Rumah Sakit Kelas Dunia Bantu Warga Boston Atasi Pemboman

  • Carolyn Presutti

Salah satu rumah sakit di Boston yang menangani para korban pemboman.

Banyak analis mengatakan jumlah korban tewas dalam pemboman di Boston bisa lebih banyak jika insiden itu terjadi di kota lain.
Pemboman pada Marathon Boston menewaskan tiga orang dan melukai lebih dari 170 orang. Namun banyak analis yang mengatakan bahwa jumlah korban tewas bisa lebih banyak lagi jika insiden itu terjadi di kota yang berbeda.

Rumah sakit berkualitas tinggi dan perencanaan yang baik di Boston dipuji karena telah menyelamatkan banyak nyawa.

Ketika korban pemboman dibawa ke Departemen Gawat Darurat Pusat Medis Tufts, petugas medis telah siap sedia.

"Tim manajemen darurat kami telah bersiap bahkan sebelum ada bom," ujar Dr. Brien Barnewolt, kepala pengobatan gawat darurat. Tufts selalu siaga untuk Senin Marathon setiap tahun.

Tufts terkenal di seluruh dunia. Tempat ini memiliki sertifikat untuk mengobati luka-luka yang paling gawat. Pusat trauma anak dan dewasa di lantai satu hanya dua menit dari tempat pemboman jika dicapai oleh kendaraan. Bahkan enam rumah sakit ternama yang merawat pasien-pasien dari pemboman berada dalam radius 3,5 kilometer dari garis finish Marathon. Dan jika menyangkut trauma atau luka, waktu akan menyelamatkan nyawa.

"Adanya rumah-rumah sakit di sini yang dapat mendistribusikan pasien pada wilayah keahlian masing-masing dan melakukan perawatan definitif dan stabilisasi segera telah menyelamatkan nyawa. Tidak ada keraguan mengenai hal itu. Saya yakin ini juga telah menyelamatkan kaki banyak orang," jelas Dr. Barnewolt.

Selain itu, banyak rumah sakit di Boston yang memiliki bagian pelatihan yang mereplikasi skenario trauma.

Fakultas Kedokteran Tufts University memiliki keahlian klinis dan pusat simulasi tempat mahasiswa dan tim trauma berlatih. VOA merupakan stasiun televisi pertama yang diizinkan masuk sejak pembukaannya empat tahun lalu.

Dalam berlatih, pasiennya adalah boneka dengan kontrol jarak jauh yang dapat mengedipkan mata dan menangis. Tim tersebut harus mencari tahu apa yang salah dengannya dan mengobatinya. Para instruktur menonton dari belakang cermin dua arah, yang memungkinkan mereka menilai tim tersebut.

"Kami berlatih dan ketika kami kira telah menguasai semuanya, kami berlatih lagi," jelas Dr. Horacio Hojman.

Dr. Hojman mengatakan bahwa hal itu meningkatkan efisiensi.

"Ketika kami menerima pasien, semuanya bekerja seperti jam. Tidak ada yang berbicara. Kami tidak perlu berbicara," jelasnya.

Tim tersebut tahu di mana mereka harus berdiri. Mereka paham apa gerakan berikutnya, dan hal tersebut sangat membantu para pasien, seperti yang terjadi pada pekan lalu. Petunjuk tangan menandakan bahwa seluruh tim bekerja di departemen gawat darurat.

"Sulit untuk memahami situasi, namun dalam peristiwa seperti ini, kita janya harus bekerja," kenang seorang anggota tim trauma.

Program simulasi tidak menyertakan skenario untuk luka-luka karena bom. Setelah minggu lalu, rumah sakit perlu menambahkannya.