Indonesia dan Malaysia memperingatkan negara-negara lain mengenai klaim kedua negara yang sering diabaikan di Laut China Selatan yang ramai dan diperebutkan banyak negara, dengan menghancurkan kapal-kapal asing yang menangkap ikan di perairan dekat garis pantai mereka.
Badan Penegakan Maritim Malaysia pada 30 Agustus lalu membakar dua kapal nelayan asing sewaktu mengarungi laut itu, suatu perubahan dari praktik penenggelaman yang kurang begitu terlihat, lapor media di Kuala Lumpur. Pengelola kapal dari China, Vietnam dan Filipina kerap menyelinap masuk perairan Malaysia di sebelah utara Kalimantan.
Di Indonesia, di mana kapal-kapal dari negara tersebut dan juga dari Malaysia mendekati perairannya, pihak berwenang telah menghancurkan 317 kapal nelayan sejak Presiden Joko Widodo mulai menjabat pada Oktober 2014.
Peringatan keras ini seharusnya berkumandang di kalangan operator kapal nelayan sejak sekarang, mengingat kedua negara tersebut mulai memberi perhatian terhadap klaim maritim mereka, jelas para analis.
Kapal-kapal nelayan kerap memburu ikan tanpa memedulikan zona ekonomi eksklusif negara lain, kata para pakar Laut China Selatan, sementara negara-negara Asia Tenggara kekurangan armada untuk mencegah menyusupnya kapal penangkap ikan. Meskipun demikian kapal-kapal asing tersebut menggunakan peralatan untuk memberitahu lokasi penangkapan ikan mereka.
Tidak jelas apakah Malaysia akan menjadikan pembakaran kapal sebagai kebiasaan baru. Para pejabat mengutip berita New Straits Times bulan lalu yang menyebut pembakaran itu sebagai peringatan bagi kapal-kapal lainnya. Departemen Perikanan Malaysia, sebagaimana disebut oleh kantor berita Bernama menyatakan Malaysia kehilangan 980 ribu ton bahan makanan laut bernilai 1.43 miliar dolar karena penangkapan ikan illegal.
"Indonesia sebelumnya mengembalikan kapal-kapal nelayan asing itu ke para pemilik yang telah membayar denda, tetapi proses itu rawan korupsi," kata Termsak Chalermpalanupap, analis politik dan keamanan di ISEAS Yusof Ishak Institute di Singapura. [uh/lt]