Aktivis: Myanmar Masih Gunakan Pemerkosaan sebagai Senjata Perang

Para perempuan di kamp pengungsi Rohingya di luar kota Sittwe, Myanmar. (Foto: Dok)

Lebih dari 100 perempuan dewasa dan anak-anak dilaporkan telah diperkosa sejak pemilihan umum 2010 yang menaikkan pemerintahan sipil.
Sebuah kelompok perempuan mengatakan militer di Myanmar masih menggunakan pemerkosaan sebagai alat perang, dengan lebih dari 100 perempuan dewasa dan anak-anak diperkosa sejak pemilihan umum 2010 yang menaikkan pemerintahan sipil.

Liga Perempuan Burma yang berbasis di Thailand mengatakan dalam laporannya bahwa 47 dari kasus yang didokumentasikan tersebut adalah pemerkosaan beramai-ramai dan 28 dari perempuan itu kemudian dibunuh atau tewas karena luka-luka mereka. Laporan itu mengatakan beberapa korban masih berusia delapan tahun.

Kelompok itu mengatakan situasi ini menunjukkan perlunya reformasi legal di Myanmar, juga dikenal sebagai Burma, dan untuk perubahan-perubahan konstitusi 2008 untuk menjamin bahwa militer ada di bawah kontrol sipil.

Pemerintah Myanmar sendiri menyangkal tuduhan tersebut.

"Bukanlah kebijakan militer kami untuk menggunakan pemerkosaan sebagai senjata," ujar juru bicara kepresidenan Ye Htut.

"Jika ada kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota-anggota individual, kami mencoba memaparkan mereka dan mengambil tindakan efektif terhadap pelaku. Akan sangat membantu jika pembuat laporan dapat mengirimkan pada kami detil-detil kasus tersebut," ujarnya.

Laporan dari kelompok perempuan tersebut muncul kurang dari sebulan setelah sebuah grup bipartisan yang terdiri dari senator-senator AS yang terkemuka -- Bob Menendez, Marco Rubio, Ben Cardin dan Bob Corker -- memperkenalkan rancangan undang-undang yang menyatakan Departemen Pertahanan AS atau Pentagon tidak seharusnya memberikan dana kepada pemerintah Myanmar pada 2014 kecuali ada reformasi dan tindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran hak.

RUU tersebut, yang membuat pengecualian untuk pelatihan hak asasi manusia dan penanggulangan bencana untuk militer, juga mendesak Pentagon dan Departemen Luar Negeri AS untuk melaporkan strategi AS untuk hubungan antara militer kedua negara, termasuk pengkajian catatan HAM militer Myanmar dan kaitan antara pengetatan hubungan dan reformasi.

Kelompok perempuan tersebut mengatakan sebagian besar kasus pemerkosaan yang terdokumentasikan terkait dengan kekerasan oleh militer Myanmar di wilayah timur laut terhadap etnis minoritas Kachin dan pemberontak Shan.

Laporan HAM Departemen Luar Negeri AS pada 2012 mengenai Myanmar mengacu pada pemerkosaan-pemerkosaan baik oleh pasukan pemerintah dan kelompok pemberontak etnis minoritas di negara-negara bagian Shan dan Kachin.

Laporan itu menyebutkan bahwa ketika tentara pemerintah melakukan pemerkosaan di wilayah etnis minoritas, militer jarang menindak mereka yang bertanggung jawab. Laporan Human Rights Watch pada Januari 2013 menyatakan bahwa kekerasan seksual oleh militer masih menjadi problem yang serius.

Pada Oktober, 133 organisasi masyarakat sipil yang mewakili kelompok-kelompok etnis di Myanmar, termasuk liga perempuan, menulis pada Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Perdana Menteri Australia Tony Abbott untuk menyatakan keprihatinan mereka terhadap hubungan militer dengan Myanmar. (Reuters)