Seperti diketahui dalam dua tahun terakhir, Presiden Trump pernah mengeluarkan kebijakan yang dinilai merugikan warga Muslim. Misalnya larangan sementara kunjungan ke Amerika, bagi warga dari lima negara dengan warga mayoritas Muslim.

Rashida Tlaib, salah satu kandidat Muslim dari Partai Demokrat.
Rashida Tlaib, salah satu kandidat Muslim dari Partai Demokrat.

Tidak hanya itu, dari total 964 kandidat yang akan bersaing di tahap akhir Pemilu Paruh Waktu, baik untuk posisi DPR, Senat dan Gubenur, 411 di antaranya adalah perempuan, warga non-kulit putih dan LGBT.

Lebih detailnya, dari seluruh kandidat, 272 adalah perempuan; sebanyak 216 orang adalah warga kulit hitam, hispanik, Asia, Indian atau ras campuran; sementara sebanyak 26 orang merupakan lesbian, gay, biseksual atau trangender.

Lagi, mayoritas dari mereka berasal dari Partai Demokrat.

Christine Hallquist (kiri), salah satu kandidat transgender.
Christine Hallquist (kiri), salah satu kandidat transgender.

Sejumlah kandidat minoritas tersebut akan mencetak sejarah jika terpilih; di antaranya perempuan muslim pertama yang jadi anggota Kongres, gubernur transgender pertama, hingga gubernur Asia pertama.

Banyaknya kandidat dari unsur minoritas ini membuat proporsi kandidat lelaki kulit putih yang selalu mendominasi, berada dalam persentase terendah dalam sejarah perpolitikan Amerika, yaitu 58%, menurut laporan New York Times.

Si muda yang bertaji

Tahun ini jumlah milenial (mereka yang lahir tahun 1981-1996) yang memenuhi syarat untuk memberikan suara, nyaris menyamai baby boomers (mereka yang lahir tahun 1946-1964).

Jumlah milenial yang cukup umur untuk memilih mencapai 62 juta, sementara mereka yang baby boomers berjumlah 70 juta orang.

Namun, berdasarkan penelitian Pew Research, dari jumlah yang mencapai sepertiga dari total mereka yang berhak memilik tersebut, hanya 51% milenial yang datang ke bilik suara.

Milenial menjadi salah satu pemilih kunci pada Pemilu Paruh Waktu 2018.
Milenial menjadi salah satu pemilih kunci pada Pemilu Paruh Waktu 2018.

Alhasil, berbagai kampanye politik banyak ditujukan kepada milenial agar lebih peka dan mau memberikan aspirasi politiknya sebagai warga negara.

Sejumlah selebritis pun ikut berpromosi agar kaum muda mendaftar sebagai pemilih dan memberikan suara.

Yang paling ‘spektakuler’ dilakukan oleh musisi Taylor Swift lewat ajakan di akun Instagram-nya.

Tak pelak, dalam 24 jam sejak unggahan Swift itu, jumlah pendaftar untuk memilih melonjak drastis: 65.000 orang dalam satu hari. Akun Instagram Swift sendiri memiliki 112 juta pengikut.

Sejumlah selebritis lain bahkan langsung memberikan dukungan kepada kandidat tertentu. Selebritis tersebut di antaranya adalah Oprah Winfrey, Cher, hingga Meryl Streep. (rh)

XS
SM
MD
LG