Tautan-tautan Akses

BNPT: Jihadis Asal Indonesia yang Kembali dari Luar Negeri Harus Diwaspadai


Pasukan polisi antiteror bergerak dalam operasi penyerbuan sebuah rumah yang diduga terdapat teroris di dalamnya di wilayah Medokan Ayu, Surabaya, Jawa Timur, pada 15 Mei 2018. (Foto: Reuters/Sigit Pamungkas)
Pasukan polisi antiteror bergerak dalam operasi penyerbuan sebuah rumah yang diduga terdapat teroris di dalamnya di wilayah Medokan Ayu, Surabaya, Jawa Timur, pada 15 Mei 2018. (Foto: Reuters/Sigit Pamungkas)

Pemerintah mewaspadai jihadis asal Indonesia yang kembali dari luar negeri seperti Suriah, Irak, Filipina dan Afganistan. Semua pihak diminta untuk waspada terhadap kemungkinan pengaruh teror yang diberikan oleh para jihadis tersebut sekembalinya mereka ke tanah air.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan ratusan warga Indonesia yang bergabung dengan kelompok teroris di Irak, Suriah, Filipina, dan Afghanistan harus diwaspadai ketika mereka kembali ke Indonesia.

"Saat ini terdapat WNI yang masih berada di wilayah konflik, seperti Suriah dan Irak, Filipina dan Afghanistan, yang berpotensi kembali ke Indonesia dan bisa memberikan pengaruh terhadap kelompok teror yang ada. Jadi proses kembalinya mereka ini yang harus kita waspadai apabila mereka menempuh jalur ilegal," kata Boy Rafli.

Dia mengakui terdapat potensi jalur-jalur ilegal, termasuk memanfaatkan sindikat penjualan paspor, dengan kisaran harga $5 hingga $15 ribu per paspor, bagi para jihadis asing yang ingin kembali ke negara masing-masing.

Sebaliknya, lanjut Boy Rafli, jika mereka menempuh jalur formal, maka pihak berwenang dapat memantau keberadaan dan pergerakan mereka.

Potensi Ancaman Serangan

Ancaman serangan terorisme global terus mengalami dinamika. Serangan bom di negara-negara yang berkonflik masih menjadi modus dari kegiatan terorisme, tambahnya.

Di tingkat regional, Filipina masih menjadi basis terorisme terbesar di kawasan Asia Tenggara. Sementara di dalam negeri, pemerintah masih memantau penyebaran ideologi terorisme melalui media sosial, pendanaan terorisme, dan orang-orang Indonesia bergabung dengan kelompok teroris di negara-negara berkonflik.

Sementara di dalam negeri, BNPT memperkirakan sekitar 5-8 persen dari 1.250-an eks narapidana kasus terorisme di Indonesia kembali melakukan serangan.

Kemenkumham Telaah Tipe Terorisme

Abdul Haris, Direktur Keamanan dan Ketertiban di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengatakan karena terorisme merupakan kejahatan luar biasa, maka pelakunya perlu mendapat perlakuan dan pembinaan khusus. Untuk itu proses penempatan narapidana kasus terorisme di lembaga pemasyarakatan dilakukan secara hati-hati. Hal tersebut dilakukan untuk mengoptimalkan program pembinaan dan deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan.

Abdul menambahkan pembinaan narapidana teroris adalah upaya terpadu yang mencakup pembinaan di dalam dan luar lembaga pemasyarakatan lewat pendampingan dan pengawasan secara khusus terhadap perubahan sikap dan kebijakan narapidana teroris untuk mengurangi kemampuan, niat, dan keterlibatan mereka dalam kegiatan terorisme serta mengembalikan mereka agar dapat berinteraksi dalam masyarakat, serta mampu menghidupi diri dan keluarga mereka.

Koordinator teroris wilayah Aceh jaringan Jemaah Islamiyah (JI) berinisial ISA (37) yang ditangkap Densus 88 di Kabupaten Aceh Tamiang pada 3 Agustus 2022. (Courtesy Polda Aceh)
Koordinator teroris wilayah Aceh jaringan Jemaah Islamiyah (JI) berinisial ISA (37) yang ditangkap Densus 88 di Kabupaten Aceh Tamiang pada 3 Agustus 2022. (Courtesy Polda Aceh)

Menurut Abdul, ada empat jenis narapidana kasus terorisme, yakni ideologi, militan, simpatisan, dan kondisional. Data menunjukkan saat ini sebanyak 460 narapidana kasus terorisme di Indonesia tersebar di lembaga pemasyarakatan yang ada di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah (Nusakambangan), Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

"Kalau dia ideolog, berarti sebagai rujukan narapidana teroris lain. Artinya dia sebagai tokoh. Kemudian pengetahuan ideologinya mumpuni, paham benar aliran ideologi yang dijalankan. Kemudian mempunyai tujuan yang jelas dan siap akan konsekuensi atau sulit untuk sadar. Kemudian banyak kunjungan dan dukungan logistik dari kelompoknya," ujar Abdul.

Sedangkan narapidana teroris tipe militan mempunyai kemampuan militer yang mumpuni sebagai pelindung kelompok, memiliki komitmen ideologi yang kuat, dan sulit untuk sadar.

Narapidana teroris kategori simpatisan adalah bukan orang yang berpengaruh, bertugas melayani ideolog dan miitan, merasa mendapat pencerahan dan terus belajar, komitmen ideologi sedang, dan butuh waktu untuk sadar.

Narapidana teroris tipe kondisional adalah bukan orang yang berpengaruh dalam kelompok, ikut-ikutan dan tidak banyak memahami ideologi, merasa diri terjebak dan cepat kecewa, komitmen ideologi rendah dan cepat sadar.

Pembinaan

Terkait strategi pembinaan, lanjut Abdul, terlebih dahulu dibuat profil tiap narapidana teroris. Ini bisa dilihat dari rekam jejak, karakter, dan klasifikasi. Kemudian melakukan penilaian apakah setelah bebas berpotensi kembali melakukan kegiatan terorisme atau tidak, menganalisa potensi-potensi apa saja yang bisa membuat mereka kembali ke kelompok teroris, memetakan kebutuhan narapidana tersebut setelah bebas, serta risiko keamanan dan keselamatannya.

Pembinaan umumnya dilakukan lewat program deradikalisasi untuk mengubah pemahaman mereka dari radikal menjadi toleran, memutus pengaruh dari kelompok teroris, lalu menilai sistem pembinaan narapidana teroris secara berkelanjutan.

Untuk mencegah penyebaran ideologi terorisme dan gangguan keamanan terhadap narapidana lain, maka narapidana teroris ditempatkan dalam sel-sel individual yang diawasi secara maksimal lewat kamera CCTV dan piranti elektronik lain. Kesadaran hukum, bernegara dan beragama dilakukan rutin melalui tatap muka atau rekaman video. Evaluasi dilakukan setiap tiga bulan untuk melihat perubahan perilaku mereka.

Meskipun demikian tantangan yang muncul juga tidak kecil. Pertama, papar Abdul, umumnya sebagian dari mereka tidak mau berubah dan merasa nyaman kelompoknya, serta memegang teguh ideologinya. Tantangan kedua adalah sebagian narapidana teroris takut terhadap ancaman kelompok atau jaringannya karena membahaykan keselamatan diri dan keluarganya.

Pentingnya Koordinasi

Direktur Eksekutif SeRVE Indonesia Dete Aliah menyarankan pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah tempat tinggal narapidana tersebut, agar dapat mempersiapkan masyarakat terlebih dahulu sebelum narapidana kasus terorisme keluar dari penjara.

Hal tersebut dinilai penting agar proses reintegrasi eks narapidana kasus terorisme di masyarakat dapat berlangsung mulus dan tidak terjebak pada stigma yang membuat mereka kembali ke jaringan terorisme. [fw/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG