Setahun Invasi Rusia, Diaspora RI di Ukraina Bertahan Hidup, Lawan 'Fitnah' Netizen

(ki-ka) Diaspora Indonesia di Ukraina, Maysaroh asal desa Anjatan, Indramayu, dan Pepi Aprianti Utami asal Bandung (dok: pribadi)

Satu tahun telah berlalu sejak invasi Rusia ke Ukraina. Walau keadaan masih terus mencekam dan penuh ketidakpastian, banyak warga Ukraina, termasuk diaspora Indonesia yang masih tinggal di sana, berusaha bertahan hidup dan tetap siaga dalam menjalani hari-hari mereka.

Sejak tahun 2013, diaspora Indonesia, Pepi Aprianti Utami menetap di Kyiv, Ukraina. Ketika terjadi invasi Rusia ke Ukraina, seniman kriya asal Bandung ini memutuskan tetap tinggal bersama suaminya yang berkewarganegaraan Ukraina, beserta mertuanya.

Berbagai pertimbangan dan situasi yang kerap berubah memang membuatnya panik. Namun, karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, Pepi akhirnya memutuskan untuk tidak mengungsi.

“Kalau saya keluar dari Ukraina itu bakal repot. Jadi saya harus stay di sana sampai semuanya beres. Dan udah gitu ya pertimbangannya lainnya, ya karena suami saya juga kan tidak bisa keluar (Ukraina) karena dia di usia yang aktif, yang bisa dimobilisasi, seperti itu ya,” ujar Pepi Aprianti Utami kepada VOA.

Seniman asal Bandung, Pepi Aprianti Utami, sudah menetap di Kyiv, Ukraina sejak tahun 2013 (dok: Pepi Aprianti Utami)

Namun, rasa stres dan cemas masih terus melanda pikiran Pepi. Sirene yang menandakan adanya serangan masih sering terdengar, begitu pula pemadaman listrik hingga berjam-jam yang kerap terjadi. Namun, Pepi beruntung karena musim dingin di Ukraina tahun ini tidak separah biasanya.

“Biasanya (suhu) selalu lebih dari -10°C, -15, bahkan bisa -20. Tapi tahun ini paling dingin itu -5, -6, itu cuman kayak dua hari doang. Terus hangat lagi 4°C sampai 6. Untungnya sih itu ya, jadi energi listrik juga bisa lebih sedikit digunakan dan bisa jadi lebih efisien,” ceritanya.

Tahun lalu saat terjadi invasi, Pepi masih sempat berpikir bahwa situasi ini tidak akan berkepanjangan. Namun, kini ia mengaku telah jauh lebih siap dan siaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi.

“Waktu tahun lalu, saya mempersiapkan tas darurat itu, saya merasa ‘Ah nggak mungkin, Rusia kan cuma gertak doang.’ Dari dulu juga seperti kan. Cuma sekarang saya lebih siap. Selain tas darurat, says siapin juga rencana buat relokasi kalau diperlukan gimana, saya siapkan semua dokumen atau apa-apa,” tambahnya.

Diaspora Indonesia, Pepi Aprianti Utami, di Kyiv, Ukraina (dok: Pepi Aprianti Utami)

Serangan di udara juga masih kerap terjadi. Untungnya, pemerintah masih menyediakan tempat mengungsi darurat sementara yang bisa dijadikan tempat berlindung bagi para warganya.

“Tapi biasanya sih penghuni apartemen saya ini, setiap ada ancaman serangan udara, yang tinggal (di) lantai atas itu pada turun ke bawah, terus kita udah siap(kan) kursi-kursi di lorong-lorong apartemen. Jadi (waktu sirene) bunyi, pada turun ke bawah dan pada duduk di situ sambil nunggu alarmnya berhenti,” jelas Pepi.

Pingit Suami di Rumah

Sama seperti Pepi, tahun lalu Maysaroh asal desa Anjatan, Indramayu yang tinggal di Odessa, Ukraina juga memutuskan untuk tidak mengungsi dan tetap bertahan hidup bersama anak dan suaminya yang warga Ukraina.

WNI Maysaroh asal Indramayu sudah menetap di Odessa, Ukraina sejak tahun 2017 (dok: Maysaroh)

Maysaroh yang sudah menetap di Ukraina sejak awal tahun 2017 lalu mengaku sudah terbiasa dengan sirene yang masih terus terdengar dan hanya bisa pasrah dengan keadaan di Ukraina saat ini.

“Udah enggak setakut seperti awal-awal yang, ‘gimana nih? Harus ngumpet?’,” ujar Maysaroh kepada VOA.

“Pasrah saja. Semoga Allah selalu melindungi kita semuanya, udah itu saja,” tambahnya.

Ia juga kerap mengalami pemadaman listrik hingga berjam-jam yang bisa mencapai 2-3 kali per hari.

“Ngeri-ngeri sedap,” pikirnya. Apalagi ketika melihat berbagai pemberitaan mengenai kondisi saat ini, yang menurutnya tidak membaik, tetapi malah membuatnya takut dan merasa tidak nyaman.

Rasa waswas juga terus menghantuinya, khususnya jika mengingat kalau suaminya dapat menerima panggilan mobilisasi militer kapan saja.

“Kalau suami ya udah saya pingit sih sejak (terjadi invasi). Udahlah diam di rumah aja biar saya aja yang beli kebutuhan sehari-hari gitu. Biar saya saja yang keluar,” kata Maysaroh kepada VOA.

Maysaroh dan suaminya juga memutuskan untuk tidak menyekolahkan putranya yang kini berusia empat tahun. Sebisa mungkin mereka mengajarkan putranya menghitung dan menulis di rumah.

“Saya komunikasi dengan bapaknya juga, udah mendingan (anak) di rumah aja, daripada kita nanti was-was tiap kali ada alarm, setiap kali ada sirene gitu, kita was-was tiap hari harus anter jemput gitu kan lebih baik kita rumahkan saja,” tambahnya.

Bertahan Hidup dari Tabungan

Suami Maysaroh kehilangan pekerjaannya sejak bulan April lalu. Kini mereka menjalani hidup sehari-hari dengan tabungan yang ada untuk bertahan hidup.

Diaspora RI di Odessa, Ukraina, Maysaroh asal desa Anjatan, Indramayu (dok: Maysaroh)

“Harga melonjak naik. Beras yang tadinya saya beli yang biasa beli cuman 32 hryvna, sekarang udah 80-90 hryvna. Gila pokoknya semua naik. Hari ini kita beli misalkan 60, minggu depan udah 65 gitu. Cepet banget naiknya. Pelan, pelan, pelan tapi naik. Semua naik, enggak ada yang udah naik turun lagi,” cerita Maysaroh.

Namun, Maysaroh beruntung ketika dipertemukan dengan dua orang Indonesia yang kini tengah bertugas di Ukraina, yang mendatangkan berkah baginya.

“(Mereka) minta (makan siang) dari saya. Tiap hari minta dikirimi. Di situ saya ada kegiatan, jadi saya merasa enggak (bosan) nih. Setiap hari saya keluar, saya masak,” ujarnya.

“Kadang-kadang juga dari temannya beliau ada juga yang minta (makan siang), karena mereka dari negara muslim, jadi mereka tuh mencari makanan yang halal. Ya Alhamdulillah, saya layani ada tiga orang, empat orang, lima orang gitu. Enggak tentu setiap hari. Itu yang bikin saya berkah-lah istilahnya,” tambah Maysaroh.

Sebarkan Fakta dari Ukraina

Tidak hanya menjalani hidup di tengah perang, sebagai upaya untuk memberitakan apa yang sesungguhnya terjadi di Ukraina langsung dari kacamata warga Indonesia di sana, Pepi Aprianti Utami lalu memutuskan untuk membuat "Radio Ukraina" di Instagram dan YouTube.

Diaspora Indonesia, Pepi Aprianti Utami, pendiri Radio Ukraina di Kyiv, Ukraina (dok: Pepi Aprianti Utami)

Semua ini berawal dari berbagai pertanyaan seputar pemberitaan di media massa yang kerap berdatangan dari keluarga dan temannya di Indonesia.

“Mereka tanya, ‘Ini bener nggak?’ ‘Itu betul nggak?’ Terus saya lihat, ‘Kok begini amat gitu judulnya’ dan nggak sesuai dengan yang saya lihat di sini. Terus saya telusuri-telusuri, ternyata memang mereka mengambil sumber itu kebanyakan dari media massa Rusia dan pemerintah Rusia,” cerita Pepi.

Pepi mengaku melakukan ini bukan untuk Ukraina, melainkan untuk warga Indonesia yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, siapa yang menyangka jika usahanya ini malah mendatangkan berbagai komentar yang negatif dan membuatnya sedih.

Tidak hanya itu, tidak sedikit yang menuduhnya dibayar dan menjadi antek.

“Kita ada di negara yang sedang dianiaya oleh penjajah, terus kita istilahnya ngadu di sosial media. Tahunya, netizen kita yang setanah air dan sedarah Indonesia, malah seolah-olah kayak senang gitu kita diteror seperti itu,” ujarnya.

Bantu Ukraina dari Indonesia

Usaha untuk memberitakan fakta dan kebenaran tentang apa yang terjadi di Ukraina juga dilakukan oleh Vanda Sakina yang dulu sempat tinggal di Kyiv, Ukraina, bersama keluarganya.

Melihat kondisi yang semakin menyeramkan di awal invasi, Vanda dan keluarganya memutuskan untuk mengungsi ke Indonesia.

“Karena keadaannya menyeramkan. Menyeramkan dan kebetulan kan juga saya suaminya kan orang Indonesia ya, jadi enggak punya alasan untuk (tinggal-lah). Jadi, lebih baik demi kebaikan semuanya, sekeluarga, keselamatan bersama ya, kami memutuskan untuk pulang ke Indonesia.”

Keluarga Denny Fachry dan Vanda Sakina, WNI di Kyiv, Ukraina

Kini, Vanda yang menetap di Jakarta kerap membantu kedutaan Ukraina di Indonesia dalam menyumbangkan informasi dan “berusaha memberikan fakta” yang sebenarnya terjadi.

“Awal-awal kan dibilang nggak ada yang meninggal, nggak ada nggak yah mati lah (warga) sipil. Begitu lah, kan yang berita di Indonesia kan,” jelas Vanda kepada VOA.

Vanda Sakina, Denny Fachry dan kedua anak mereka saat berada di perjalanan, mengungsi dari Kyiv, Ukraina ke Bucharest, Rumania (dok: Denny Fachry)

Vanda yang sempat tinggal selama satu tahun di Ukraina mengatakan bahwa ia juga sering mendapat ancaman dan “dikata-katain.”

“Ngatain pelacur juga ada, itu awal-awal gitu ya karena saya tinggal di Ukraina,” ceritanya.

Ia pun sempat merasa syok melihat pemberitaan yang menyebar di Indonesia, yang menurutnya berbeda dengan kenyataan yang terjadi di Ukraina.

“Saya enggak peduli. Memang saya di sana, memang saya (mengalami), memang saya merasakan ada yang aneh,” ujarnya.

Walau masih meninggalkan sebagian besar barang-barangnya di Ukraina, Vanda belum tahu kapan akan kembali ke sana, mengingat tidak tahu kapan perang ini akan berakhir.

“Tapi suatu saat nanti saya pasti ke Ukraina, karena barang-barang saya masih di sana. Banyak hal yang harus saya urus di sana,” jelasnya.

Kontribusi untuk Ukraina

Setelah hidup dalam keadaan yang mencekam dalam satu tahun belakangan ini, Maysaroh mengaku merindukan adanya kedamaian.

“Tapi kita dalam kondisi ini tidak bisa lari dari kenyataan, kita harus jalani sampai tuntas,” ujar Maysaroh.

Tidak ada yang tahu kapan perang ini akan berakhir. Walau begitu, Pepi mengatakan akan terus berkontribusi untuk Ukraina. Harapannya adalah agar perang selesai.

“Saya punya keinginan untuk menjadi saksi mata menyaksikan kemenangan Ukraina. Bagaimana perjuangan rakyat Ukraina untuk mempertahankan negaranya,” pungkasnya. [di/np/dw]