Radikalisasi Penyerang di New York Diduga Terkait Kurangnya Inklusi Budaya Warga Uzbek

Sayfullo Saipov, tersangka pelaku serangan di New York City, adalah imigran asal Uzbekistan (foto: ilustrasi).

Saat pihak berwenang mencari motif yang mungkin menyebabkan tersangka berusia 29 tahun Sayfullo Saipov menabrak tewas pejalan kaki dan pesepeda yang tidak bersalah di Lower Manhattan, komunitas diaspora Uzbek di New York percaya bahwa radikalisasi pria itu sebagian dapat dikaitkan dengan kurang inklusi bahasa dan budaya spesifik di kalangan warga Uzbek yang berusaha mengintegrasikan diri ke dalam budaya AS.

Sayfullo Saipov dilaporkan merencanakan serangan maut di Lower Manhattan selama berminggu-minggu, menimbulkan banyak pertanyaan bagi pihak berwenang tentang apa yang menyebabkan warga Uzbekistan itu menjadi radikal di AS. Dia tinggal di Paterson, New Jersey, 32 kilometer dari New York di mana beberapa tetangga mengatakan mereka tidak melihat tanda-tanda perilaku yang aneh.

Kata Carlos Batista, tetangga tersangka teroris itu, mengatakan, "Dia ramah kepada saya, saya tidak tahu pendapat orang lain di blok ini."

Walaupun New York City memiliki unit kontra-terorisme yang kuat, pendekatan pencegahan tambahan untuk melawan radikalisasi diperlukan, menurut Bennett Clifford, periset Program Ekstrimisme di Universitas George Washington.

"Meskipun sangat sulit untuk mencegah serangan seperti serangan dengan kendaraan seperti yang terjadi, begitu individu tersebut memutuskan untuk melakukan serangan tersebut, ada beberapa hal sebelum individu tersebut mencapai tingkat yang berpotensi mendorongnya ke jalan yang berbeda," ulas Clifford.

Aktivis dalam komunitas Uzbek di New York mengatakan apa yang hilang dari percakapan tersebut adalah jaringan pendukung yang lebih besar bagi warga negara asing.

"Ke depan kita ingin memiliki pusat komunitas kita sendiri dimana kita bisa berkumpul bersama dan membahas isu-isu di Uzbek, karena sekarang tidak ada tempat seperti itu, dan orang membutuhkan informasi. Jadi ke mana mereka mencarinya? Internet," kata Kenjabayev seorang aktivis komunitas Uzbek.

Percakapan tersebut muncul saat Presiden Trump berargumen untuk mengakhiri diversity visa atau lotere kartu hijau yang diikuti Saipov untuk dapat memasuki Amerika secara legal pada tahun 2010. Namun Abdullah Kwaja, dari Asosiasi Turkestanian Amerika, mengatakan terorisme tidak memandang kewarganegaraan.

"Budaya Uzbek tidak mengatakan atau mengajarkan untuk membunuh orang tidak bersalah, demikian juga Islam. Kami datang ke Amerika Serikat untuk berkontribusi dan tidak untuk menyakiti siapapun," tandasnya.

Dengan mengembangkan inklusi dan upaya merangkul kelompok bahasa tertentu, dia berharap, para imigran akan lebih mampu membangun komunitas yang sejahtera di negara baru mereka. [as/al]