Laporan PBB: Perempuan Kamboja Dipaksa Menikah di China

Siluet perempuan Kamboja di pinggiran kota Phnom Penh.

Upah yang rendah di Kamboja dan langkanya kesempatan kerja memaksa perempuan muda mencari pekerjaan di luar negeri, sementara kesenjangan gender di China menyebabkan banyak laki-laki lajang.

Laporan baru badan anti-perdagangan manusia PBB merinci pengalaman perempuan Kamboja yang dibujuk untuk pergi ke China dengan janji kehidupan yang lebih baik namun ternyata dikawinkan dengan laki-laki setempat.

Laporan Tindakan PBB untuk Kerjasama Melawan Perdagangan Manusia tanggal 25 Agustus itu didasarkan pada wawancara dengan 42 perempuan antara bulan September 2014 sampai Maret 2015.

Laporan itu mendapati bahwa perempuan yang umurnya berkisar dari 18-37 tahun biasanya direkrut dari komunitas mereka sendiri oleh para makelar yang berbohong menjanjikan mereka akan mendapat pekerjaan dengan gaji besar.

Laporan itu mengatakan sebagian perempuan setuju untuk dijodohkan tapi mereka juga diperdaya, berharap mereka akan menjadi kaya, kenyataannya perempuan-perempuan itu menikah dengan laki-laki miskin di daerah pedesaan.

“Riset itu memaparkan bahwa polisi khususnya di tingkat setempat, sangat tidak siap menangani tugas ini sampai sekarang,” kata laporan itu.

Perempuan Kamboja paspornya sering diambil ketika tiba di China. Mereka yang berhasil melarikan diri kesulitan untuk mencari kedutaan atau konsulat yang jaraknya bisa lebih dari 1.000 kilometer dari lokasi-lokasi terpencil tempat mereka dikirim. Selama melarikan diri, sebagian perempuan ditangkap oleh pihak berwenang China dan dikembalikan kepada suami-suami mereka.

Laporan PBB itu mencerminkan dampak unsur ekonomi yang memicu pasar pengantin asing. Upah yang rendah di Kamboja dan langkanya kesempatan kerja memaksa perempuan muda mencari pekerjaan di luar negeri, sementara kesenjangan gender di China menyebabkan banyak laki-laki lajang, memicu permintaan akan perempuan.

Chou Bun Eng, kepala Otoritas Nasional Anti-Perdagangan Manusia Kamboja, mengatakan perjanjian resmi untuk memberantas praktik-praktik ini mungkin akan ditandatangani dengan China akhir tahun ini.

“Secara bulat kita harus sepakat untuk memaparkan rencana pencegahan kita, membantu korban dan menyelidiki serta menghukum mereka yang melakukan kejahatan perdagangan manusia” katanya.

Kedutaan besar China di Phnom Penh menolak berkomentar. Thida Khus, direktur Silaka, sebuah kelompok pelatihan dan advokasi mengatakan sebagian besar perempuan yang di perdagangkan ke China berasal dari keluarga-keluarga miskin.

“Di China tidak ada undang-undang untuk melindungi dan mekanisme untuk melindungi migran tersebut karenanya orang-orang yang bermigrasi untuk bekerja atau menikah menghadapi banyak masalah,” katanya. [my/al]