Situs Internet AS Upayakan Penghapusan Praktek Perbudakan Dunia

  • Peter Fedynsky

Situs www.slaveryfootprint.org yang dirancang Fair Trade Fund, kelompok nirlaba yang mendorong perusahaan-perusahaan agar tidak menggunakan tenaga budak, diumumkan pada konperensi tahunan Prakarsa Global Clinton.

Departemen Luar Negeri Amerika memperkirakan jutaan orang bekerja sebagai budak di seluruh dunia saat ini membuat barang-barang kebutuhan sehari-hari yang digunakan oleh para konsumen yang tidak tahu menahu tentang hal itu.

Sebuah situs internet baru mungkin mengejutkan mereka yang ikut dalam survei tentang gaya hidup. Survei itu menghitung berapa banyak budak yang bekerja untuk memproduksi pangan, menjahit pakaian, atau menambang bahan-bahan penting untuk membuat telepon genggam.

Situs itu, www.slaveryfootprint.org, dan aplikasi mobil yang serupa dirancang oleh Fair Trade Fund, kelompok nirlaba yang berkantor pusat di California, dengan dana 200.000 dolar dari Departemen Luar Negeri Amerika. Badan itu dipimpin Justin Dillon. Ia mengatakan situs itu tidak menyebut perusahaan-perusahaan secara khusus, tetapi mendorong mereka supaya jangan menggunakan tenaga-tenaga budak.

Dillon mengatakan budak adalah orang yang dipaksa bekerja tanpa mendapat upah dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan itu. Perbudakan mengukur tenaga buruh yang dipaksa bekerja dalam proses produksi barang tertentu.

Situs itu diumumkan dalam konperensi pers di New York City tentang Prakarsa Global Clinton yang diadakan setiap tahun. Duta Besar Keliling Amerika untuk Pemantauan dan Penumpasan Penyelundupan Manusia, Luis CdeBaca (see-d’BA-ka), mengatakan semua konsumen punya budak yang bekerja untuk mereka, bahkan apabila mereka tidak membeli seks dari orang-orang yang dipaksa masuk ke dalam perbudakan seks, atau punya pembantu atau punya pertanian di mana orang-orang dipaksa memanen buah-buahan.

Ketua Aliansi untuk Mengakhiri Perbudakan, Julia Ormond, menghimbau para pimpinan eksekutif perusahaan yang terlibat dalam masalah itu agar menyelidiki mata rantai pasokan mereka mengenai kemungkinan adanya perbudakan. Ia mengatakan tanggung jawab para pimpinan eksekutif perusahaan kepada para pemegang saham adalah nilai moral, bukan hanya laba.

“Laba membuat kita berusaha keras untuk mendapatkan harga yang bersaing. Ketika harga itu begitu bersaing, harga menjadi semakin murah. Inilah yang menciptakan kondisi bagi penyelundupan manusia dan perbudakan,” ujarnya.

Justin Dillon mengatakan ongkos menghapuskan perbudakan dari mata rantai pasokan bagi perusahaan-perusahaan multinasional sebetulnya sangat kecil. Hanya para pedagang budak yang akan kehilangan uang, katanya, karena budak sendiri jumlahnya begitu banyak sehingga mereka bisa dipaksa bekerja tanpa gaji.

Situs itu juga memberi informasi kepada para pengunjung situs bahwa budak-budak digunakan untuk menambang mika, misalnya, mineral yang digunakan untuk membuat warna kemilau dalam kosmetika, atau coltan, komponen barang-barang elektronik. Juga, batu merah delima dan kayu jati yang diimpor dari Birma katanya menggunakan buruh budak, seperti juga bola sepak dari Tiongkok, kapas dari Uzbekistan, karpet dari India, dan udang dari Asia Tenggara.