Tautan-tautan Akses

3 Tahun Moratorium Tak Selesaikan Masalah Hutan


Penampakan dari udara atas bagian-bagian hutan yang telah dibakar di Riau.
Penampakan dari udara atas bagian-bagian hutan yang telah dibakar di Riau.

Dalam praktiknya, moratorium digunakan sebagai instrumen untuk melegalkan perusakan hutan dengan memberikan kemudahan izin konsesi kehutanan.

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk penyelamatan hutan Indonesia dan Iklim Global menilai moratorium hutan yang telah berjalan tiga tahun belum mampu menyelesaikan berbagai masalah kehutanan padahal masa berlakunya tinggal satu tahun lagi.

Dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (21/5), Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Teguh Surya mengatakan dalam praktiknya, moratorium digunakan sebagai instrumen untuk melegalkan perusakan hutan dengan memberikan kemudahan izin konsesi kehutanan.

Pemerintah, lanjutnya, masih saja mengakomodir dan mengeluarkan izin alih fungsi hutan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan pertambangan serta proyek-proyek nasional MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) lainnya.

Menurutnya, selama tiga tahun ini 6,4 juta hektar hutan yang harusnya dimoratorium justru malah dialih fungsikan.

Seringkali ditemukan bahwa wilayah kelola masyarakat dimasukan dalam cakupan moratorium sementara konsesi yang dimiliki korporasi dapat dengan mudah keluar dan masuk dalam cakupan moratorium.

Untuk mengoptimalkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut, Presiden terpilih yang akan datang harus menutup berbagai celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut, memperketat pengawasan dan penegakan hukum serta meninjau ulang berbagai kebijakan pembangunan yang justru mengancam lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat.

"Alasannya hanya untuk kebutuhan korporasi. Untuk Koalisi masyarakat sipil untuk penyelamatan hutan Indonesia dan iklim Global menuntut agar sisa satu tahun pelaksanaan moratorium berjalan efektif. Mencapai target emis gas rumah kaca nasional sebagaimana direncanakan oleh presiden," ujarnya.

Franky Samperante dari Yayasan Pusaka menyatakan selain kebakaran, hutan Indonesia juga terancam oleh masifnya alih fungsi dan peruntukan kawasan hutan di berbagai daerah untuk memuluskan mega proyek yang mengancam hak-hak masyarakat adat dan lokal.

Pemberlakuan kebijakan jeda tebang semenjang awal lanjutnya terlalu banyak memberikan ruang kompromi yang justru mengancam perlindungan hutan dan lahan gambut Indonesia. Hal ini terlihat dari banyak pengecualian yang diatur dalam kebijakan tersebut.

Inpres moratorium, tambahnya, menjadi dasar untuk penundaan pemberian izin baru tapi tidak mencakup permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan, pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital serta penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku serta restorasi ekosistem.

"Salah satu proyek MiFee moratorium tidak berlaku di kawasan ini. MIfee ini selama dikampanyekan untuk kepentingan pangan dan itu yang dibayangkan adalah padi . Prakteknya kalau kita lihat izin lokasi sudah ada sekarang ter update 2014 sekarang 1,5 juta , itu bukan padi yang ada disitu adalah perkebunan tebu skala besar, perkebunan kelapa sawit dan perkebunan tanaman pangan yang jumlahnya tidak terlalu banyak," ujarnya.

Kepulauan Aru yang tergolong ke dalam kategori pulau kecil, menurut Abu Meridian dari Forest Watch, juga terancam oleh pengalihan kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan untuk pembangunan perkebunn tebu yang dikecualikan dalam Inpres moratorium.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan lembaganya telah bekerjasama dengan KPK dan kejaksaan serta Polri untuk memeriksa siapapun yang diduga terlibat penyalahgunaan hutan.

"Banyak pelanggaran-pelanggaran yang tumpang tindih tadi,kawasan hutan lindung jadi tambah nah ini pidana, hutan lindung jadi perkebunan itu jelas pidana. Itu banyak terjadi," ujarnya.

Recommended

XS
SM
MD
LG