Tautan-tautan Akses

Pengamat: Konflik di Bima Tak akan Terjadi Jika Pemerintah Lebih Tanggap


Berbagai pihak mendesak Presiden SBY segera menghentikan Kapolri Timur Pradopo karena seringnya insiden penembakan dilakukan polisi akhir-akhir ini (foto: dok).
Berbagai pihak mendesak Presiden SBY segera menghentikan Kapolri Timur Pradopo karena seringnya insiden penembakan dilakukan polisi akhir-akhir ini (foto: dok).

Pengamat pertambangan dari berbagai kalangan memberikan pendapatnya mengenai peristiwa di Bima, Nusa Tenggara Barat.

Sabtu, 24 Desember lalu terjadi bentrok antara polisi dan para pengunjuk rasa di Bima, Nusa Tenggara Barat. Para pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa setelah beberapa hari melakukan aksi menuntut pemerintah daerah membatalkan izin pengelolaan tambang yang baru dikeluarkan karena khawatir akan merusak lingkungan dan berdampak negatif terhadap mata pencaharian mereka.

Menurut pengamat pertambangan dari Institut Teknologi Bandung atau ITB, Irwandi Arief, bentrok serupa sudah sering terjadi yang seluruhnya dimulai dari ketidaktanggapan pemerintah terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam usaha tambang. Tragedi tersebut sangat disayangkan menurutnya karena kekayaan tambang yang dimiliki Indonesia sangat luas dan bisa menjadi andalan ekonomi dalam negeri jika dikelola dengan benar.

Kepada VoA di Jakarta, Senin, Irwandi Arief menyayangkan kelemahan pemerintah dalam menangani perizinan eksplorasi tambang. Ia mengingatkan seharusnya pemerintah berhati-hati dalam bernegosiasi dengan pihak manapun saat usaha tambang ingin dimulai disebuah daerah.

Ia juga menyayangkan bahwa untuk kesekian kalinya yang menjadi korban adalah masyarakat setempat setelah mendapat perlakuan keras dari pihak polisi. Jika dimulai degan baik dan benar serta teliti, ia optimistis usaha tambang akan memberi manfaat bagi seluruh kalangan.

“Dimulai dari perizinan yang benar, kalau dilakukan mustinya nggak ada persoalan, apakah itu masalah tanahnya jangan sampai ada tumpang tindih, biasanya yang terjadi konflik-konflik ini ada bolong-bolong di dalam melakukan proses itu, di sini terlibat siapa stakeholder yang bolong ini harus kita lihat, apakah pemerintah sendiri kurang cermat, apakah karena ada juga kadang-kadang yang bermain, ada juga oknum yang sudah menguasai beberapa tanah di situ, apakah pengusahanya, biasanya salah satu yang tidak sempurna itu pasti terjadi konflik," demikian kata Irwandi Arief.

Tidak selarasnya antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi penyebab bermasalahnya perizinan usaha tambang. Seharusnya Undang-Undang Otonomi Daerah ditinjau ulang atau harus sering didiskusikan agar saat implementasi kebijakan tidak terjadi salah paham.

“Ada problem lain adalah bagaimana koordinasi antara pemerintah pusat sama pemerintah daerah, itu kadang-kadang juga nggak match, harusnya kan pemerintah daerah itu melaporkan dan memberi tahu kepada pusat, nah kadang-kadang ini nggak dilakukan,” tambah pengamat pertambangan ITB ini.

Irwandi Arief mengingatkan persoalan izin usaha tambang harus segera diperbaiki karena dari 10 ribu izin yang sudah dikeluarkan untuk usaha tambang skala kecil, menengah dan besar masih tersisa 6 ribu perizinan dalam proses tinjau ulang. Lambatnya proses tersebut menurutnya dapat memicu konflik bagi pihak-pihak yang merasa berhak memiliki atau melakukan eksplorasi.

“Terlalu lama mereka menanti, bisa kita bayangkan ada enam ribu lagi dalam proses, kalau ini tidak cepat-cepat diselesaikan yang namanya konflik itu akan terjadi di mana-mana,” tambah Irwandi.

Hendrik Siregar, juru kampanye dari LSM Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam mengatakan konflik sering terjadi karena pemerintah tidak sepenuhnya menjalankan amanah Undang-Undang Dasar 1945. Menurutnya sudah sangat jelas ditegaskan bahwa sumber daya alam harus dikuasai negara dan hasilnya untuk kepentingan rakyat.

"Kalau negara kemudian menjalankan mandat Undang-Undang 45 itu yang mustinya terjadi tapi kan tidak, ini mandatnya kemudian bahwa negara mengauasai utuk kelompok tertentu itu yang terjadi malah kan tanpa dilihat dari keselamatan rakyat,” kata Hendrik Siregar.

Terkait tragedi di Bima, korban tewas masih simpang siur antara 2 atau 5 orang sampai saat ini, dan sedang diteliti oleh pihak kepolisian.

Sementara itu, berbagai pihak mendesak Presiden Yudhoyono segera menghentikan Kapolri, Timur Pradopo karena dinilai tidak berhasil menjalankan tugas dengan baik dengan seringnya terjadi aksi penembakan dilakukan polisi akhir-akhir ini.

XS
SM
MD
LG