Tautan-tautan Akses

Human Rights Watch: Pemerintah Myanmar Rilis Foto-foto dan Cerita Palsu


Permukiman etnis Rohingya di desa Gawduthar, Maungdaw, negara bagian Rakhine, Myanmar tampak dibakar pada 7 September 2017 (foto: ilustrasi).
Permukiman etnis Rohingya di desa Gawduthar, Maungdaw, negara bagian Rakhine, Myanmar tampak dibakar pada 7 September 2017 (foto: ilustrasi).

Lebih dari 400.000 warga etnis Rohingya telah tersingkir dari Myanmar barat sementara bukti menunjukkan terjadinya pembersihan etnis, tuduhan yang telah ditolak pemerintah Myanmar. Namun, dengan keterbatasan akses dan banyaknya laporan palsu dari daerah tersebut, pers menemui kesulitan untuk mendapatkan laporan akurat tentang krisis yang terjadi.

Sementara kecaman dunia meningkat dengan tuduhan pembersihan etnis yang dilakukan oleh tentara Myanmar, pihak berwenang terus menyalahkan teroris Muslim sebagai penyebab kerusakan dan pengungsian itu. Dalam upaya transparansi, pemerintah memberikan akses kepada sekelompok wartawan untuk mengunjungi penduduk desa Hindu yang mengklaim bahwa mereka diserang oleh teroris Muslim.

Namun, pemeriksaan menunjukkan bahwa dua korban juga berpose sebagai yang disebut "teroris Benggali" dalam foto yang disebarkan di media sosial. Bagi aktivis HAM yang menyelidiki krisis tersebut, seperti Wakil Direktur "Human Rights Watch" wilayah Asia Phil Robertson, hal itu merusak kredibilitas pemerintah.

"Di satu sisi mereka mengeluarkan foto-foto palsu ini atau cerita-cerita palsu ini dan kemudian mereka menyerang kelompok-kelompok HAM seperti kami dengan mengatakan mengapa kalian tidak menyelidiki? Mengapa kalian tidak mendengarkan kedua pihak? Kami katakan baik, mari kita lihat!," tandas Robertson.

Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia.
Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia.

Robertson melanjutkan, "Kami ingin pergi ke daerah-daerah itu, kami ingin lihat apa yang Anda katakan. Izinkan kami masuk. Izinkan kami pergi ke mana kami ingin pergi dan melakukan apa yang kami inginkan untuk menemukan kebenaran," tukasnya.

Myanmar dikuasai kediktatoran militer selama lebih dari 50 tahun sebelum reformasi dimulai dan pers lokal terbiasa dengan penyensoran media. Namun, meningkatnya ketegangan yang dipandang oleh banyak orang sebagai konflik berbasis agama membuat pengumpulan informasi semakin sulit dilakukan di negara yang didominasi oleh umat Buddha itu.

Selama beberapa dekade, pemerintah militer telah mendorong nasionalisme sebagai kekuatan untuk menentang etnis minoritas yang mengupayakan wilayah semi otonom. Di negara bagian Rakhine - inilah adalah sudut pandang sejumlah besar biarawan yang dihormati masyarakat.

“Ini adalah operasi orang Benggali. Terorisme Bengali. Ini adalah terorisme," kata seorang Pendeta Budha senior.

Seiring bertambahnya jumlah orang yang mengungsi - baik di wilayah Myanmar maupun ke Bangladesh - banyak yang bertanya-tanya apakah kebenaran akan pernah terungkap. [as]

Recommended

XS
SM
MD
LG