Tautan-tautan Akses

Ratusan Milenial Lawan Intoleransi dan Radikalisme


Ratusan milenial yang hadir dalam "Bincang Anak Muda, Promosi Toleransi dan Cegah Politisasi Identitas. (Foto: VOA/Ahmad Bhagaskoro)
Ratusan milenial yang hadir dalam "Bincang Anak Muda, Promosi Toleransi dan Cegah Politisasi Identitas. (Foto: VOA/Ahmad Bhagaskoro)

Setara Institute bersama Sahabat Milenial Indonesia (Samindo) menggandeng ratusan pemuda dari Jakarta dan Banten untuk menjadi agen dalam menciptakan toleransi di wilayah mereka.

Penggagas Samindo, Disna Riantina mengajak generasi milenial karena prihatin dengan kondisi mereka yang sebagian terpapar intoleransi, radikalisme dan terorisme. Disna mengatakan akan mendorong literasi digital dan diskusi-diskusi dengan milenial untuk mengatasi persoalan tersebut. Termasuk untuk mencegah penggunaan hoaks dan politisasi SARA pada pemilu 2019.

"Harapannya adalah karena generasi milenial, generasi yang melek terhadap informasi. Maka kami ingin menularkan kepada semua generasi, kiranya kita melek literasi. Maksud kami melek dalam informasi, menolak intoleransi, hoaks dan itu akan terperangi dengan sendirinya," jelas Disna di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Minggu (11/11).

Disna menambahkan juga akan menggandeng sejumlah instansi terkait untuk memperluas gerakan mereka. Namun, untuk sementara, Setara dan Samindo akan fokus terlebih dahulu di tiga wilayah yaitu Jakarta, Banten dan Jawa Barat.

Hal tersebut menurut Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, ketiga wilayah tersebut merupakan wilayah yang tingkat intoleransinya cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Dari kiri ke kanan: Kepala Bagian Diseminasi Info Digital Biro Multimedia Divisi Humas Mabes Polri, Heru Yulianto, Aktivis Setara Institute Hendardi dan Penggagas Samindo, Disna Riantina. (Foto: VOA/Ahmad Bhagaskoro)
Dari kiri ke kanan: Kepala Bagian Diseminasi Info Digital Biro Multimedia Divisi Humas Mabes Polri, Heru Yulianto, Aktivis Setara Institute Hendardi dan Penggagas Samindo, Disna Riantina. (Foto: VOA/Ahmad Bhagaskoro)

"Kita yakin bahwa hoaks ini membelah situasi masyarakat kita. Politisasi identitas yang penggunaannya juga lekat dengan hoaks tadi, juga membangun segregasi sosial. Dan itu kita rasakan semua. Karena itu kita hadir, dalam rangka memerangi ujaran kebencian, hoaks dan sebagainya. Napas semua itu adalah promosi toleransi," jelas Ismail Hasani.

Ismail menambahkan bukti generasi milenial terpapar intoleransi dan radikalisme yaitu survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada akhir tahun lalu. Hasil survei tersebut menunjukkan 51,1 persen mahasiswa/siswa beragama Islam memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas.

Survei juga menunjukkan sebanyak 48,95 persen responden merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Dan 58,5 persen responden memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal.

Menanggapi gerakan ini, Humas Mabes Polri menyatakan siap membantu para milenial dalam memerangi hoaks yang kadang menimbulkan perpecahan di masyarakat. Kepala Bagian Diseminasi Info Digital Biro Multimedia Divisi Humas Mabes Polri, Heru Yulianto mengatakan, salah satu caranya dengan memberi wadah di media sosial milik Polri kepada para milenial untuk bertanya tentang kebenaran informasi.

"Jadi generasi milenial ini ada sisi positifnya. Mereka kritis sekali, tapi kritisnya harus kita wadahi, kritis yang positif. Makanya dengan kegiatan ini, kita berikan edukasi, mereka harus kepada literasi digital," jelas Heru Yulianto.

Sekitar 120 generasi milenial mengikuti diskusi tentang toleransi dan upaya mencegah politisasi identitas dalam pemilu 2019. Dua di antaranya yaitu Dita Oktasari (18 tahun) warga Ciputat, Tangerang Selatan dan Mawas Makarim mahasiswa semester 3 Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.

Menurut mereka, kegiatan literasi seperti ini dibutuhkan oleh generasi milenial, utamanya menjelang pilpres 2019 yang banyak beredar informasi bohong atau hoaks.

"Alhamdulillah sudah ada beberapa yang masuk, yang bisa jadi pembelajaran buat nanti. Mana yang harus kita ikuti atau tidak. Mengapa ada berita-berita yang tidak benar dan berita-berita yang harus kita pertimbangkan," tutur Dita.

"Karena kegiatan ini pas sekali dengan kondisi saat ini. Tahun politik dan masa-masa kampanye. Saya pingin tahu bagaimana caranya cegah politisasi sara," jelas Mawas Makarim. [Ab/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG