Belum lama ini viral pemberitaan dari Ponorogo, Jawa Timur terkait ratusan permohonan dispensasi perkawinan, yang disebut disebabkan karena kehamilan. Pejabat Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung, Nur Djannah Syaf menyebut pemberitaan itu tidak tepat. Data yang dihimpun dari seluruh Indonesia, menempatkan kehamilan sebagai alasan kedua, yang berada jauh di bawah alasan pertama yaitu karena cinta.
Nur Djannah mengambil contoh di Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya, yang menghimpun data untuk seluruh wilayah Jawa Timur. Pada 2022 lalu, PTA Surabaya mengeluarkan 15.329 dispensasi kawin untuk anak.
“Yang hamil ini hanya 3.393, kemudian faktor ekonomi adalah 977. Ini yang paling tinggi, yang cinta, maksudnya mereka sudah pacaran, ada lebih sepuluh ribu, kemudian intim atau sudah melakukan hubungan sebagai suami istri, ada 133,” papar Nur Djannah dalam seminar yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kamis (26/1).
Kekeliruan terkait alasan dispensasi perkawinan anak, dapat menyebabkan kesalahan dalam menetapkan strategi mengatasi persoalan itu.
Nur Djannah menekankan, pengadilan adalah penjaga garis terakhir dalam persoalan perkawinan anak. Namun, masyarakat sering memberikan kritik paling besar kepada lembaga ini, karena pemberian dispensasi.
Secara nasional, Jawa Timur mencatatkan pernikahan anak tertinggi, yaitu 15.329, diikuti Jawa Tengah (12.035), Jawa Barat (5.778), Sulawesi Selatan (2.663) dan Sumatera Selatan (1.343). Provinsi berikutnya secara berurutan adalah Jambi, Bengkulu, Gorontalo, Kalimantan Barat dan Riau.
Secara nasional, kata Nur Djannah, pada 2022, ada lebih dari 52 ribu dispensasi perkawinan yang dikeluarkan, dengan 34.987 terkait alasan cinta.
“Jadi mereka sudah pacaran. Sudah tidak bisa lagi dihindari, sehingga orang tuanya meminta. Karena bukan yang bersangkutan yang ke pengadilan agama, tetapi orang tua,” kata Nur Djannah.
Dari jumlah di atas, secara nasional alasan kehamilan untuk dispensasi perkawinan anak berjumlah sekitar 13 ribu, dan alasan faktor ekonomi sekitar 2 ribu. Alasan lain yang juga tercatat di data nasional adalah karena pernah berhubungan suami istri dan karena dijodohkan oleh orang tua.
“Kami selalu dikritik, kok pengadilan agama sangat gampang untuk mengizinkan anak-anak di bawah umur ini untuk menikah,” tambahnya.
“Padahal ini tanggung jawab kita semua. Artinya pemerintah harus terlibat, semuanya harus terlibat. Seperti dalam penanganan COVID kemarin,” kata Nur Djannah lagi.
Perlu Intervensi Terpadu
Ganesh Cintika Putri, peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM juga melihat, bahwa isu perkawinan anak kompleks. Ada perbedaan isu dan perbedaan konteks antar daerah, ujar dia.
“Itu harus diintervensi secara terpadu, multistakeholder. Ada makro, meso dan mikro, dan masing-masing level itu harus melihat struktur yang ada di masyarakat, kultur yang ada di masyarakat, dan proses sosial yang ada di masyarakat,” ujarnya.
Dari sisi hukum, Indonesia sudah memiliki aturan yang ketat terkait perkawinan anak. Namun pada penerapannya, aturan itu tidak seefektif yang diharapkan. Menurut kajian yang dilakukan Balitbangkumham, ada sejumlah faktor penyebabnya,
“Hukum di Indonesia ini plural. Kita tidak hanya mengenal hukum nasional, enggak hanya hukum pidana dan perdata, tapi di dalam masyarakat kita itu juga hidup hukum adat, hukum agama,” ujarnya.
Berbagai hukum di masyarakat itu mempengaruhi cara pandang tentang perkawinan, tentang batasan usia dewasa untuk menikah.
“Cara pandang yang berbeda ini yang kemudian menimbulkan ada resistensi,” lanjutnya.
Resistensi tidak saja berwujud penolakan, tetapi munculnya ketegangan di dalam masyarakat. Dalam praktik, ketegangan itu muncul misalnya pada perdebatan soal apakah seorang anak yang sudah bisa membantu perekonomian keluarga, bermakan sudah boleh menikah.
“Dan itupun pada akhirnya juga mempengaruhi keputusan penghulu ataupun hakim di tingkat daerah, untuk memberikan diskresi dalam dispensasi ini. Karena mau tidak mau, mereka juga terpengaruh budaya yang ada di situ,” tambah Ganesh.
Hakim, pada posisi tertentu tidak bisa menolak ketika orang tua membawa anaknya yang sudah hamil, dan terancam tidak memiliki suami jika dispensasi tidak keluar. Dalam kasus lain, hakim mungkin juga tidak berdaya ketika orang tua mempersoalkan aib keluarga jika anaknya tidak menikah.
Perlu Peran Anak Muda
Pengkampanye dari Yayasan Plan Internasional Indonesia, Aditya Septiansyah, melihat isu perkawinan anak juga membutuhkan peran anak muda untuk menyelesaikannya.
“Sudah saatnya kita melihat anak, tidak hanya sebagai korban dari permasalahan perkawinan anak ini, tapi justru mereka bisa menjadi penggerak-penggerak yang mempengaruhi teman sebaya, untuk sama-sama bisa melakukan pencegahan perkawinan anak,” paparnya.
Plan Internasional Indonesia saat ini memfokuskan kampanye mereka di dua daerah, yaitu Sukabumi, Jawa Barat dan Lombok Barat di Nusa Tenggara Barat. Tahun lalu, mereka menerbitkan buku saku berjudul “Mari Kita Cegah Perkawinan Anak”. Buku ini, kata Aditya, telah disosialisasikan ke sekolah-sekolah di Sukabumi dan Lombok Barat. Kerja sama dengan pemerintah daerah juga dijalin untuk memastikan distribusi buku saku untuk remaja itu sampai ke tujuan.
“Harapannya, banyak agen-agen perubahan, kaum muda yang punya pengetahuan cukup untuk mengiedukasi peers-nya terkait perkawinan anak, bisa muncul di daerah-daerah,” ujar Aditya.
Di Lombok Barat, yayasan ini bahkan memanfaatkan adat untuk menekan angka perkawinan anak. Dalam pemahaman umum, merarik atau tradisi melarikan anak gadis di Lombok bisa menjadi alasan untuk menikah di usia dini. Plan Internasional Indonesia justru memanfaatkan adat ini, untuk menegaskan bahwa aturan adat mensyaratkan kondisi tertentu yang tidak mudah untuk terjadinya perkawinan anak.
Penanganan Khusus Anak Hamil
Sementara itu, kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia terkait perkawinan anak, merekomendasikan sejumlah langkah. Terkait kehamilan anak, peneliti Puskapa UI, Andrea Andjaringtyas Adhi menyebut ada empat masalah yang harus dicermati.
“Kami melihat, yang melatarbelakangi anak mengalami kehamilan, yang pertama kesulitan hidup. Kesulitan hidup di keluarga rentan membuat mereka juga sulit untuk mendapat akses bantuan pengasuhan, sehingga itu mendorong kehamilan anak,” urainya.
Faktor kedua adalah lemahnya ikatan kolektif di antara keluarga, komunitas dan kelompok sebaya. Ketiga, tantangan bagi anak dalam menimbang keputusan yang terbaik untuk mereka sendiri. Sedangkan yang keempat adalah sedikitnya kesempatan dan pelibatan kaum muda yang bermakna.
“Kami melakukan pemetaan, kalau empat masalah tadi tidak teratasi, anak mengalami kehamilan. Ketika anak mengalami kehamilan, bisa jadi mereka putus sekolah, dikeluarkan lalu dikawinkan. Ketika dikawinkan, bisa jadi tidak selesai sekolahnya dan rentan mendapat kekerasan domestik,” tambah Andrea.
Kondisi itu saling berkelindan dan melahirkan situasi sulit bagi anak, karena mereka tidak mendapat dukungan dan layanan yang komprehensif. Misalnya, karena masih anak-anak, mereka malu untuk datang mengakses layanan Puskesmas. Pada gilirannya, mereka tidak menerima dukungan untuk bisa melanjutkan hidup dengan layak.
Ada juga kemungkinan bahwa mereka mau mengakses, tetapi tidak tersedia layanan yang sesuai bagi anak-anak.
“Mereka merasa terisolasi, karena di usia anak dan hamil, pasti kondisinya berbeda dibanding yang sudah dewasa,” tandasnya.
Sejumlah program harus dilakukan, sebagai rekomendasi Puskapa. Pertama adalah pencegahan dan mitigasi risiko kehamilan anak. Kedua adalah layanan bagi anak selama masa kehamilan. Sedangkan yang terakhir adalah layanan bagi anak pasca melahirkan.
“Seribu hari pertama itu menjadi sangat krusial sekali. Di sinilah sebenarnya cara dan peluang kita bersama, untuk memastikan dan memutus rantai perkawinan anak secara tidak langsung,” tegas Andrea. [ns/ab]
Forum