Tautan-tautan Akses

Transchool, Sekolah Alternatif di Jalan Sunyi


Pembukaan kelas Transchool di Jakarta, 3 April 2018, yang diramaikan dengan kehadiran anggota “Purplecode Collective” yang merupakan teman kelompok transgender. (Foto: Purplecode Collective)
Pembukaan kelas Transchool di Jakarta, 3 April 2018, yang diramaikan dengan kehadiran anggota “Purplecode Collective” yang merupakan teman kelompok transgender. (Foto: Purplecode Collective)

Transchool, sebuah “sekolah” bagi warga transpuan (transgender perempuan muda) kembali dimulai di Jakarta, awal April lalu. Sekolah yang memberikan pendidikan di dalam dan luar kelas, serta program magang dalam kurun waktu tertentu ini menjadi alternatif bagi transpuan yang memiliki keterbatasan akses mendapat pendidikan formal.

Dihubungi VOA pada Kamis (5/4) pagi, koordinator Transchool, Rebecca Nyuei, mengatakan diskriminasi negara dan masyarakat pada umumnya terhadap kelompok transpuan, terutama untuk mendapat pendidikan formal dan informal, menjadi latar belakang pembentukan sekolah ini.

“Sekolah ini sudah dimulai sejak 2010, dengan jumlah peserta sekitar 25 individu transgender yang mengidentifikasi diri sebagai transpuan, yang selama ini tidak merasa nyaman dan aman di sekolah formal karena ada diskriminasi terhadap mereka,” ujar Rebecca. Peserta berusia 18-30 tahun dengan latar belakang pendidikan sebelumnya umumnya setingkat SMP dan SMA.

Keberagaman, Feminisme hingga Manajemen Keuangan

Berbeda dengan kelas di sekolah biasa, Transchool tidak mengenakan biaya sama sekali kepada para peserta ini dan hanya berlangsung selama dua minggu. Materi yang diajarkan sangat variatif. Mulai dari mengenal bantuan hukum dan badan hak asasi manusia, hak dan kewajiban sebagai manusia, feminisme, orientasi seksual - identitas gender dan ekspresi – serta karakteristik seks (SOGIESC), penerimaan diri, Islam-gender dan seksualitas, lembaga keagamaan yang ramah-trans, kehidupan keberagaman, perisakan (bullying), pelecehan dan kekerasan seksual, hingga HIV-AIDS. Ada juga materi yang fokus pada kebutuhan transpuan dalam kehidupan sehari-hari seperti manajemen keuangan dan sebagainya.

Transpuan belajar beragam materi di Transchool, mulai dari mengenal badan hukum, feminisme, gender dan seksualitas, HIV/AIDS hingga manajemen keuangan.(Foto:Rebecca Nyuei)
Transpuan belajar beragam materi di Transchool, mulai dari mengenal badan hukum, feminisme, gender dan seksualitas, HIV/AIDS hingga manajemen keuangan.(Foto:Rebecca Nyuei)

“Tahun ini partisipan Transchool berasal dari sembilan provinsi di Indonesia,” ujar Rebecca. Namun ia menolak merinci provinsi apa saja karena sebagian provinsi dikenal tidak ramah terhadap kelompok transgender.

Baca: Komisaris Tinggi HAM PBB Desak Indonesia Adili Pelaku Pelanggaran HAM

Ketika VOA bertanya lebih jauh, apakah ini benar-benar sekolah atau sekedar kompetisi ratu-ratuan, Rebecca mengatakan “sekolah ini memang dibungkus dengan pemilihan semacam 'beauty pageant' pada akhir kelas yang berlangsung dua minggu, tetapi ini hanya untuk menarik peserta sekolah. Acara itu gak seperti 'beauty pageant' biasa. Yang menang juga bukan karena cantik normatif, tetapi karena punya semangat dan daya juang tinggi.”

RKUHP Dinilai Perburuk Nasib LGBT

Aktivis perempuan Dhyta Caturani yang ikut mengisi kelas Transchool, dalam pidatonya pada acara pembukaan memaparkan tentang kekerasan individu, kelompok masyarakat maupun negara yang masih terjadi secara masif terhadap individu dan kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) beberapa tahun terakhir ini.

Dhyta menengarai kondisi ini akan semakin memburuk ketika RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), khususnya pasal 495 yang memasukkan LGBT sebagai tindakan pidana, disetujui.

Dengan mengutip feminis kulit hitam Amerika, Angela Davis, Dhyta mengatakan “I am no longer accepting the things I cannot change. I am changing the things I cannot accept. (Saya tidak lagi mau menerima apa yang tidak bisa saya ubah. Saya akan mengubah apa yang tidak bisa saya terima).”

Baca: Survei SMRC: LGBT Berhak Hidup di Indonesia

Dhyta menambahkan, “...kebencian dan kekerasan tidak bisa kita terima, dan satu-satunya jalan adalah mengubahnya. Membalik kebencian dan kekerasan mensyaratkan kita mengubah norma-norma kenormalan. Membuat orang untuk tidak lagi hanya melihat dengan mata, tapi mengenal dengan hati.”

Transgender Terancam Kehilangan Hak

Peneliti senior Human Rights Watch di Indonesia, Andreas Harsono, kepada VOA mengakui bahwa puluhan ribu individu transgender di berbagai tempat di Indonesia memang terancam kehilangan hak, mulai dari hak privasi hingga hak kehidupan. “Mereka duduk di dalam salon saja bisa digerebek,” ujar Andreas dengan nada miris. Dia menambahkan, Transchool bisa mempersiapkan kelompok transgender menghadapi masa kegelapan di Indonesia.

Dhyta Caturani dan Andreas Harsono sama-sama menilai kelompok transgender harus berjuang dan belajar melawan ketidakadilan dengan terlibat dalam gerakan.

“Keluar dari Transchool ini kalian (kelompok transgender) memiliki amanah untuk menyebarkan pengetahuan dan kesadaran baru. Terlibat dalam gerakan kesetaraan untuk mendobrak norma-norma yang biner dan tidak adil... Dengan cara apa, kalian yang menentukan,” ujar Dhyta.

Minimnya pendidikan membuat banyak transpuan bekerja di sektor informal. “Sanggar Swara” mencatat 55 persen transpuan bekerja sebagai pekerja seks. (Foto:Rebecca Nyuei)
Minimnya pendidikan membuat banyak transpuan bekerja di sektor informal. “Sanggar Swara” mencatat 55 persen transpuan bekerja sebagai pekerja seks. (Foto:Rebecca Nyuei)

Sementara Andreas Harsono mengatakan “transgender perlu berjuang, perlu belajar advokasi, mengerti hukum, agar mereka bisa sekolah, bisa dapat pekerjaan.” Ia memuji pemberian beragam materi di Transchool yang menurutnya “merupakan usaha yang baik sekali, membantu negara Indonesia agar sebagian kecil warga negara Indonesia bisa belajar mempertahankan hak mereka.”

Akses Layanan Dasar Sulit

Menurut Rebecca Nyuei, koordinator Transchool tahun ini yang juga anggota organisasi “Sanggar Swara,” dari 224 transpuan yang didampingi, hanya 34 persen yang memiliki KTP. Ini karena banyak diantara mereka yang diusir dari rumah atau kabur karena tidak nyaman dengan perlakuan yang diterima, ketika mereka masih sangat belia, dan terpaksa bekerja atau hidup di jalan.

Tanpa kartu identitas ini, ujar Rebecca, para transpuan ini sulit mengakses layanan dasar seperti layanan kesehatan, BPJS atau sekedar membuka rekening di bank.

“Sanggar Swara” adalah organisasi yang fokus meningkatkan peran kelompok transgender di Jakarta dan berupaya menjalin hubungan seluas mungkin dengan masyarakat untuk memperbaiki miskonsepsi dan stigmatisasi terhadap transgender. Untuk itu organisasi ini kerap bekerjasama dengan organisasi lain yang memiliki fokus serupa, seperti Arus Pelangi yang fokus pada isu LGBT.

Baca: Polisi Indonesia Selidiki Perlakuan Terhadap Perempuan Transgender

Menurut data “Sanggar Swara”, dari segi pendidikan, 47 perempuan transpuan yang didampingi telah menyelesaikan sekolah setingkat SMP, 42 persen SMA, 9 persen SD. Ada satu orang yang memiliki ijazah strata satu.

Pendidikan yang minim ini membuat transpuan hanya bisa mengakses pekerjaan informal. “Sanggar Swara” mencatat 55 persen transpuan bekerja sebagai pekerja seks, 27 persen sebagai pengamen, 11 persen bekerja sebagai karyawan, 10 persen di salon rumahan, sisanya bekerja sebagai penghibur di klub malam atau tata rias. Penghasilan mereka rata-rata antara 500 ribu hingga satu juta rupiah per bulan.

Sebanyak 20 persen transpuan pernah mengalami kekerasan dari organisasi massa dan masyarakat, sementara 27 persen diantaranya pernah terjaring razia Satpol PP. [em]

Recommended

XS
SM
MD
LG