Tautan-tautan Akses

Mitra Trump di Indonesia Incar Kekuasaan, Lihat Kelemahan Demokrasi


CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo di kantor editorial MNC di Jakarta. (Foto: Dok)
CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo di kantor editorial MNC di Jakarta. (Foto: Dok)

"Saya kira di dalam lingkungan saat ini, dengan kompleksitasnya, kita memerlukan pengusaha untuk mengelola negara," ujar Hary Tanoesoedibjo.

Miliarder mitra bisnis dan kemungkinan "proxy" politik Donald Trump di Indonesia memupuk ambisi-ambisi kepemimpinan besar di negara ini, yang menurutnya tidak cukup maju untuk memiliki demokrasi yang berhasil dan memerlukan kepemimpinan yang kuat.

Memiliki lebih dari satu juta pengikut di Twitter, tiga stasiun televisi populer dan partai politik baru, Hary Tanoesoedibjo atau Hary Tanoe mengatakan ia sudah memiliki keberhasilan yang cukup di bidang bisnis dan sekarang menginginkan kekuasaan politik.

Hary, seperti juga Trump, adalah pengkritik perdagangan bebas. Ia menyasar puluhan juta orang Indonesia yang tertinggal akibat ekonomi yang berat sebelah yang menguntungkan beberapa kota besar.

"Saya kira dalam lingkungan saat ini, dengan kompleksitasnya, kita memerlukan pengusaha untuk mengelola negara," ujar Hary dalam wawancara hari Sabtu (14/1) dengan kantor berita Associated Press di kediamannya di Jakarta Selatan, sebuah istana kecil dengan patung elang raksasa menaungi gerbang masuk yang megah.

"Yang saya lihat adalah (Trump) akan mendatangkan manfaat bagi rakyat Amerika, seperti niatnya untuk membawa kembali pabrik-pabrik ke AS."

Hary dan istrinya akan menghadiri pelantikan Trump Jumat dan pesta pelantikan resmi.

Di samping bisnis, keduanya memiliki diagnosa-diagnosa serupa mengenai penyakit-penyakit yang menimpa negara masing-masing. Hary mengeluhkan menurunnya daya saing, kurangnya investasi dalam bidang manufaktur, meluasnya kemiskinan dan risiko tidak cukupnya lapangan pekerjaan untuk populasi muda yang meningkat di Indonesia.

Meskipun memiliki ambisi menjadi presiden, Hary tidak memiliki keyakinan atas demokrasi di Indonesia yang masih berusia muda.

"Saya harus memberitahu Anda, di masyarakat yang mayoritas besar rakyatnya masih tertinggal dalam hal pendidikan, dan terkait kesejahteraan, demokrasi bisa menciptakan masalah lain," ujarnya.

"Karena mereka yang betul-betul mengatur negara ini adalah mereka yang punya uang dan kekuasaan. Mayoritas besar rakyat, mereka tidak mengerti apa-apa. Mereka hanya mengikuti," katanya. "Mungkin demokrasi baik untuk negara maju, di negara yang masyarakatnya sudah setara."

Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo dalam pernyataan maju sebagai capres-cawapres 2014 dari Partai Hanura. (VOA/Andylala Waluyo)
Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo dalam pernyataan maju sebagai capres-cawapres 2014 dari Partai Hanura. (VOA/Andylala Waluyo)

Hary, seperti Trump, bangga dengan keberhasilannya dalam bisnis, mengacu pada 37.000 orang yang bekerja di konglomerasi properti dan medianya, MNC. Forbes memperkirakan kekayaan bersihnya mencapai US$1,11 miliar. Ia membangun perusahaan dari nol, meskipun ia memulai langkahnya dengan keuntungan yang tidak dimiliki banyak orang Indonesia: Ayahnya adalah pengusaha dan Hary kuliah di Carleton University dan University of Ottawa di Kanada.

Asosiasinya dengan Trump mulai sekitar tiga tahun lalu ketika MNC mencari operator untuk resor "bintang enam" yang luas, satu akan dibangun di Bali dan satu lagi dekat Jakarta.

Sebagai imbalan pemotongan pendapatan, Trump Organization akan mengelola hotel-hotel, lapangan-lapangan golf dan klub-klub janapada yang akan memakan biaya sekitar $700 juta untuk dibangun MNC. Proyek-proyek ini akan itu akan membentuk inti dari pembangunan lebih besar yang direncanakan perusahaan itu.

Penghubung Trump

Hary mengatakan setelah pelantikan Trump, kontrak-kontrak bisnis dengan Trump Organization hanya akan dilakukan lewat putra-putra Trump, Don Jr. dan Eric. Ia adalah salah satu dari sedikit orang Indonesia yang memiliki hubungan pribadi dengan Trump, dan ia mengatakan ia terbuka untuk menjadi penghubung antara presiden terpilih itu dan Indonesia.

"Jika saya diminta untuk membantu memfasilitasi apa saja untuk keuntungan kedua negara, saya dengan senang hati akan membantu. Itu posisi saya. Pada dasarnya saya tidak ingin memulainya, untuk melakukan apa saja terkait hubungan resmi antara Indonesia dan Amerika Serikat," katanya.

Peran itu sepertinya tidak mungkin, karena Hary tidak selaras dengan Presiden Joko Widodo. Tahun 2014, Hary adalah kandidat calon wakil presiden untuk Wiranto, pensiunan panglima TNI dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan saat ini. Kampanye itu gagal dan Hary mengalihkan dukungannya untuk Probowo, yang meskipun kalah masih tetap populer di daerah pedesaan.

Partai Persatuan Indonesia (Perindo) milik Hary, yang didirikan tahun 2015, dapat memainkan peran dalam pemilihan umum 2019, namun masih belum jelas apakah ia bisa memuaskan ambisi-ambisi politiknya.

"Indonesia perlu pemimpin yang kuat, yang berintegritas," ujar Hary. "Jadi jika saya tahu ada seseorang yang cukup kuat dan mampu memberikan solusi untuk Indonesia, untuk membawa Indonesia menjadi negara maju, saya lebih suka ada di posisi untuk mendukungnya. Tapi jika tidak ada yang saya yakini, saya sendiri mungkin akan maju."

Hubungannya dengan Trump bisa jadi aset sekaligus kelemahan di Indonesia. Meskipun Trump tidak disukai karena mengusulkan larangan terhadap imigrasi Muslim, ada kekaguman tinggi terhadap negara adidaya itu.

Kendala yang lebih besar mungkin fakta bahwa Hary berasal dari etnis China dan beragama Kristen. Antipati historis orang Indonesia terhadap minoritas China telah meningkat baru-baru ini, dan kelompok-kelompok Muslim garis keras, didukung oleh lawan-lawan politik Presiden, telah memanfaatkan inisiatif politik ini.

Protes-protes terhadap sekutu Presiden, Gubernur Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama yang merupakan etnis China dan beragama Kristen, menarik ratusan ribu (menurut data polisi) ke jalan-jalan di ibukota akhir tahun lalu, menuntut penahanan dirinya atas penistaan agama. Ahok sedang disidang atas dakwaan menghina Islam dan menodai al-Quran.

Hary menyalahkan pola respon-respon penegakan hukum yang lemah terhadap provokasi-provokasi dari kelompok-kelompok garis keras, sehingga gerakan mereka berhasil, yang menurutnya tidak mewakili opini umum.

"Mayoritas rakyat Indonesia masih moderat, itu jelas," ujarnya. [hd]

Recommended

XS
SM
MD
LG