Presiden Soroti Dugaan Keterlibatan Aparat dalam Kasus Freddy Budiman

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan di Nusa Dua Bali Kamis (11/8). (Foto: Biro Pers Kepresidenan)

Presiden Joko Widodo perintahkan Mabes Polri melibatkan unsur masyarakat sipil dalam tim investigasi penyelidikan kasus dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam kasus Freddy Budiman.

Presiden Joko Widodo memberikan perhatian khusus pada kasus dugaan keterlibatan aparat dalam kasus peredaran narkoba seperti yang disampaikan oleh terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman lewat koordinator Kontras Haris Azhar. Usai membuka Kongres ke-3 Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenis se-Asia Kamis (11/8) di Nusa Dua Bali, Presiden meminta agar Polri melibatkan unsur luar untuk masuk dalam tim investigasi kasus ini.

Your browser doesn’t support HTML5

Presiden Jokowi Soroti Kasus Dugaan Keterlibatan Aparat Keamanan Dalam Kasus Freddy Budiman

"Itukan sudah ada tim di Polri. Saya sudah sampaikan ke Kapolri, siapapun yang memiliki kapasitas untuk masuk dalam tim itu silahkan. Semuanya ada di tim itu," ujar Presiden Jokowi.

Meski demikian, Presiden menyayangkan lambatnya pengungkapan kasus ini.

"Peristiwa ini sudah lama kan. Kenapa ga diungkap dulu-dulu," lanjutnya.

Presiden juga meminta kepada Polri agar segera dilakukan proses hukum jika memang hasil tim investigasi membenarkan adanya kasus itu.

"Ditelusuri, diungkap dan diproses kalau memang benar yang disampaikan. Saya kira ini tegas ya saya sampaikan," kata Presiden Jokowi.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli menjelaskan, proses penyelidikan tengah dilakukan oleh Tim Investigasi yang juga beranggotakan unsur dari luar Polri seperti anggota Kompolnas Poengky Indrati dan Ketua Setara Hendardi.

"Tim investigasi kita sudah bekerja. Dan sudah kita upayakan ada pak Hendardi. Ibu Poengky yang saat ini aktif di Kompolnas. Sebagai perwakiln masyarakat ada pak Effendy Ghazali. Mereka akan menjadi penyeimbang fakta-fakta yang ditemukan aparat kita. Bersama-sama dengan tim dari Propam, Bikum dan Bareskrim serta Humas Polri. Ini semua untuk bersama-sama melangkah kedepan," ungkap Boy Rafli.

Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar meminta kepada Presiden Jokowi agar membentuk tim khusus Kepresidenan yang memantau kerja tim investigasi internal di Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan TNI.

"Nah sebaiknya momentum ini direspon oleh Presiden untuk membuat tim tanpa harus menegasikan tim yang sudah ada di institusi. Jadi ini semua bisa kontributif," kata Haris Azhar. "Tim yang ada di Kepresidenan, tugasnya dia melihat. Karena kalau hanya ada di satu instansi saja, itu nanti hanya melihat pada suatu penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan pada satu institusi tersebut. Jika nanti di terkoneksi pada institusi yang lain tim itu tidak bisa nyebrang ke institusi yang lain."

Haris menambahkan, Kontras bersama kelompok sipil masyarakat akan menyerahkan secara langsung kepada Presiden informasi yang juga terkait dengan dugaan keterlibatan aparat keamanan negara dalam bisnis Narkotika.

"Teman-teman saat ini juga sedang merampungkan beberapa informasi tambahan. Sebagian berupa data, sebagian berupa informasi, dan sebagian berupa penemuan ruang-ruang kosong dalam penanganan hukum yang pernah ada. Ini akan kami sampaikan. Tapi harapannya kami akan menyampaikan itu ke pihak istana, pihak Presiden. Dan saya pikir, Presiden jangan lama-lama lagi lah merespon. Ya, kan," lanjut Haris.

Koordinator Kontras Haris Azhar beberapa pekan lalu mempublikasikan artikel hasil percakapannya bersama bandar sekaligus terpidana mati kasus narkotika Freddy Budiman. Cerita itu diberi judul Cerita Busuk dari Seorang Bandit.

Dalam artikel itu, Haris menyampaikan bahwa Freddy diduga memberikan upeti sebesar Rp450 miliar kepada oknum anggota BNN dan Rp90 miliar kepada oknum anggota Polri untuk memuluskan bisnis narkotiknya. Haris menyebutkan, Freddy juga bisa menikmati fasilitas kendaraan seorang jenderal bintang dua TNI untuk membawa narkotik dari Medan menuju Jakarta.

Freddy Budiman (37) pada akhir Juli lalu telah dihukum mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, bersama dengan tiga orang warga negara asing dalam kasus yang sama. Ketiganya adalah Michael Titus (34), Humprey Ejike (40), dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34). Freddy Budiman dipidana mati atas kasus impor 1,4 juta butir ekstasi. Sementara Michael Titus warga Nigeria adalah terpidana mati narkoba dengan barang bukti 5.223 gram heroin; Humprey Ejike alias Doktor juga warga Nigeria dengan barang bukti 300 gram heroin; dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane, warga Afrika Selatan, dengan barang bukti 2,4 Kg heroin.

Sepanjang 2015, Pemerintah Indonesia telah mengeksekusi 14 terpidana mati kasus narkoba. Enam di antaranya menjalani eksekusi tahap pertama pada 18 Januari 2015 di Nusakambangan dan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Boyolali, Jawa Tengah. Eksekusi mati tahap kedua dilaksanakan pada 29 April 2015 terhadap delapan terpidana mati kasus narkoba di Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah.