Tautan-tautan Akses

Simposium tentang Politik Suara Kontemporer di Indonesia


Gedung Cathedral of Learning (Katedral Pembelajaran), pusat kampus Pittsburgh University dan gedung pendidikan tertinggi di Belahan Bumi Barat (foto: Courtesy/University of Pittsburgh).
Gedung Cathedral of Learning (Katedral Pembelajaran), pusat kampus Pittsburgh University dan gedung pendidikan tertinggi di Belahan Bumi Barat (foto: Courtesy/University of Pittsburgh).

Para etnomusikolog meyakini bahwa era “reformasi,” yang lahir setelah keruntuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 di Indonesia, membuka kemungkinan baru dalam dunia seni Indonesia.

Pada periode itu bermunculan para penampil yang menjelajahi wilayah eksperimental, meruntuhkan batasan antara media dan disiplin budaya, sekaligus menantang dikotomi antara kontemporer dan tradisional. Ide-ide ini akan dibahas dalam simposium “Politik Suara Kontemporer di Indonesia” (“The Politics of Contemporary Sound in Indonesia”) di University of Pittsburgh, di kota Pittsburgh, Pennsylvania, AS pada 12 April mendatang.

Para penggagas simposium ini beranggapan pada era pasca-1998, eksplorasi musisi terhadap tradisi tidak berakar pada nostalgia atau “pelestarian” semata, seperti yang dicanangkan oleh Orde Baru. Sebaliknya, mereka menilai praktik-praktik tradisional terintegrasi secara harmonis dalam ekspresi suara (bunyi) yang bersifat kontemporer dan terbuka.

Menurut pendapat mereka, generasi muda musisi eksperimental mengadopsi referensi dan pendekatan imajinatif yang lebih beragam. Genre-genre populer seperti kroncong, dangdut, musik indie, dan gamelan mengalami transformasi, dan sepenuhnya merekonsepsi bentuk-bentuk tradisional. Mereka mengaakan pendekatan neoliberal terhadap musik di Indonesia mengangkat suara-suara bawah tanah ke sirkulasi populer, dan memudarkan sekat-sekat antara yang mainstream (arus utama) dan underground (bawah tanah).

Andrew Weintraub, Ph.D. (Foto: Dok. Pribadi)
Andrew Weintraub, Ph.D. (Foto: Dok. Pribadi)

Penggagas dan promotor simposium internasional ini adalah Andrew Weintraub, Ph.D., profesor di University of Pittsburgh dan peneliti budaya Indonesia sejak tahun 1984, bersama sekelompok mahasiswa jenjang S3 di almamaternya.

Kecintaan Andrew akan Indonesia berikut seni budayanya, utamanya musik dangdut dan gamelan, diawali di University of California Santa Cruz, ketika dia belajar gamelan Sunda di bawah bimbingan maestro Undang Sumarna yang menandai awal dari hasrat seumur hidupnya pada Indonesia.

“Jadi saya sekolah lagi di Universitas Hawaii untuk mendapat gelar MA dengan tesis tentang pantun Sunda. Setelah itu saya teruskan untuk PhD di Universitas California Berkeley tahun 1997. Saya ambil topik wayang golek dan lanskap politik Indonesia,” kata Andrew.

Menjelajahi Lanskap Musik yang Beragam

Setelah pindah ke Pittsburgh pada tahun 1997, Andrew memperluas penelitiannya yang mencakup dangdut, genre musik terpopuler di Indonesia ketika itu. Dari penelitian ini pula dia berpapasan dan bersahabat dengan musisi dangdut papan atas pada zamannya.

“Saya bahagia dan beruntung sebetulnya dibantu banyak seniman Jakarta, di antaranya Pak Haji Roma Irama, Elvi Sukaisih, Mansyur S, dan sebagainya. Memang, dangdut ada kaitan dengan politik. Jadi, penelitian dan pengajaran musik saya berfokus pada Indonesia, lebih dari 30 tahun sampai sekarang,” tambahnya.

Simposium ini, ujar Andrew, terinspirasi oleh minat koleganya di University of Pittsburgh yang mengeksplorasi hubungan antara musik, seni pertunjukan, dan politik di Indonesia. Mereka termasuk Hannah Standiford, Rizky Sasono, Jay Arms, Ph.D., yang berfokus pada persinggungan politik dan musik dalam penelitian mereka.

Peran Musik dalam Politik

Andrew menekankan peran krusial musik dalam politik, seperti yang dicontohkan oleh penelitiannya saat ini tentang musik pada masa pemerintahan Sukarno. Ia menyoroti penekanan Sukarno pada populisme dan nasionalisme, dengan fokus pada rakyat. Mahasiswa lain mengeksplorasi topik seperti dampak musik indie pada akhir era 1990-an dan hubungan antara musik kroncong dan Partai Golkar selama masa Orde Baru.

Editor buku Music and Cultural Rights (“Musik dan Hak Budaya”) bersama Bell Yung ini mengatakan bahwa ekspresi politik memiliki berbagai bentuk, mulai dari kritik eksplisit terhadap negara hingga pertunjukan “politik yang apolitis” dalam mengenang pembantaian tahun 1965 di Indonesia.

Kerjasama Internasional dan Tujuan pada Masa Depan

Dalam simposium ini Andrew berkolaborasi dengan beberapa seniman Indonesia dengan tujuan agar semua penelitian sampai pada pemahaman yang lebih luas dan dalam tentang lanskap politik dan musik saat ini di Indonesia.

“Jadi kita kumpulkan semua riset ini untuk memberikan sesuatu yang mungkin akan dipakai untuk memikirkan bagaimana kondisi politik sekarang dan musiknya. Dan, ada beberapa orang dari Indonesia yang akan datang,” ujar Andrew.

Rizky Sasono (Foto: Dok. Pribadi)
Rizky Sasono (Foto: Dok. Pribadi)

Pembicara lain dalam simposium ini adalah Rizky Sasono, mahasiswa jenjang PhD di University of Pittsburgh dalam bidang etnomusikologi dengan riset tentang skena musik indie di Indonesia. Lulusan S1 Sastra Prancis dan S2 Kajian Seni Rupa dan Seni Pertunjukan UGM yang juga seorang musisi indie ini aktif di berbagai kegiatan, termasuk menjadi anggota Teater Garasi.

Pria yang mengaku banyak bergaul di berbagai kalangan musik dan penelitian budaya dan ikut mendirikan LARAS – Studies of Music in Society di Yogyakarta ini juga sering bersinggungan dengan berbagai institusi atau kelompok-kelompok lain seperti Kunci Cultural Studies di Yogyakarta, dan Rang Rupa di Jakarta.

Rizky mengatakan bahwa simposium ini akan mengumpulkan para sarjana, peneliti, dan aktivis musik dari Indonesia dan Amerika untuk menyumbangkan wawasan terkait hasil penelitian secara kritis mengenai suara dan dimensi politik di Indonesia saat ini. Mereka adalah Nyak Ina Raseuki (Ubiet), penyanyi dan lulusan Ph.D. bidang etnomusikologi dari University of Wisconsin yang kini menjadi dosen di fakultas pasca sarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ); Harry Sutresna (Ucok) dari band hip-hop Homecide Bandung; Putu Tangkas, dosen etnomusikologi di Grinnell College di Iowa, Cholil Mahmud, vokalis dan gitaris dari grup musik rock alternatif Efek Rumah Kaca yang berdomisili di New York; serta Veronica Kusumaryati, lulusan Ph.D. dari Harvard University yang kini mengajar di University of Wisconsin di Madison, Wisconsin.

Rizky merasa gembira akan bertemu dengan para pakar di atas dan berbagi pandangan kritis tentang sound dan dimensi politiknya di Indonesia saat ini. Rizky menekankan makna lebih luas dari bunyi atau suara di luar musik, termasuk penanda identitas regional, identitas etnis, dan sikap politik.

“Nah, bunyi itu tidak hanya musik tapi juga bisa jadi penanda identitas, bisa jadi juga penanda kekuasaan, bisa jadi penanda karakteristik region, daerah tertentu. Jadi kalau kita ngomong soundscape itu kan sebenarnya landskap suara. Landskap suara yang kalau di perdesaan itu ya soundscape-nya perdesaan. Kalau di Jakarta, di (jalan) Thamrin ya soundscape urban (perkotaan). Nah, itu satu identitas regional soundscape. Tapi sound juga identitas etnisitas,” sambungnya.

Musik Sebagai Platform Kritik Sosial dan Politik

Dalam simposium ini Rizky akan membahas konteks sejarah, menggambarkan bagaimana beberapa suara dulu memiliki muatan politik, seperti asosiasi beberapa genre musik dengan komunisme pada era Orde Baru. Dia menghubungkan evolusi skena musik indie dengan perubahan politik, menjelajahi bagaimana musik indie menjadi platform kritik sosial dan politik, termanifestasi baik dalam musik itu sendiri maupun aktivisme para musisi. Ia membedakan antara aspek performatif beberapa musisi, yang mungkin mengeksploitasi peristiwa politik untuk mendapatkan visibilitas, dan mereka yang benar-benar terlibat dalam isu-isu sosial.

Rizky akan memaparkan hasil penelitian mengenai pentingnya musik indie dalam mencerminkan dan membentuk nilai-nilai masyarakat, terutama pada era pasca-Reformasi. Ia menjelajahi aspek anarko-mutualistik indie, mengamati resistensinya terhadap kapitalisme mainstream sekaligus mengakui tantangan kooptasi oleh kekuatan neoliberal.

Musik Sebagai Stimulus Pemikiran Kritis

Dengan topik “The Sounds of Politics” (“Suara Politik”) dia akan membahas fenomena yang muncul di skena independen Indonesia. Dalam konteks lanskap politik Indonesia saat ini, Rizky melihat musik indie sebagai stimulus penting bagi pemikiran kritis, menantang konsumsi pasif yang umum pada era digital. Dia akan menyinggung tantangan yang dihadapi pendengar dalam menjelajahi konten dengan kritik sosial dan politik, yang mendorong keterlibatan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika masyarakat.

Simposium tentang Politik Suara Kontemporer di Indonesia
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:06:25 0:00

“Lagu-laku itu sebagai manifestasi dari musisi, dari sikap politisnya musisi. Hal ini saya amati, musisi-musisi tertentu itu tidak hanya berhenti pada musik itu sendiri, tapi pada bagaimana dia engage atau bagaimana dia berisinggungan dengan komunitas-komunitas di luar, seperti membuat kios, di mana orang-orang bisa bergaul dan bisa membuat program, diskusi buku, diskusi musik sebagai empowerment, sebagai pemberdayaan teman-teman di skena. Jadi tidak hanya musik, tapi perilaku sosial yang mengacu pada satu hal yaitu perbaikan sistem sosial, perbaikan sistem politik, sekecil apapun,” tambahnya.

Secara keseluruhan, paparan Rizky akan mencakup hubungan rumit antara musik indie, politik, dan kesadaran masyarakat di Indonesia, dan menekankan potensi transformasional musik dalam memupuk kesadaran kritis dan membentuk wacana seputar isu-isu politik kontemporer.

Pembicara lain yang sempat dihubungi oleh VOA adalah Putu Tangkas Adi Hiranmayena, seorang seniman-cendekiawan yang menjabat sebagai Asisten Profesor Musik bidang Seni Pertunjukan dan Kreativitas di Grinnell College, Iowa.

Putu Tangkas Adi Hiranmayena, dosen etnomusikologi di Grinnell College, Iowa (Foto: dok. Pribadi)
Putu Tangkas Adi Hiranmayena, dosen etnomusikologi di Grinnell College, Iowa (Foto: dok. Pribadi)

Pengarah grup gamelan Balinese Sound Ensemble yang kini mengajar mata kuliah Musik Heavy Metal, Musik Elektronik, serta Noise and Activism (“Suara/Kebisingan” dan “Aktivisme”) ini juga anggota pendiri duo Eksperimental Bali, ghOstMiSt, bersama penari-antropolog, Dewa Ayu Eka Putri.

Putu Tangkas menjelaskan bagaimana dia ingin mempertahankan ikatan budaya dengan keluarga di Indonesia sambil membentuk identitas Indonesia-Amerika, dengan minat riset dalam kinerja musik dan kreativitas, dengan fokus yang meliputi gamelan Bali, heavy metal, dan musik noise (keras) dari Indonesia.

“Saya mempelajari gamelan Bali, saya mempelajari musik heavy metal dan saya mempelajari musik noise dari Indonesia. Jadi ya, itu suara yang keras-keras. Dan bagaimana hal tersebut bersinggungan dengan politik, dengan kreativitas, dengan konsep masyarakat adat atau kepribunian. Dan inti dari hal ini adalah menciptakan seni, menciptakan musik, namun bagaimana melakukan semua itu secara etis dengan berbagai lapisan yang ada, jenis lapisan sosial, hubungan sosial,” tegasnya.

Penekanan pada Otentisias

Putu mengatakan, dalam eksplorasinya terhadap persinggungan musik keras dengan politik, kreativitas, dan konsep pribumi, muncul penekanan pada otentisitas. Dia menegaskan kejujuran bawaan dalam gamelan, heavy metal, dan musik noise, di mana seniman harus tampil secara autentik, tanpa menyembunyikan diri di balik topeng. Menurutnya, komitmen terhadap ekspresi diri yang sungguh-sungguh ini menjadi benang yang kuat untuk menghubungkan berbagai genre musik.

Dalam simposium ini Putu akan memaparkan perspektifnya dalam topik, “Tell Me Again, How Indonesian Is Supposed to Sound” (“Katakan Lagi Bagaimana

Seharusnya Orang Indonesia Bersuara”) dengan subtopik “Politik Kreativitas dan Keadilan Epistemik melalui Heavy Metal dan Gamelan,” yang diartikulasikan sebagai panggung untuk mengatasi persepsi budaya, politik intrakultural, dan asumsi tentang identitas Indonesia.

Putu berpendapat, relevansi topik dalam kondisi politik kontemporer perlu dipertimbangkan dengan cermat. Era reformasi di Indonesia dan dampaknya terhadap identitas budaya, khususnya bagi diaspora menjadi fokusnya. Dia melihat heavy metal dan gamelan tidak sekedar sebagai genre musik, melainkan juga sebagai ungkapan krusial dari aktivisme politik dan representasi artistik selama periode transformatif dalam sejarah Indonesia.

Terinspirasi oleh wawasan pribadi dalam menjelajahi tantangan yang dihadapi oleh keluarga Indonesia-Amerika dan asumsi seputar identitas budaya dan preferensi musikal mereka, Putu Tangkas, Ph.D., menyatakan harapannya bahwa diskusi seperti ini akan berkontribusi pada pemahaman identitas Indonesia yang lebih nyaman dan diterima. Dia menekankan peran penting seni dalam memupuk persatuan dan merayakan perbedaan dalam masyarakat, sekaligus sebagai sumber kekuatan bagi diaspora Indonesia.

“Semoga kita bisa mulai merasa lebih nyaman dengan keadaan kita saat ini. Meskipun saya memahami bahwa kadang-kadang ada banyak ketegangan dan pertikaian budaya secaa internal dengan komunitas dan masyarakat kita, saya berharap kita ingat bahwa seni adalah ruang di mana kita menemukan perbedaan tetapi juga di mana kita sesungguhnya bisa bersatu… Jadi, sebagai masyarakat Indonesia, jangan pernah melupakan hal itu, dan menurut saya itulah kekuatan kita,” katanya.

Putu mengartikulasikan keterkaitan komunitas musik yang berbeda di Indonesia. Afinitas pribadi terhadap heavy metal dan gamelan diakuinya memiliki keberagaman suara yang berasal dari Indonesia. Pengakuan ini, menurutnya, meluas ke tantangan yang dihadapi oleh keluarga-keluarga Indonesia-Amerika, di mana asumsi tentang identitas budaya dan preferensi musikal terejawantahkan.

Membangun Jembatan antara Pittsburgh dan Indonesia

Kembali ke Profesor Andrew Weintraub, dia berharap dari simposium ini akan diterbitkan sebuah buku dan makalah-makalahnya akan dimuat dalam jurnal sehingga tidak hanya bermanfaat bagi kalangan akademisi, tetapi juga bagi khalayak luas. Selain itu, penulis Power Plays dan Dangdut Stories, editor Islam dan Budaya Populer di Indonesia dan Malaysia ini berterus terang dengan upayanya untuk membangun jembatan antara Pittsburgh dan Indonesia melalui penelitian dan musik, serta memupuk pertukaran budaya antar keduanya.

“Selain dari itu terus ada network antara mahasiswa dan orang Indonesia itu yang penting sekali, karena pertukaran antar culture (budaya) itu yang penting untuk mahasiswa dan untuk saya sebagai professor, peneliti. Kita ingin membuat semacam jembatan antara Pittsburgh dan Indonesia melalui reset dan musik. Dan mudah-mudahan ada orang Indonesia yang tertarik pada Universitas Pittsburgh karena kami punya tempat yang cukup bagus untuk dapat gelar, untuk bersekolah, untuk hidup di Amerika. Itu salah satu tujuannya,” pungkasnya.

Ketiga pakar yang berbicara dengan VOA menyatakan pendapat mereka bahwa praktik-praktik suara (bunyi) baru telah menjadi bagian dari saluran terbuka untuk ekspresi dalam bidang produksi budaya, membuat soundscape (lanskap suara) di Indonesia lebih hidup, lebih keras, lebih beragam, dan lebih ramai dari sebelumnya. [lt/em]

Forum

XS
SM
MD
LG