Tautan-tautan Akses

Riset Stagnan, Peneliti Indonesia Bekerja Seperti Pegawai Negeri


Seorang teknisi laboratorium mengerjakan Biodiesel 40% (B40) di Badan Litbang Kementerian ESDM di Jakarta, 26 Agustus 2020. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)
Seorang teknisi laboratorium mengerjakan Biodiesel 40% (B40) di Badan Litbang Kementerian ESDM di Jakarta, 26 Agustus 2020. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Perguruan tinggi di Indonesia menyediakan fasilitas cukup bagus bagi akademisi untuk melakukan penelitian. Namun dunia riset tidak berkembang, salah satunya karena budaya kerja peneliti itu sendiri.

Banyak kampus memiliki gedung bagus, kata staf khusus Menteri Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro, tetapi tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk kegiatan riset.

“Kita punya gedung-gedung laboratorium yang bagus-bagus. Tapi di mana penelitinya? Enggak ada, karena penelitinya, seperti pegawai negeri, jam 2 siang pulang,” ujarnya dalam sebuah diskusi terkait riset di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu (28/12).

Staf khusus Menteri Kesehatan Profesor Laksono Trisnantoro dalam tangkapan layar.
Staf khusus Menteri Kesehatan Profesor Laksono Trisnantoro dalam tangkapan layar.

Laksono membandingkan kondisi budaya riset di luar negeri yang pernah dilakoninya, di mana laboratorium perguruan tinggi buka 24 jam sehari. Para peneliti juga disediakan tempat tinggal tidak jauh dari kampus, sehingga mereka bisa bekerja setiap waktu, bahkan pada pukul 02.00 dini hari.

Butuh Perubahan Kebijakan

Namun cara kerja peneliti bukan satu-satunya persoalan. Di bidang kesehatan yang digeluti Laksono, Indonesia membutuhkan riset yang lebih banyak. Melihat situasi yang ada saat ini, menurutnya butuh perubahan kebijakan untuk menciptakan kondisi yang lebih berpihak pada peneliti di perguruan tinggi.

Riset kesehatan membutuhkan biaya sangat tinggi. Namun, selalu ada kemungkinan bahwa upaya itu berujung kegagalan. Sampai saat ini, belum ada komitmen bahwa pendanaan pemerintah yang tinggi memberikan toleransi terhadap potensi kegagalan riset itu. Dengan catatan, kata Laksono, kegagalan riset itu dapat dipertanggungjawabkan.

Seorang pekerja farmasi melakukan penelitian untuk memproduksi kapsul Oseltamivir, Tamiflu versi lokal, di laboratorium Kimia Farma di Bandung, 17 Februari 2006. (Foto: REUTERS/Dadang Tri)
Seorang pekerja farmasi melakukan penelitian untuk memproduksi kapsul Oseltamivir, Tamiflu versi lokal, di laboratorium Kimia Farma di Bandung, 17 Februari 2006. (Foto: REUTERS/Dadang Tri)

“Semua penelitian untuk produksi, apalagi obat, itu mungkin 95 persen lebih gagal. Nah, kita sebagai bangsa, berani enggak untuk menangung kegagalan-kegagalan itu. Di industri farmasi, mereka take risk, tetapi harga jual produk farmasi tinggi banget,” kata Laksono.

Di Indonesia, berkat dukungan pendanaan dari pemerintah yang mensyaratkan keberhasilan riset, maka peneliti menjadikan penerbitan di jurnal sebagai tujuan riset mereka. Padahal, semestinya hasil riset berlanjut ke produksi, agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.

“Riset kita itu harus bikin obat atau alat kesehatan, dan itu bisa gagal, tetapi gagal yang bener. Nah, apakah sistem keuangan kita itu bisa menghargai kegagalan yang benar tadi. Ini pertanyaan menarik,” tegas Laksono.

Dia juga memberi catatan, terkait inovasi yang menjanjikan untuk dikembangkan, diantaranya adalah memiliki prospek bisnis yang logis. Riset bisa berkembang ketika hasilnya dibutuhkan masyarakat, dan ada pihak yang memproduksi serta memasarkannya dalam skala luas. Investasi adalah bisnis, ujar Laksono, tetapi inovasi adalah bagian dari bisnis juga.

Dia memberi contoh, pemerintah Amerika Serikat yang memberikan dukungan sangat besar bagi kegiatan riset di perguruan tinggi. Dukungan itu diberikan dalam bentuk dana riset, dana pengembangan, dan bahkan jaminan pembelian produk hasil riset oleh pemerintah federal. Laksono memberi contoh kasus pengembangan vaksin COVID-19 untuk menggambarkan bagaimana dukungan pemerintah terhadap kegiatan riset di Amerika Serikat.

“Ada intervensi yang sangat kuat dari pemerintah Amerika Serikat, yang selama bertahun-tahun memberikan dana untuk research and development, bahkan memberikan subsidi untuk manufaktur, dan menjamin pasar sekaligus, untuk dibeli,” ujar Laksono.

Pengujian laboratorium terhadap sample air sungai Surabaya sebagai ilustrasi. (Foto: Ecoton).
Pengujian laboratorium terhadap sample air sungai Surabaya sebagai ilustrasi. (Foto: Ecoton).

Bentuk dukungan semacam inilah yang mampu membuat riset dan industri bergerak. Upaya hilirisasi hasil riset perguruan tinggi, tanpa jaminan pasar, menurut Laksono sangat sulit untuk bisa berkembang. Upaya ini, adalah sesuatu yang terintegrasi, tegasnya.

Salah satu yang harus diperbaiki, menurut Laksono, adalah skema dukungan pendanaan riset. Selama ini, dukungan dana pemerintah diberikan dalam jagnka pendek, satu atau dua tahun. Akibatnya, riset berhenti pada karya tulis di jurnal saja.

“Untuk produk-produk yang betul-betul strategis bagi bangsa, kita siap enggak untuk pendanaan sepuluh tahun, dan kalau gagal pun dimaafkan. Kalau itu gagal yang bener. Kalau kita hanya mempunyai kompetisi yang setahun-dua tahun selesai, itu enggak bisa,” kata Laksono.

Dana Dukungan Rp 1 Triliun

Profesor Nizam, pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek dalam tangkapan layar.
Profesor Nizam, pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek dalam tangkapan layar.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) telah menyediakan dana hingga Rp1 triliun per tahun untuk mendorong riset bersama perguruan tinggi dan dunia industri. Pada 2021, Kemendikbudristek menginisiasi berdirinya Kedaireka, yang menghubungkan dunia perguruan tinggi dan industri dalam kegiatan riset. Skema ini mendorong perguruan tinggi bekerja sama dengan mitra menyusun proposal riset dan memproduksi dalam skala industri jika memungkinkan. Riset diharapkan tidak sekadar berhenti sebagai jurnal dan bahan pustaka.

Kehadiran Kedaireka memperoleh sambutan cukup baik dari berbagai pihak, terlihat dari jumlah proposal riset yang dikirimkan ke kementerian ini, seperti disampaikan Prof Nizam, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Kemendikbudristek.

"Di tahun 2022 ini Kedaireka Matching Fund menerima lebih dari 5000 proposal, tepatnya 5.407 proposal dari 59 perguruan tinggi seluruh Indonesia," kata Nizam dalam diskusi ini.

Indonesia menjadi salah satu negara yang belum mampu mengembangkan riset untuk mendukung industri. Kedua sektor ini berjalan sendiri-sendiri. Mayoritas hasil riset perguruan tinggi berhenti di perpustakaan, atau dalam berbagai kasus dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Salah satu perhitungan yang mengemuka di kalangan akademisi, adalah seberapa banyak hasil riset diterbitkan dalam jurnal terkemuka dunia. Sementara seberapa riset yang berujung pada industri, belum diperhitungkan.

Kedaireka, menurut Nizam, hadir untuk mengakselerasi atau melakukan hilirisasi dari pemikiran perguruan tinggi.

Seorang petugas laboratorium sedang menyiapkan medium untuk menumbuhkan virus di laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, 31 Agustus 2016. (Foto: Reuters)
Seorang petugas laboratorium sedang menyiapkan medium untuk menumbuhkan virus di laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, 31 Agustus 2016. (Foto: Reuters)

"Lebih tepatnya adalah merelevankan karya-karya Tri Dharma di perguruan tinggi dengan kebutuhan masyarakat, kebutuhan dunia usaha dan dunia industri," tambahnya.

Hilirisasi karya kampus, kata Nizam, mampu menggerakkan mahasiswa mengimplementasikan program, atau lebih jauh lagi, membuat produk bersama dosen dan sektor industri. Sektor yang menerima bantuan pembiayaan pun sangat beragam, mulai dari pertanian, kesehatan, pangan, energi, hingga lingkungan.

Skema Kedaireka juga membuka ruang bagi perguruan tinggi untuk bekerja sama dengan mitra kelas dunia dalam hilirisasi hasil riset mahasiswa dan dosen.

Riset Stagnan, Peneliti Indonesia Bekerja Seperti Pegawai Negeri
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:01:49 0:00

“Bisa juga untuk menggandeng para profesional masuk ke perguruan tinggi, bersama-sama dengan dosen melakukan berbagai macam riset dan pengembangan. Juga bisa digunakan untuk menyiapkan entrepreneur muda, misalnya dalam menyiapkan pengembangan start up,” kata Nizam lagi.

Kemendikbudristek membuka kembali Kedaireka Matching Fund 2023 pada Desember ini dan berharap ada lebih banyak proposal datang dari perguruan tinggi. [ns/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG