Tautan-tautan Akses

Organisasi Buruh Internasional: Pendidikan sebagai Solusi Atasi Masalah Pekerja Anak


Seorang anak bekerja di tempat pembuangan sampah Bantar Gebang, Jakarta (Foto: dok)
Seorang anak bekerja di tempat pembuangan sampah Bantar Gebang, Jakarta (Foto: dok)

Laporan Understanding Childrens Work (UCW) menyebutkan satu dari lima pemuda Indonesia tidak bersekolah/bekerja, dan satu dari tiga pekerja muda Indonesia hanya memiliki pendidikan dasar.

Memperingati Hari Menentang Pekerja Anak Sedunia yang diperingati tanggal 12 Juni lalu, Understanding Children’s Work (UCW) meluncurkan laporan terbaru mengenai pekerja anak yang merekomendasikan pendidikan sebagai cara untuk menghapuskan pekerja anak dan memperoleh pekerjaan layak.

UCW, yang merupakan sebuah program kemitraan antara Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), UNICEF dan Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul “Memahami Pekerjaan yang Dilakukan Anak dan Pekerja Muda”, menyebutkan antara lain 2,3 juta anak Indonesia berusia 7-14 tahun terlibat dalam pekerjaan.

Jumlah anak-anak desa yang bekerja jauh lebih besar daripada yang bekerja di kota, serta sektor pertanian, jasa dan rumah tangga menjadi sektor yang paling banyak merekrut pekerja anak dan pekerja muda di Indonesia.

Dalam peluncuran laporan tersebut di Jakarta Rabu (20/6), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas) Armida Alisjahbana mengatakan bahwa faktor utama munculnya pekerja anak ini adalah kemiskinan.

Dalam laporan tersebut, UCW menyebutkan bahwa satu dari lima pemuda Indonesia tidak bersekolah/ bekerja, dan satu dari tiga pekerja muda di dunia kerja hanya memiliki pendidikan dasar.

“Saat ini pekerja yang lulus SD atau kurang dari lulus SD jumlahnya adalah 54,2 juta dari 109,7 juta atau gampangnya 50 persen dari pekerja kita lulus SD atau kurang,” kata Armida.

Menurut Armida, Indonesia akan memasuki periode "bonus demografi" pada tahun 2020-2030, yaitu periode di mana rasio ketergantungan atau indeks perbandingan antara usia tidak produktif terhadap usia produktif, mencapai angka terendah. Dalam periode ini, banyak tenaga kerja produktif yang dapat diberdayakan untuk mendorong peningkatan produktivitas nasional.

Armida menambahkan bahwa pemerintah telah meratifikasi Konvensi ILO No.138/1973 tentang usia minimum untuk bekerja dan Konvensi ILO No.182/1999 tentang pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak-anak. “Pemerintah sudah secara sungguh-sungguh mulai dari payung hukum untuk meniadakan dan meminimalisasi pekerja anak,” kata Armida.

Sementara itu sebagai pembanding kondisi pekerja anak Indonesia dan dunia saat ini, Direktur ILO untuk Indonesia, Peter Van Rooij mengatakan masih terdapat 215 juta anak-anak di dunia yang terlibat sebagai pekerja anak.

“Setengah dari jumlah ini terpapar dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk termasuk dalam perbudakan dan keterlibatan dalam konflik bersenjata. Selain itu masih terdapat lima juta anak terlibat dalam kerja paksa termasuk sebagai korban eksploitasi seksual dan untuk membayar hutang piutang,” kata Van Rooij.

Menurutnya, untuk mengatasi permasalahan pekerja anak dan pekerja muda di Indonesia, peningkatan kualitas pendidikan sejak usia anak-anak akan menjadi sumbangan penting untuk menjamin hak-hak dalam memperoleh pekerjaan yang layak.

“Kemajuan dalam mencapai sasaran pendidikan dasar sembilan tahun, bahkan terdapat wacana untuk meningkatkan menjadi 12 tahun bagi semua anak merupakan langkah penting dalam menghapuskan pekerja anak,” ujar Van Rooij.

Recommended

XS
SM
MD
LG