Tautan-tautan Akses

Mission Impossible untuk Jepang: Habiskan Anggaran $100M dalam 15 Bulan


Kereta super cepat Shinkansen di Jepang. (Foto: Dok)
Kereta super cepat Shinkansen di Jepang. (Foto: Dok)

Jepang mengalokasikan US$100 miliar untuk pembangunan infrastruktur yang diharapkan dapat mendongkrak ekonomi, namun langkah itu dianggap tidak realistis.

Apa yang harus dibelikan untuk sebuah negara yang sudah memiliki semuanya?

Pertanyaan itu dihadapi oleh Perdana Menteri Jepang yang baru Shinzo Abw yang berencana membelanjakan lebih dari US$100 miliar untuk infrastruktur dalam 15 tahun ke depan, untuk membantu membangkitkan ekonomi negaranya.

Namun dengan kereta api super cepat yang mengilap, belantara jalan layang dan sekumpulan pulau buatan manusia, Jepang yang ultra modern sepertinya tidak memerlukan banyak infrastruktur baru.

“Kita tidak dapat mterus membangun jalan dan infrastruktur seperti yang kita lakukan sebelumnya di saat populasi usia lanjut meningkat dan jumlah penduduk menurun,” ujar Takayoshi Igarashi, profesor kebijakan publik di Universitas Hosei di Jepang, yang menyarankan pemerintahan dari Partai Demokrat sebelumnya untuk membangun kembali dari gempa bumi, tsunami dan kecelakaan nuklir Fukushima pada 2011.

Anggaran infrastruktur ada di tempat teratas agenda ekonomi Abe, berikut desakan supaya bank sentral menjadi lebih agresif untuk mengakhiri deflasi. Sejak ia terpilih pada Desember, Abe telah mengalokasikan 10 triliun yen ($107 miliar) untuk infrastruktur baru dan perbaikan selama 15 bulan ke depan, yang setengahnya didanai oleh utang pemerintah.

Jumlah itu setara dengan seperempat yang diperkirakan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi diperlukan oleh seluruh dunia untuk infrastruktur transport setiap tahun.

Pengeluaran pemerintah adalah obat klasik untuk pertumbuhan yang lemah. Tapi cara ini telah dilakukan berulangkali oleh Jepang, yang mengucurkan sekitar $2 triliun untuk beton dan baja sejak 1990 dalam upaya sia-sia untuk memperbaiki ekonomi, yang sekarang menginjak resesi keempat sejak 2000.

Para ekonom memperingatkan bahwa tanpa reformasi untuk meningkatkan potensi pertumbuhan jangka panjang Jepang, lebih banyak pengeluaran hanya akan menyebabkan kenaikan sementara yang menggelembungkan utang pemerintah yang sudah lebih dari dua kali lipat penghasilan nasional.

“Dampaknya harus substansial namun juga jangka pendek,” ujar Tomo Kinoshita, kepala ekonom di Nomura Securities di Tokyo. Kinoshita memperkirakan bahwa setiap 10 triliun yen pengeluaran hanya akan menambah sekitar 11 triliun terhadap PDB.

Namun untuk menghasilkan seperti itu pun sulit, karena sudah begitu banyak yang dibangun. Sebagai negara ke-61 terbesar di dunia, Jepang memiliki 1,2 juta kilometer jalan, jaringan kelima terbesar di dunia. Negara itu memiliki 680.000 jembatan, hampir 10.000 terowongan, 250 kereta cepat dan 98 bandar udara. Banyak diantaranya bahkan dianggap kurang perlu, mahal dan membahayakan lingkungan.

Pemerintahan Abe mengatakan mereka akan mengerjakan proyek pekerjaan umum, tapi tidak akan mengulangi kesalahan di masa lalu.

Namun sampai sekarang tidak jelas untuk apa dana $100 miliar itu diperlukan. Anggaran rekonstruksi pasca-gempa sendiri sudah ada, yaitu 25 triliun yen. Perbaikan infrastruktur seperti jalan, jembatan, terowongan dan bendungan yang dibangun pasca-perang pun tidak memerlukan dana banyak.

Yang jelas, menurut Abe, tujuan anggaran itu untuk mendongkrak pertumbuhan dan meningkatkan kemampuan Jepang untuk bertahan dari bencana alam seperti gempa dan tsunami yang menghantam Jepang pada Maret 2011, menewaskan hampir 20.000 orang.

Investasi untuk infrastruktur yang tidak perlu, di luar yang harus dibangun supaya warga Jepang tetap selamat, tidak masuk akal secara ekonomi, ujar Atsushi Miyawaki, profesor kebijakan publik di Hokkaido University.

Para ekonomis juga mempertanyakan apakah pemerintah mampu meminjam sebanyak yang diperlukan Abe.

Selain itu, berkat angka kelahiran yang rendah, jumlah penduduk Jepang turun lebih dari 250.000 per tahun. Menurut Kementerian Kesehatan, diperkirakan jumlah penduduk Jepang jatuh sepertiganya menjadi di bawah 90 juta pada 2060.

Jumlah penduduk yang menyusut berarti berkurangnya mobil di jalanan, dan angkatan kerja untuk konstruksi juga menurun, seperti yang dihadapi perusahaan-perusahaan yang sulit mencari sumber daya manusia untuk membangun kembali setelah bencana 2011. (Reuters/Tomasz Janowski dan Kaori Kaneko)

Recommended

XS
SM
MD
LG