Tautan-tautan Akses

Menyoal Etika dan Potensi Penipuan Aktivitas Galang Dana


ILUSTRASI - Tampilan layar menunjukkan jumlah yang terkumpul dari hasil penggalangan dana untuk misi kemanusiaan di Afghanistan melalui 'GoFundMe' oleh influencer Instagram Tommy Marcus di kantor sementaranya di Englewood, New Jersey, 20 Oktober 2021. (Ed JONES / AFP)
ILUSTRASI - Tampilan layar menunjukkan jumlah yang terkumpul dari hasil penggalangan dana untuk misi kemanusiaan di Afghanistan melalui 'GoFundMe' oleh influencer Instagram Tommy Marcus di kantor sementaranya di Englewood, New Jersey, 20 Oktober 2021. (Ed JONES / AFP)

Keputusan TikTok memblokir akun-akun “ngemis online” beberapa waktu lalu tidak hanya membangkitkan pembicaraan soal etika tapi juga potensi penipuan di balik upaya penggalangan dana di media sosial. Fenomena “ngemis online” memiliki banyak wujud, dan banyak di antaranya dibenarkan, dan sering dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Apa yang harus diwaspadai para pengguna media sosial dan bagaimana mengantisipasinya?

Anthony Leong, pakar digital dan Ketua HIPMI Digital Academy (Dokumentasi Pribadi)
Anthony Leong, pakar digital dan Ketua HIPMI Digital Academy (Dokumentasi Pribadi)

Anthony Leong, seorang pakar komunikasi digital, mengatakan fenomena “ngemis online” menawarkan lebih banyak dampak negatif ketimbang manfaat positif.

“Kita perlu mengapresiasi TikTok yang memblokir seluruh konten terkait ngemis online. Ini sebuah langkah yang baik yang menunjukkan TikTok sebagai aplikasi yang mencerahkan publik,” jelasnya.

Ketua HIPMI Digital Academy, sebuah prakarsa yang dikembangkan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) untuk melatih para wirausahawan agar melek digital, ini terutama menyoroti eksploitasi tidak bertanggungjawab kelompok-kelompok tertentu terhadap kaum marjinal demi mengeruk keuntungan pribadi.

Sebagaimana ramai diperbincangkan media, keputusan TikTok memblokir akun-akun “ngemis online” diambil setelah viralnya sejumlah video perempuan paruh baya dan lansia yang mandi lumpur. Video itu dibuat sedemikian rupa oleh sekelompok orang secara live untuk menguras simpati penonton sehingga mereka memberi hadiah virtual yang kemudian bisa diuangkan. Keuntungan dibagi antara pelaku, yang umumnya warga miskin dan si pembuat video.

Maria Jane Simanjuntak, psikolog klinis Universitas Pembangunan Jaya (Dokumentasi Pribadi)
Maria Jane Simanjuntak, psikolog klinis Universitas Pembangunan Jaya (Dokumentasi Pribadi)

Maria Jane Simanjuntak, psikolog klinis dan dosen di Universitas Pembangunan Jaya, yang sering mengamati fenomena sosial di dunia maya, juga setuju. “Kalau sudah ada intervensi dari platformnya, kita sebagai content creator seperti diingatkan untuk lebih bijaksana dalam membuat atau menyusun konten.”

Namun, menurut Anthony, sebetulnya tidak hanya TikTok yang perlu mengambil langkah itu. Fenomena “ngemis online”, atau bahasa sopannya penggalangan dana, katanya, dewasa ini memiliki banyak bentuk dan tersebar di banyak platform media sosial.

“Fenomena ‘ngemis online’ sebetulnya hadir di berbagai platform, contohnya seperti GoFundMe atau situs-situs crowdfunding lainya. Situs-situs itu bisa digunakan untuk menggalang dana untuk tujuan pribadi,” kata Anthony.

Tujuan pribadi yang dimaksud tentunya tidak selalu positif. Situs-situs itu pada umumnya disediakan untuk membantu mereka yang kesulitan, misalnya untuk kebutuhan pengobatan atau pendidikan, dan memulai bisnis. Namun, ada sejumlah pihak yang memanfaatkan situs-situs tersebut untuk keuntungan pribadi. Sehingga, tidak jarang terdengar berita penipuan yang berbalut program crowdfunding.

Anthony tidak memiliki data mengenai seberapa besar penipuan berkedok penggalangan dana di media sosial. Tapi, ia menyebut jumlahnya tidak kecil dan sering muncul di platform besar seperti Facebook dan Instagram.

Penggalangan dana untuk membantu pemulangan jenazah warga Vietnam yang ditemukan meninggal dalam wadah beku di dekat London, Inggris, 23 Oktober 2019. (Tangkapan layar: gofundme.com)
Penggalangan dana untuk membantu pemulangan jenazah warga Vietnam yang ditemukan meninggal dalam wadah beku di dekat London, Inggris, 23 Oktober 2019. (Tangkapan layar: gofundme.com)

Pesohor Indra Bekti, contohnya pada 2019 dalam sebuah postingan di Instagram, pernah blak-blakan bercerita ada orang mencoba menipu dirinya dan banyak temannya untuk mengumpulkan dana bagi bantuan penanggulangan COVID-19 dengan memanfaatkan akun Instagram perancang busana ternama Anne Avantie.

Perusahaan keamanan siber asal Rusia Kaspersky bahkan sempat mengungkapkan bahwa pada awal masa pandemi Facebook mengalami gelombang penggalangan dana palsu di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia.

Seorang editor melihat halaman GoFundMe "Support Tunnels Under Trumps Wall" yang dibuat oleh Rigo Torres, di Los Angeles, 30 Desember 2018. Torres mengakui bahwa uang itu sebenarnya akan disumbangkan ke American Civil Liberties Union (ACLU). (Mark RALSTON / AFP)
Seorang editor melihat halaman GoFundMe "Support Tunnels Under Trumps Wall" yang dibuat oleh Rigo Torres, di Los Angeles, 30 Desember 2018. Torres mengakui bahwa uang itu sebenarnya akan disumbangkan ke American Civil Liberties Union (ACLU). (Mark RALSTON / AFP)

Kasus penipuan penggalangan dana juga sering terjadi di Amerika Serikat. Contoh yang paling mendapat sorotan saat ini adalah kasus GoFundMe George Santos. Santos, sebelum menjadi anggota DPR, pernah menggalang dana lewat GoFundMe untuk operasi anjing milik seorang veteran perang penyandang disabilitas. Ia berhasil mendapatkan lebih dari $3.000, namun dana itu sendiri tidak pernah sampai ke tangan penerima seharusnya. Singkat kata, uang itu masuk ke kantong Santos sendiri.

Penipuan crowdfunding juga sering terjadi seiring munculnya bencana di Amerika. Menyusul runtuhnya kondominium bertingkat tinggi di Surfside, Florida pada Juni 2021, contohnya, beberapa penggalangan dana GoFundMe didirikan atas nama orang yang diduga menjadi korban tragedi itu. Para pejabat negara bagian Florida memperingatkan publik bahwa banyak di antara aktivitas penggalangan dana itu adalah penipuan, dan 21 akun GoFundMe yang terkait dengan tragedi itu akhirnya diblokir.

ILUSTRASI: Penggalangan dana menggunakan crowfunding. (Photo: Business Wire)
ILUSTRASI: Penggalangan dana menggunakan crowfunding. (Photo: Business Wire)

Penipuan terkait penggalangan dana juga pernah menjadi sumber inspirasi sejumlah film dokumenter, seperti “No Good Deed: A Crowdfunding Holiday Heist” yang bisa ditonton di Hulu.

Film itu mengisahkan seorang veteran tunawisma bernama Johnny Bobbitt yang memberikan $20 terakhirnya kepada seorang perempuan bernama Kate McClure yang kesulitan karena mobilnya kehabisan bensin di sebuah bahu jalan bebas hambatan. Kisah yang muncul di musim liburan ini berhasil menguras simpati banyak orang, sehingga ketika si perempuan itu dan mantan pacarnya, Mark D'Amico, menggalang dana lewat GoFund Me, terkumpullah lebih dari $400.000 dari seluruh dunia.

Satu-satunya masalah adalah cerita mereka tidak benar. Bobbitt telah bertemu McClure dan D'Amico, sebelumnya. Ketiga orang itu kemudian merancang sebuah plot yang cerdik untuk mengeksploitasi kebaikan publik untuk membalas kebaikan hati Bobbit.

Menyoal Etika dan Potensi Penipuan Aktivitas Galang Dana
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:09:54 0:00

Dewasa ini situs-situs penggalangan dana banyak tersedia. Beberapa yang cukup umum, selain GoFundMe adalah Crowdrise, FundMyTravel, Fundly, Fundable, dan Fundrazr. Sebagai informasi saja menurut situs finansial ternama Fundera, dana yang berhasil dikoleksi melalui crowdfunding di kawasan Amerika Utara setiap tahunnya senilai $17,2 miliar.

Mengingat mudahnya penggalangan dana secara online, dan tingginya potensi penipuan, Anthony bahkan menyarankan adanya lembaga yang mengawasi kegiatan-kegiatan crowdfunding.

“Kita perlu dorong, perlu hadirkan suatu kelembagaan yang memiliki otoritas untuk memverifikasi kegiatan crowdfunding di Indonesia. Dalam hal ini OJK (Otoritas Jasa Keuangan) atau share holder lain. Jika ada keraguan, lembaga itu bisa langsung memblokir dananya,” komentarnya.

Derajat Sulistyo, Sosiolog Universitas Gajah Mada (Dokumentasi Pribadi)
Derajat Sulistyo, Sosiolog Universitas Gajah Mada (Dokumentasi Pribadi)

Derajat Sulistyo, sosiolog dari Universitas Gajah Mada mengatakan, memblokir akun-akun “ngemis online” hanyalah solusi jangka pendek. Si pemilik akun, menurutnya bisa saja membuat akun baru atau pindah ke platform lain. Ia mengatakan, yang jauh lebih penting adalah mengedukasi masyarakat untuk mewaspadai eksploitasi yang tak bertanggung jawab di media sosial.

Proses ini, katanya, memang akan memakan waktu dan harus melibatkan semua pihak. Tidak hanya media sosial, seperti TikTok, Facebook, dan Instagram, yang menjadi medium penggalangan dana, tapi juga pemerintah dan para pemangku kepentingan lain seperti guru, orang tua atau tokoh publik. TikTok, contohnya, bisa membuat kategori tayangan yang dianggap eksploitatif dan melakukan kampanye masif untuk mencegah tayangan seperti itu, sementara pemerintah bisa memberi teguran kepada TikTok bila ada pelanggaran.

“Saya kira proses ilmiah inilah yang long lasting. Orang tua atau orang dewasa yang melihat tayangan seperti itu kelak akan bisa mendidik anak-anak untuk tidak menonton tayangan yang sifatnya eksploitatif,” jelasnya.

Ia menggambarkan masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat spectacle atau masyarakat yang suka tontonan dan tidak kritis secara digital. Banyak di antara mereka tidak memiliki kemampuan atau bahkan keinginan untuk mengungkap kebenaran dari apa yang mereka tonton.

“Masyarakat saat ini adalah masyarakat tontonan. Mereka tidak lagi berpikir cukup dalam mengenai apakah yang mereka lihat itu benar-benar terjadi,” imbuhnya.

Fakta ini memprihatinkan karena bukan tidak mungkin akan dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Apalagi Indonesia, menurut laporan tahunan Charity Aid Foundation (CAF) tahun 2022, adalah negara yang rakyatnya paling dermawan di dunia. Berdasarkan perhitungan CAF, skor kedermawanan atau world giving index Indonesia mencapai 68 persen, diikuti Kenya (61 persen) dan Amerika Serikat (59 persen).

Terkait kemungkinan adanya pihak yang melakukan penipuan berkedok penggalangan dana, Maria sebagai psikolog mengingatkan masyarakat untuk waspada.

“’Ngemis online’ kan ujung-ujungnya duit, UUD. Kalau kita sudah merasa pasti bahwa ini betul-betul terjadi, tidak ada ekploitasi, tidak ada manipulasi, barulah boleh merespons pro atau kontra. Seringkali kita sudah pro duluan padahal belum tahu kebenarannya 100 persen,” komentarnya.

Terlepas dari pro dan kontra, menurut Derajat, fenomena “ngemis online” menunjukkan betapa masih banyak masyarakat marjinal yang belum tertangani atau terjangkau pemerintah.

“Bentuk posting-posting eksploitasi itu kan menunjukkan, nih kelompok-kelompok rentan Anda masih belum terselamatkan. Buktinya mereka bersedia dieksploitasi ketimbang menghargai dirinya sendiri. Nah ini menegaskan bahwa di dunia digital, jangkauan atau outreach pemerintah masih terbatas.” [ab/uh]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG