Tautan-tautan Akses

Dino Patti Djalal: Hubungan Amerika dan Indonesia akan Lebih Setara


Menurut Dubes baru RI untuk AS ini, posisi Indonesia dan AS saat ini memungkinkan dijalinnya kemitraan setara, yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan strategis kedua negara.

Reporter VOA Eva Mazrieva mewawancarai Duta Besar Indonesia bagi AS yang baru, Dino Patti Djalal. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik Dino pekan lalu dan Dino dijadwalkan akan tiba di Washington pada akhir Agustus.

Berikut wawancara selengkapnya:

Eva Mazrieva: Terima kasih atas kesempatan yang Anda berikan dan selamat atas penunjukkan sebagai Dubes RI di AS.

Dino Patti Djalal: Terima kasih, ini merupakan kehormatan untuk saya. Saya ada perhatian cukup besar pada AS sejak awal karena ayah saya, pernah bersekolah di sana dan pada tahun 1961 mendapatkan Ph.D dari University of Virginia dan menggunakan pengetahuan yang ia dapatkan untuk mempromosikan wawasan nusantara. Dari situlah, provinsi Indonesia bertambah dua kali lipat dan didorong kesejahteraannya. Dari situ terbuka mata saya bahwa semakin kita menggali ilmu dari negara lain, memiliki banyak teman, mempererat konektivitas maka kepentingan Indonesia pun semakin terdorong.

Eva: Pastinya Pak Hasyim Djalal bangga sekali pada Anda?

Dino: Ya, mudah-mudahan begitu.

Eva: Kita mulai dengan pertanyaan pertama. Sebenarnya apa kepentingan utama Indonesia pada AS yang kini berada di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama? Anda pasti tahu kalau Presiden Obama kini tengah disibukkan dengan begitu banyak persoalan dalam negeri dan krisis multidimensi. Apakah kita tidak berharap terlalu banyak?

Dino: No. Saya kira hubungan Indonesia dan AS merupakan fitur penting bagi diplomasi kita dan hubungan dengan internasional. AS adalah negara superpower, Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara. AS adalah negara dengan perekonomian terbesar di dunia, Indonesia adalah negara dengan gerak perekonomian terbesar di Asia Tenggara. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, lebih banyak orang Islam di Indonesia dibandingkan di seluruh Timur Tengah. Jadi ada kepentingan-kepentingan dan aset strategis yang membuat Indonesia harus menjalin kerjasama dengan AS sesuai tantangan abad ke-21. Presiden Yudhoyono mengusulkan agar ada strategic partnership. Bukan aliansi, tapi kemitraan, di mana kedua negara dapat bekerjasama untuk kepentingan strategis masing-masing pihak.

Eva: Selepas pelantikan kemarin, Anda menyebut kerjasama jangka pendek yang akan Anda galakkan adalah kerjasama pendidikan dan entrepreneurship, sementara kerjasama jangka panjang adalah hubungan yang lebih konstruktif antar kedua negara?

Dino: Benar. Yang paling penting menurut saya, kita menjalin hubungan atas dasar kesetaraan. Saya tahu kemarin-kemarin ada suara bahwa Indonesia telah didikte oleh AS, dan sebagainya. Padahal, pengalaman saya selama menjalani hubungan ini, tidak pernah sekalipun ada kejadian di mana AS memaksakan kehendaknya pada Indonesia. Jika ada sesuatu hal dan ini sejalan dengan kepentingan Indonesia, maka akan kita dukung. Jika tidak, maka tidak akan kita dukung.

Eva: Terkait dengan prinsip kesetaraan ini, AS kerap membutuhkan Indonesia untuk menyelesaikan persoalan di Timur Tengah. Tapi mengapa posisi Indonesia tidak pernah jelas. Maksud saya, Indonesia selalu diletakkan satu ruang dengan Afghanistan-Pakistan-Iran, kenapa tidak pernah diposisikan di ruangan yang lain agar bisa memenuhi kerangka "kesetaraan" atau kemitraan yang Anda sebut tadi?

Dino: Memang kalau masalah perdamaian di Timur Tengah itu, ruang gerak Indonesia agar terbatas karena negara-negara di sana pun ingin memainkan peran center stage, seperti Mesir, Arab Saudi, Yordania. Kita lebih melihat peluang untuk membantu Palestina misalnya, dengan membantu sekitar seribuan pegawai Palestina dengan pelatihan agar jika nanti merdeka mereka siap dengan kompetensi dan keahlian yang diperlukan.

Tapi, Indonesia bisa bermain dari lini lain dengan memberikan dukungan moral dan diplomatik terhadap Pemerintah Obama misalnya, yang sekarang sedang melakukan pembicaraan untuk mendorong kembalinya Israel-Palestina ke meja perundingan. Presiden Palestina sewaktu berkunjung ke Indonesia juga meminta agar kami terus membantu dan memainkan peranan yang lebih besar lagi. Tapi semuanya tergantung dari celah diplomatik dan kondisi di lapangan. Kita tidak ingin terjebak pada "narsisisme politik," di mana kita mengambil peran hanya supaya kelihatan mentereng. Kalau kita mengambil peran maka harus didasarkan karena kita bisa membantu kondisi di lapangan.

Eva: Saya menanyakan demikian karena jika melihat hubungan Turki-Israel. Turki memiliki hubungan diplomatik dengan Israel tapi sekaligus menjadi pengkritik yang paling tajam.

Dino: Memang perbedaannya adalah Turki memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan kita tidak. Kita hanya bisa mendukung capacity building saja.

Eva: Merujuk pada pemulihan hubungan AS dengan militer Indonesia, khususnya dengan Kopassus. Apakah bisa didorong lebih baik lagi?

Dino: Saya kira harus ada. Salah satu asumsi dari kemitraan komprehensif dari kemitraan Indonesia-AS adalah kita harus melihat ke depan. Tidak bisa tertambat di masa lalu. Kita harus bisa membangun hubungan baru atas dasar saling percaya. Normalisasi penuh hubungan AS dengan militer Indonesia menjadi sangat penting. Indonesia akan bekerjasama dengan siapapun, dengan Australia, Cina dan Rusia, termasuk dengan AS. Saya kira AS pun ingin memiliki hubungan yang konstruktif antara militer negaranya dengan militer Indonesia.

Eva: Bagaimana dengan suara aktivis dan organisasi HAM yang menolak pemulihan hubungan itu?

Dino: Ada aktivis dan organisasi HAM yang begini, apapun yang kita lakukan tidak akan pernah bisa memuaskan mereka karena memang “lahan”-nya di sana. Di Indonesia, memang ada pihak-pihak yang akan selalu anti-Amerika. Demikian juga di AS, akan selalu ada pihak yang kritis atas Indonesia. Kita tidak mungkin mengubah hal itu. Tapi yang terpenting, hubungan Indonesia-AS dimotori orang-orang yang berpikiran progresif.

Eva: Yang terpenting, tidak terjebak di masa lalu?

Dino: Ya. Kita sudah hidup di abad ke-21. Indonesia sekarang sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Beberapa tahun terakhir ini nyaris tidak ada pelanggaran HAM berat yang dilakukan Pemerintah. Ya, mungkin ada yang insidentil satu dua dilakukan, tapi bukan yang sistemik seperti dulu. Ini satu hal yang kita banggakan. Kita tidak membutuhkan pengakuan dari orang lain karena melakukannya atas kesadaran sendiri.

Eva: Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono sudah jauh berubah, adakah artinya bagi dunia dan kawasan?

Dino: Saya berada di Washington antara tahun 2000-2002 di masa transisi yang labil di mana banyak pelanggaran HAM di Aceh, Papua, terorisme dan sebagainya. Orang bilang Indonesia tengah mengalami proses "Balkanisasi" dan akan terpecah belah seperti di Rusia. Tapi ingat saja, kalau Indonesia "sakit" maka kawasan akan "sakit" dan dunia pun akan"‘sakit," karena Indonesia merupakan negara besar yang besar dan strategis. Stabilitas Indonesia, kesehatan demokrasi, kemakmuran dan keamanan Indonesia merupakan hal penting bagi kawasan dan dunia.

Karenanya, AS, negara Barat dan negara-negara berkembang lainnya berkepentingan mendukung upaya persatuan dan stabilitas di Indonesia. Masih ada yang beranggapan dunia ingin memecah belah atau merongrong Indonesia, padahal tidak benar. Justru sebaliknya kita sekarang hidup di dunia dengan “million friends and zero enemy." Untuk pertama kalinya, kita hidup bersama di dunia yang tidak ada satu negara pun menganggap Indonesia sebagai musuh atau dianggap Indonesia sebagai musuh.

Ini menjadi strategi yang baru bagi Indonesia dan kita harus mensosialisasikan hal ini. Karena itulah, hubungan Indonesia dan AS penting karena simbolis bagi strategi tadi. Masih ada trauma karena tahun 1960-an ada kebijakan AS yang dinilai merongrong atau memecah belah kita dan hal ini menjadi stigma yang menghantui policy makers kita.

Tapi dengan comprehensive partnership, kita ingin menunjukkan bahwa AS bukan lagi lawan atau musuh, dan bukan sekedar kawan, tapi sudah menjadi mitra di abad ke-21. Ini mencerminkan dinamika bebas-aktif kita dan sekaligus menunjukkan Indonesia telah berubah, dunia telah berubah. Dalam Indonesia dan dunia yang telah berubah itu, kita juga membutuhkan perubahan dalam hubungan kita dengan AS. Sebagaimana kita telah menjalin hubungan yang berubah dengan Cina, India, Australia dan lain-lain.

Eva: Tapi, sulit mengubah stigma dan trauma masa lalu itu. Seperti dalam kasus penangkapan Abu Bakar Ba'asyir. Ditangkap di Indonesia atas kasus terorisme di Aceh. Tapi yang disalahkan tetap AS. Seakan-akan ada campur tangan AS di balik penangkapan itu.

Dino: Ungkapan ini memang bisa ditebak dan sebelumnya memang ada. Tapi kali ini saya sudah lihat keadaan di Indonesia dan para pengamat politik, tidak ada campur tangan dari luar. Ini murni kasus di dalam negeri dimana mereka menemukan bukti-bukti di lapangan dan diangkat hingga ke atas. Bukti ini mengarah pada pihak-pihak tertentu, termasuk Abu Bakar Ba'asyir.

Eva: Jadi siap ditugaskan di sini ya, Pak. Jika dulu Anda yang kerap membangunkan Presiden karena ada tugas penting, tapi di sini Anda yang harus siap dibangunkan?

Dino: Ya, saya siap. Presiden sempat bilang pada saya, “Din, jarak kamu dan saya itu hanya satu email” (tertawa). Jadi tentu hubungan akan saya jaga dengan baik.

Eva: Kapan Anda akan tiba di Washington DC?

Dino: Insya Allah, sebelum lebaran saya sudah tiba di sana.

Eva: Ada target khusus bagi Kedubes Indonesia di AS?

Dino: Saya ingin mencoba membuat target baru, membuat eksperimen di KBRI kita disana. Menjadikan kedubes lebih inovatif. It’s going to be an interesting posting for me and for our diplomats in the US. Saya merasa skill yang penting bagi diplomat Indonesia di sana adalah sebagai lobbyist. Saya ingin menjadikan KBRI sebagai lobbying station. Saya ingin diplomat di sana memiliki teman dan kemampuan networking seluas-luasnya. Dalam diplomasi ini yang penting bukan what you know, but who you know. Memang lobbying ini bukan budaya Indonesia, tidak diajarkan di sekolah atau birokrasi. Lobbying ini dalam arti mencari kawan dan networking.

Eva: Kalau yang bicara diplomat karir, memang beda. Bisa jadi satu buku lagi ya, Pak.

Dino: Well, I hope so.

Eva: Baiklah terima kasih atas wawancaranya, Pak. Selamat datang di Amerika nanti.

Dino: Terima kasih. See you soon.

XS
SM
MD
LG