Pengadilan Guinea Mulai Adili Kasus Pembantaian 150 Orang dan Pemerkosaan 100 Perempuan Tahun 2009

Guinea hari Rabu (28/9) mulai mengadili kasus pembantaian dan pemerkosaan dalam unjuk rasa pro-demokrasi di sebuah stadion di kota Conakry tahun 2009.

Oumy Diallo mengingat kembali hari ketika ia ingin mati saja. Kala itu, tahun 2009, ia ikut serta dalam sebuah unjuk rasa pro-demokrasi di sebuah stadion di Kota Conakry, Guinea, ketika sekelompok aparat keamanan pemerintah melepaskan tembakan.

Ketika mencoba kabur, pecahan peluruh menembus punggungnya dan membuatnya tersungkur ke tanah. Sepasang lengan lantas meraih pergelangan kakinya, katanya, kemudian beberapa pria secara bergantian memerkosanya.

“Bisakah saya menghitung mereka? Bisakah?” ujarnya, mencoba mengingat berapa pria yang memerkosanya. “Saya hanya ingin mati.”

Diallo, yang namanya telah diganti demi melindungi privasinya, termasuk di antara sedikitnya 100 perempuan yang diperkosa hari itu, menurut laporan komisi internasional yang diamanatkan PBB. Setidaknya 150 orang tewas dibunuh.

Para saksi menggambarkan kejadian mengerikan itu: perempuan diseret keluar dari tempat persembunyian mereka dan diperkosa banyak pria, beberapa bahkan ditikam hingga tewas atau ditembak, mayat-mayat ditumpuk dan menutupi dinding.

Menyusul serangan itu, pasukan keamanan menutup pintu masuk ke stadion dan kamar mayat dalam upaya untuk menutupi tindak kejahatan tersebut. Mayat-mayat kemudian diangkat dan dikubur ke dalam kuburan massal.

BACA JUGA: Pemimpin Kudeta Guinea 2008 Kembali dari Pengasingan

Pada hari Rabu, 28 September, tepat 13 tahun setelah pembantaian itu, sidang yang mendakwa 11 mantan pejabat keamanan dan pemerintah yang terlibat dalam serangan itu akhirnya dimulai.

Unjuk rasa tahun 2009 yang diikuti puluhan ribu orang itu digelar untuk menanggapi pencalonan presiden penguasa militer Guinea saat itu, Moussa Dadis Camara.

Camara, yang naik ke tampuk kekuasaan dalam kudeta tahun 2008, sejak saat itu hidup dalam pengasingan di Burkina Faso. Namun ia kembali ke Guinea untuk diadili. Ia menolak bertanggung jawab atas serangan tersebut dan justru menyalahkan para tentara yang bersalah.

Terlepas dari komitmen pihak berwenang Guinea untuk menegakkan keadilan bagi para korban yang sudah berulang kali disampaikan, sidang itu telah berkali-kali ditunda dan mengalami hambatan. Pada 2009, kelambanan pemerintah Guinea akhirnya membuat Mahkamah Pidana Internasional (ICC) melakukan pemeriksaaan dan sejak itu menekan pejabat setempat untuk menepati komitmen mereka.

Kasus pelanggaran HAM kerap terjadi di bawah pemerintahan mantan Presiden Guinea Alpha Conde, yang digulingkan dalam kudeta September tahun lalu. Pemimpin junta Guinea, Mamady Doumbouya, telah menunjukkan dukungannya terhadap para korban pembantaian dan mendorong persidangan agar dimulai sebelum peringatan peristiwa tersebut tahun ini.

Meski demikian, pemerintah masih melarang unjuk rasa terbuka. Agustus lalu pemerintah pun membubarkan koalisi oposisi ketika mereka menyerukan perundingan dengan penguasa militer transisi Guinea.

Guinea juga memiliki catatan tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan yang tinggi, menurut laporan yang diterbitkan Amnesty International pada malam persidangan. Lebih dari 400 kasus pemerkosaan dilaporkan kepada kepolisian Guinea pada tahun 2021, di mana kebanyakan korbannya adalah anak-anak. Namun angka sebenarnya “tak diragukan lagi” lebih tinggi, menurut laporan tersebut.

Biaya perawatan dan stigma terkait perkosaan juga menciptakan rintangan tambahan, tambah Amnesty International.

Hari pertama persidangan disiarkan secara langsung melalui kanal televisi dan radio nasional. Sang hakim memanggil kesebelas terdakwa dan membacakan dakwaan mereka: pembunuhan, percobaan pembunuhan, penganiayaan dan pemerkosaan.

Meskipun pengakuan terhadap kekejaman itu membawa penghiburan bagi banyak orang, pihak lain menuntut diambilnya tindakan lebih jauh.

Persidangan akan dilanjutkan 4 Oktober mendatang. [rd/jm]