Semakin memburuknya situasi di Jalur Gaza akibat perang Israel-Hamas yang memasuki hari ke 164 tidak menyurutkan tekad sejumlah petugas medis dari berbagai negara untuk bahu-membahu memasuki kembali Jalur Gaza. Termasuk tim petugas medis dari Indonesia yang tergabung dalam Medical Emergency Rescue-Committee (MER-C).
Bersama sejumlah petugas medis dari beberapa negara lain dan staf Badan Kesehatan Dunia, mereka membentuk tim yang disebut “Tim Medis Darurat” EMT.
Ketua Presidium MER-C Sarbini Abdul Murad mengatakan tim medis MER-C terdiri dari 11 dokter dan perawat bedah. Dalam konferensi pers di Jakarta hari Selasa (19/3), Sarbini mengatakan jika digabung dengan dua relawan yang selama ini bertahan di Gaza, maka secara keseluruhan saat ini ada 13 petugas medis Indonesia di wilayah konflik itu.
Your browser doesn’t support HTML5
"Mereka bekerja minimal selama dua minggu, maksimal satu bulan. Kita mengupayakan etape-etape selanjutnya (pengiriman tim medis ke Gaza). Kami tidak mau ini berhenti selama ada relawan kita di sana," katanya.
“Tim Medis Darurat” EMT ini hanya akan beroperasi di kota Rafah, di bagian selatan Gaza, karena Pasukan Pertahanan Israel IDF masih tidak mengizinkan tim medis manapun masuk ke wilayah tengah dan utara Gaza.
Sarbini menyerukan kepada semua elemen di bidang kesehatan untuk membangun koalisi besar supaya dapat mengirim tim medis ke Gaza secara rutin, dan mengajak pemerintah meningkatkan kolaborasi guna membantu warga Palestina di Gaza.
Direktur Timur Tengah Bagus Hendraning Kobarsyih mengatakan seruan MER-C untuk mendirikan rumah sakit lapangan itu merupakan sebuah hal yang wajar. Kementerian Luar Negeri, ujarnya, akan mempelajari dan sekaligus mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan jadi tidaknya membangun rumah sakit lapangan itu.
"Melihat kondisi di lapangan, mempertimbangkan banyak hal, aspek keamanan, ketersediaan supai logistik, suplai obat-obatan, ketersediaan tenaga kesehatan dan dokter. Paling penting adalah izin dari pemerintah setempat. Itu kan nggak mudah, itu harus diklarifikasi dulu baru kita bisa sampai pada keputusan perlu atau tidak membangun rumah sakit lapangan," ujarnya.
Lebih jauh Bagus mengatakan ia sangat memahami bahwa di saat krisis seperti sekarang ini fasilitas kesehatan dalam bentuk apapun di Gaza memang akan sangat membantu warga Palestina di wilayah itu. Tetapi keputusan pembangunan rumah sakit lapangan tidak dapat dibuat dalam waktu singkat, dan ia terbuka pada semua opsi yang dapat meringankan penderitaan warga Palestina di Gaza.
Komisioner Tinggi PBB Untuk HAM Volker Turk hari Selasa (19/3) mengingatkan hanya tinggal menunggu waktu sebelum warga Gaza mengalami kelaparan sangat akut. [fw/em]