Tautan-tautan Akses

Gejolak Politik di Mesir Batasi Perannya Lawan ISIS


Menteri Luar Negeri AS John Kerry (kiri) dan Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shukri di Kairo (13/9). (AP/Amr Nabil)
Menteri Luar Negeri AS John Kerry (kiri) dan Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shukri di Kairo (13/9). (AP/Amr Nabil)

Pemberontakan tingkat rendah dan krisis ekonomi membayangi kemampuan Kairo untuk bergabung dengan koalisi AS untuk mengalahkan ekstremis ISIS.

Dalam sebuah kunjungannya baru-baru ini di Kairo, Menteri Luar Negeri AS John Kerry mengatakan Mesir memiliki "peran kunci" dalam upaya untuk "mendegradasi dan mengalahkan" militan-militan Negara Islam (ISIS) di Irak dan Suriah.

Namun hal itu mungkin sulit diwujudkan, ujar para analis.

Meski para pejabat Mesir meyakinkan Kerry atas dukungan mereka, mereka belum berkomitmen dalam peran spesifik saat AS membentuk koalisi untuk memerangi para ekstremis.

Mengingat krisis ekonomi yang dihadapi negara dan pergulatannya sendiri melawan gerakan Ikhwanul Muslimin, para analis mengatakan partisipasi Mesir akan terbatas. Sejak militer menggulingkan Mohammed Morsi, presiden sipil pertama negara itu yang dipilih secara demokratis, dan melarang para anggota Ikhwanul, situasi keamanan telah memburuk.

Pelarangan para Islamis dari politik telah mendorong beberapa diantaranya untuk bergabung dengan pemberontakan tingkat rendah melawan pemerintahan militer sementara kelompok-kelompok militan yang lebih tidak jelas melakukan aksi terorisme di Semenanjung Sinai.

"Ketidakstabilan memperumit tantangan ekonomi," ujar Ahmed Galal, mantan menteri keuangan Mesir, sambil menambahkan pentingnya melakukan pembenahan ekonomi dan politik bersamaan.

"Ekonomi sekarang beroperasi jauh di bawah potensinya karena turis-turis tidak datang. Investasi langsung asing sedikit dan bahkan penanam model dalam negeri enggan berinvestasi karena situasi yang tidak aman dan ketidapastian politik," ujarnya.

Meski ada konstitusi baru, presiden baru dan langkah-langkah menuju pemilihan parlemen baru, Galal mengatakan "Mesir memerlukan lingkungan bisnis yang ramah, stabilitas dan kondisi yang dapat diramalkan untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan."

Samer Shehata, wakil profesor untuk politik Timur Tengah di University of Oklahoma, berpikiran sama, dengan mengatakan bahwa jika reformasi ganda tidak dilakukan secara simultan untuk menarget keamanan dan perdagangan, maka upaya-upaya untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari rakyat Mesir akan rentan terhadap kekacauan.

"Pemerintah saat ini tidak membuat kemajuan dalam demokrasi dan inklusi," ujarnya.

"Pemerintah malah semakin otoriter, dengan aturan protes yang represif, pelarangan aktivitas politik di kampus, dan penjeblosan Islamis dan aktivis pemuda ke penjara."

XS
SM
MD
LG